Bagian 6

2.2K 257 35
                                    

Pukul tujuh malam, ruang keluarga sudah mantap dengan dekorasi yang disusun sebaik mungkin. Beberapa balon sengaja digeletakkan di lantai, membuat nuansa menyenangkan meskipun warna yang mendominasinya gelap.

Gulf dan Namtarn sudah siap disana, membawa terompet bahkan memakai topi kerucut khas perayaan hari ulang tahun.

Senyum manis menghiasi bibir pucat Gulf, pria itu bisa dengan mudah meyakini bahwa Mew akan pulang lebih awal dan mereka akan menghabiskan waktu bersama. Padahal dirinya sendiri tau apa yang akan terjadi meskipun ia bukan cenayang.

Jam dinding terus berputar, waktu pun ikut serta berpindah. Namtarn terpaksa memasukkan kue ulang tahun yang sudah susah payah Gulf buat ke dalam kulkas, hampir pukul sebelas dan nyatanya Mew tak kunjung pulang.

Adik kandung dari Sagara Mew Ilario itu menatap wajah kakak iparnya, mata Gulf yang menahan kantuk tak henti-hentinya memandangi layar smartphone, menunggu balasan atas pesan yang ia kirim pada suaminya.

"Phi?" sapa Namtarn membuyarkan lamunan Gulf.

Gulf terperanjat. "Phi Mew mungkin sedang lembur." sahut Gulf.

"Lagi?" batin Namtarn. Gadis itu tersenyum kecut, "Namtarn tidak menanyakan itu." balas Namtarn yang kini duduk tepat di samping Gulf.

"Oh, kupikir ...."

"Phi, apa phi baik baik saja?" tanya Namtarn. Gulf mengangguk cepat seraya tersenyum, seperti biasa. Gulf segera meletakkan smartphone dalam genggamannya dan lebih fokus untuk untuk mendengarkan Namtarn.

"Phi terlihat pucat, tangan phi pasti sakit kan?" tanya Namtarn lagi. Kali ini mata gadis itu melirik kearah tangan Gulf yang terbalut perban, hanya tersisa sedikit bagian yang masih berwana putih.

"Aku baik-baik saja, ini bahkan tidak sakit sama sekali." Gulf sengaja menggenggamkan tangannya yang terluka di hadapan Namtarn, berharap Namtarn berhenti mengkhawatirkan tentang keadaannya. Namun bukan itu yang Namtarn lihat, dalam keadaan seperti ini, bagaimana Gulf masih bisa tersenyum?

"Phi, Namtarn tidak bisa menyetir. Tapi Namtarn bisa memesan taksi, pergi ke rumah sakit bersama Namtarn na?" pinta Namtarn dengan sungguh-sungguh. Darah di telapak tangan Gulf masih merembes, perban yang membalutnya bahkan seakan tak berguna.

Gulf tersenyum dan mengusap kepala Namtarn, meminta Namtarn untuk tenang dan tidak panik. "Aku baik-baik saja, ini biasa. Hanya perlu ganti perban saja, tunggu sebentar." ucap Gulf. Lagipula, Mew sudah memberinya peringatan untuk tidak meninggalkan rumah jika hari telah larut.

Dengan kedua tangannya, Namtarn memegangi ujung baju Gulf. "Biar Namtarn yang mengganti perbannya," ujar Namtarn lirih.

Gadis yang matanya memerah menahan tangis itu kembali dengan membawa kotak obat yang tadi ia gunakan untuk mengobati tangan Gulf, dengan sangat hati-hati Namtarn melepaskan perban ditangan Gulf yang sudah basah oleh darah. Namtarn tak bisa lagi membendung air matanya, ia sangat ketakutan saat Gulf harus terluka bahkan mengeluarkan darah begitu banyak.

"Phi bisa mengobatinya sendiri, Namtarn menonton televisi saja." ujar Gulf, pikirnya Namtarn mungkin menangis karena takut dengan darah yang begitu banyak dan tetap memaksakan diri untuk membantu Gulf.

Namtarn menggeleng dan menyeka air matanya. "Apa phi yakin ini tidak sakit? Darahnya sangat banyak," ucap si gadis menahan isaknya.

"Sakit?" batin Gulf.

Brak!!!

"TAY?!" pekik seorang wanita yang berlari panik ke arah halaman. Disana, kedua putranya baru saja terjatuh ke tanah setelah sepeda yang mereka kendarai menabrak sebuah batu.

HIRAETTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang