Bagian 4

2.3K 246 21
                                    

Dengan sangat hati-hati Gulf membuka pintu rumah yang menjadi kediamannya bersama Mew. Ia sadar bahwa ini sudah terlalu larut dan Mew mungkin sudah ada di dalam sekarang.

Setelah kejadian tidak mengenakkan yang dialami Namtarn, Gulf ragu untuk membiarkan Namtarn pulang sendirian. Belum lagi kondisi Namtarn yang sedikit mabuk setelah minum-minum, Gulf khawatir jika adik iparnya itu mungkin mengalami masalah di jalan menuju ke rumah. Jadilah Gulf mengantarkan Namtarn hingga ke rumah dan membuat dirinya sendiri pulang terlambat.

Ceklek.

Gulf terperanjat ketika mendapati sosok Mew tengah duduk tegak di sofa tunggal yang ada diruang tamu, apa Mew menunggunya?

"Phi belum tidur?" tanya Gulf ragu. Ruang tamu dalam keadaan gelap, satu-satunya yang menjadi sumber cahaya adalah sorot dari layar smartphone milik Mew.

"Pukul berapa sekarang?" tanya Mew datar, mata pria itu terfokus pada layar smartphone-nya dengan tatapan yang tak dapat diartikan.

Gulf yang paham bahwa Mew pasti marah memilih untuk menarik napas panjang sebelum menjelaskan hal yang sebenarnya terjadi. "Maaf, phi. Tadi Gulf pergi bersama Namtarn, seseorang mengganggu Namtarn jad-"

"Apa kau tuli?" sela Mew yang membuat Gulf seketika membisu.

Mew melemparkan smartphone-nya ke atas meja, kaki yang tersilang itu seketika menjadi sejajar sebelum akhirnya berdiri tegak. Perlahan namun pasti, Mew mendekati Gulf yang masih mematung di tempatnya.

"Maaf, phi. Gulf hanya mengantarkan Namtarn sebelum pulang," sahut Gulf dengan suara bergetar, tangannya dingin. Selama ini Mew tak pernah menyentuhnya, apakah ini saatnya? Akankah Mew memukulnya?

"Aku bertanya pukul berapa sekarang, bukan apa yang kau lakukan," desis Mew yang semakin dekat ke arah Gulf.

"Pu-pukul sebelas malam, phi." Gulf memejamkan mata saat dirinya dan Mew hanya berjarak sejengkal, sekeras apapun pukulan yang akan ia dapat, Gulf akan menerima itu.

"Ternyata kau tidak bodoh?" Mew memiringkan kepalanya dan tersenyum licik. Mew bisa saja menjadikan Gulf sebagai samsaknya, tapi bukan itu yang benar-benar Mew inginkan.

"Lain kali," ucap Mew hambar dengan tangannya yang menyusuri garis rahang Gulf. "Jika pukul sebelas yang sama terulang, haruskan aku memotong kakimu?"

Gulf menggeleng cepat, "Gulf tidak akan pergi tanpa izin dari phi lagi."

Mew membuang muka seraya tertawa kecil. "Apa kau takut padaku?" tanya Mew yang kemudian menjauhkan tangannya dari Gulf. Ditengah kegelapan, wajah pucat Gulf dapat terlihat begitu jelas.

Gulf kembali menggeleng, ia tak takut dengan Mew, ia juga tidak membenci Mew, ia hanya mencintai Mew. Kalimat itulah yang terus menerus Gulf patri didalam pikirannya di setiap gelengan kuatnya.

"Apa kau menikmati minumanmu?"

Gulf membuka matanya, "Gulf tidak minum."

Giliran Mew yang memejamkan mata, pria itu mendekatkan wajahnya ke dada Gulf, tempat dimana bau alkohol menyengat begitu kuat. "Berbohong itu sangat sangat tidak baik."

••• • •••

"Berbohong itu tidak baik."

Tetesan air yang jatuh ke lantai menjadi saksi bisu atas luka menganga pada jiwa Gulf.

"Aku tidak tau kenapa anak sepertimu harus terlahir di keluargaku!" ucap laki-laki yang baru saja menyiramkan segelas air tepat diwajah Gulf.

"Kau bukannya pintar, tidak juga berprestasi. Masih meminta kuliah? Bagus jika kau pergi ke bar, menjual diri untuk biaya hidupmu sendiri agar tidak menyusahkan aku!" sentaknya.

HIRAETTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang