"Mew! Jangan pulang dulu!" mohon Mild yang membawa setumpuk dokumen di kedua tangannya.
"Ini pukul empat, Mild. Aku sudah katakan kalau aku tidak menerima apapun diatas pukul dua." rengek Mew yang memegangi tas kerjanya dengan erat.
"Jika kau pulang, aku bisa mati malam ini." balas Mild tak kalah putus asa.
Setumpuk dokumen yang Mild bawa adalah dokumen yang memang harus Mew selesaikan ketika ia pulang awal kemarin. Namun, disela tumpukan itu juga ada dokumen yang seharusnya di periksa dan di tandatangani oleh Agas, masalahnya Agas tak berada di tempat, jadilah semua itu diserahkan kepada Mew sebagai penanggungjawab setelah Agas.
"Aku rindu Gulf, aku tidak bisa lembur." rengek Mew frustasi.
"Aku tau, aku mohon jangan pulang dulu! Ayo bereskan ini sama-sama! Aku harus menikah bulan depan, jangan biarkan aku depresi sebelum menikah!" Mild terduduk pasrah di sofa, ia benar-benar tak bisa menafsirkan bagaimana nasibnya jika Mew bersikeras untuk pulang.
"Kenapa dokumennya banyak sekali?!" protes Mew.
"Tanyakan pada Ayahmu!"
••• • •••
Gulf sudah duduk di depan cermin sejak lima jam yang lalu, setelah seluruh pertimbangan yang ia timbang seyakin-yakinnya, Gulf memutuskan untuk membiarkan Mew melakukan 'itu' padanya.
Usai mandi, entah berapa kali Gulf mengganti pakaian hingga akhirnya ia berhenti setelah mengenakan sesuatu yang ia kira cocok. Baju tidur yang memiliki model seperti kimono, Gulf tidak tau akan seperti apa Mew memandangnya nanti, tapi bagi Gulf, kain tipis berwarna coklat itu pas untuknya.
Beberapa kali Gulf mengatur napas, hari semakin larut dan itu artinya Mew akan segera pulang. Gulf tidak siap, tapi Gulf berusaha mengusir ketidaksiapannya. Hingga saat suara mesin mobil terdengar begitu jelas di telinga Gulf. "Phi Mew pulang?" panik Gulf yang berusaha tenang.
"Jangan gugup! Jangan gugup! Gulf, jangan gugup!"
Gulf berdehem kecil dan segera bangkit dari duduknya. Gulf pikir ia sudah cukup yakin dengan keberaniannya, tapi mental Gulf menciut drastis saat ia melihat Mew berjalan di ruang tamu dan akan segera menaiki tangga.
Sebenarnya Mew ingin mengetuk pintu ketika ia baru tiba, tapi ia merasa tak enak jika harus mengusik Gulf malam-malam, lagipula pintu rumah mereka tak terkunci.
Gulf menutup rapat-rapat pintu kamar Mew, Gulf tidak main-main, jantungnya serasa akan melompat keluar.
Ceklek.
Mata Gulf membola, ia menahan gagang sekuat yang ia bisa agar Mew tak dulu masuk. Sementara itu, di luar kamar, Mew menjadi sedikit bingung, apa gagangnya macet? Atau Gulf menguncinya dari dalam?
Tok tok tok
"Gulf?"
"Bagaimana ini?" batin Gulf semakin panik.
"Gulf, kau di dalam? Kau sudah tidur?" tanya Mew lagi.
"I-iya, Phi. G-Gulf ... um ... Gulf di dalam."
"Kau mengunci pintu? Kalau begitu, aku akan pergi ke kamar tamu, na?"
"Jangan, Phi!" cegah Gulf yang masih mempertahankan pegangannya pada gagang pintu.
"Gulf, kau baik-baik saja?" tanya Mew.
Gulf memukul kepalanya, kenapa dia melarang Mew pergi? Sekarang harus bagaimana?
Gulf mengitari seisi kamar Mew, hingga selimut tebal yang ada di atas kasur memberinya ide.
Gulf memejamkan mata, menarik nafas panjang seraya mengatur strategi. Gulf mulai menghitung di dalam hati, dan pada angka ketiga, Gulf berlari ke arah kasur, menyelimuti dirinya dengan kain tebal milik Mew.
KAMU SEDANG MEMBACA
HIRAET
Fanfiction"Tidak berdasar, itu kita." -Mew. Gulf dijodohkan oleh ayahnya, demi menyelamatkan perusahaan yang hampir bangkrut karena kesalahan kakaknya. Namun paksaan bukanlah alasan Gulf menerima perjodohannya, Gulf menyukai Mew -- tulus. Pernikahan yang Gul...