"Hari ini aku mau ke Itali, kamu mau ikut?"
Yolanda yang tangannya sibuk menari diatas keyboard laptop pun menjawab. "Nggak. Aku juga aku mau ke Paris sama geng arisan."
"Apa gak sebaiknya kamu ke Malang aja? Jeff udah berkali-kali nyuruh kita kesana kan?"
"Emangnya kamu sendiri gak bisa? Ngapain nyuruh-nyuruh aku?"
"Aku harus kerja, kamu lupa?"
"Ya sama, aku juga butuh refreshing. Kelamaan di rumah bikin aku mumet." Kalau ibu di luaran sana akan menganggap rumah dan keluarga adalah surga, maka tidak dengan Ibunda Adinata. Pembisnis sekaligus sosialita kelas atas itu hanya menjadikan rumah sebagai tempat singgah. Waktunya lebih banyak dia habiskan untuk bekerja dan berkumpul bersama teman-temannya.
Bertepatan dengan lelaki itu memakai dasi, dari balik pintu, terdengar ketukan seirama. Disusul oleh suara yang sudah tidak asing lagi di pendengaran mereka.
"Tuan, Nyonya." Panggil Mbok Darmi, lembut sekali.
Yang perempuan bergegas membuka pintu. "Ada apa?"
"Di bawah ada tamu Nyonya."
"Siapa?"
"Kurang tau." Bi Darmi menggeleng sopan. "Katanya ada perlu."
"Suruh tunggu sebentar." Putus Yolanda lalu menutup kembali.
Tak sampai sepuluh menit, pasangan suami istri itu memasuki area ruang tamu. Seseorang dengan hijab berwarna merah maroon langsung berdiri dan menyambutnya dengan senyum ramah. Setelah dipersilahkan duduk oleh Yolanda, dia kembali mendaratkan bokongnya di atas sofa puluhan juta rupiah.
"Mohon maaf kalau kedatangan saya mengganggu pagi Bapak dan Ibu. Perkenalkan, saya Isma. Kepala Yayasan Nur Insani yang bertempat di daerah Bogor." Perempuan itu memperkenalkan diri dengan lembut, keanggunannya membawa aura yang sangat positive.
"Sama sekali nggak Bu," Yolanda menggeleng kecil. "Ada yang bisa kami bantu?"
"Saya ingin mengundang bapak dan ibu di acara peresmian Panti Asuhan yang didirikan oleh Adinata."
Sonny yang semula tertunduk tak minat, sontak menaikan pandangannya. Tatapan tidak menyangka tergambar dengan jelas disana. "Maksudnya?"
Perempuan itu menipiskan bibirnya kecil. Raut sendu perlahan hadir bertamu. "Saya tau, Adinata pasti tidak suka kalau saya membocorkan semua ini. Tapi karena dia belum pulang dan peresmian akan dilaksanakan besok, saya harap, Bapak dan Ibu berkenan untuk menggantikan kehadiran Adinata untuk bertanda tangan di akta notarisnya."
"J-jadi maksudnya--anak saya membangun sebuah panti asuhan, begitu?" Yolanda terpatah-patah.
"Tidak hanya mendirikan. Adinata juga menjadi donatur tetap di Yayasan kami." Ibu yang tampak awet muda itu menatap satu persatu lawan bicaranya. Kemudian tatapannya lurus, menerawang jauh seperti siap bercerita. "Tapi Adinata tidak pernah mencantumkan namanya sebagai donatur. Jadi ketika anak-anak kami memanjatkan doa, bukan ditujukan untuknya sendiri, melainkan untuk Pak Sonny dan Bu Yolanda."
"Itu kami," Sonny berkata pelan. "Kenapa harus nama kami?"
Ibu Isma menggelang pelan. "Saya tidak tau alasannya apa, tapi yang harus Bapak Ibu ketahui, dana pembangunan panti ini adalah hasil Adinata bekerja part time. Itulah kenapa pembangunan Panti Asuhan yang sempat ditargetkan selesai awal tahun, baru selesai bulan kemarin karena tersedat biaya."
Tanpa sadar, mata Bu Isma berkaca-kaca. Dia cukup mengenal Adinata, dia juga turut sedih akan musibah yang terjadi. "Adinata adalah orang yang tidak suka kebaikannya diungkit, tapi untuk hari ini, saya bersaksi kalau Adinata bukan hanya orang baik tapi juga penuh manfaat."
KAMU SEDANG MEMBACA
JENGGALA [Sudah Terbit]
Fiksi Penggemar"Ketidaktahuan lebih mematikan daripada kematian itu sendiri." ****** Di tanah sakral Jawa, Satu puncak, Tiga cinta, Empat kesalahan. Alam, manusia dan malapetaka. Yang hilang lekas bergabung, yang pulang lekas tenang.