Bagian 26

2.5K 309 80
                                    

Daun milik sebuah pohon yang ada di halaman belakang mulai bergoyang saat beberapa bulir air jatuh tepat ke atasnya.

Air hujan itu pecah, pecahannya kembali jatuh kebawah dan menggoyangkan daun lainnya. Hingga lambat laun bulir itu semakin banyak, menerpa dedaunan dengan lebih kasar. Itu terlihat menyakitkan, padahal hujan hanya memberikan kesegaran pada pohon yang mungkin merasa kering.

Pantulan cahaya pada mata tanpa harapan menghilang setelah Mew mengedipkan mata, ini adalah rasa sakit dan penyesalan yang sesungguhnya.

Lagi-lagi Mew di kalahkan oleh takdir, ia tak pernah menggenggam layangan yang ia punya meski tali layangan itu terikat pada pergelangan tangannya, Mew mengabaikan semua itu.

Bukan manusia namanya jika tak menyesal di akhir. Layaknya hati yang merasa putus asa, Mew tak bisa mengejar tali miliknya yang putus.

Ada begitu banyak mulut yang bersedia mengingatkan, ada lebih dari sepasang telinga yang bersedia mendengarkan. Namun, Mew memilih untuk menjadi tuli dan bisu, berpegangkan pada benci dan emosi yang tak ada dasarnya.

Mew tertunduk di tepi jendela, menatap derasnya hujan yang mengguyur rerumputan hijau. Mild benar, bahwa sebodoh apapun Gulf, tak mungkin Gulf tak punya pikiran untuk pergi dari Mew. Joss benar, takdir tak akan memberikan kepada Mew Kana ataupun Gulf yang lain.

Semua ini bukan karena perasaan yang tak mengerti, tapi karena ego yang terus menolak.

"Mew?" sapa Hera penuh kelembutan.

Ini adalah hari ketiga usai sidang, selama tiga hari Mew tak bisa menghubungi Gulf, selama tiga hari Mew hanya diam mengutuk dirinya dan mengunci pikirannya dalam jurang rasa sesal.

"Mama membuat makanan kesukaan Mew, ingin makan?" tanya Hera seraya mendekati putranya.

Mew tak menoleh, dulu Mew selalu menolak apapun yang Gulf buatkan dengan susah payah untuknya. "Mew tidak lapar, Ma."

"Mew, Mew belum makan sejak kemarin. Minum air putih seteguk sehari tidak bisa membuat Mew merasa lebih baik, nak." ujar Hera.

"Mew akan makan saat Mew lapar."

"Mew, kalau Mew bersikap begini, Mew membuat Mama khawatir." ujar Hera seraya memposisikan diri untuk dapat duduk di samping putranya.

"Mama boleh pulang, Namtarn pasti merindukan masakan Mama, Papa juga perlu makan." ujar Mew kemudian.

Iya, Hera memutuskan untuk tinggal di kediaman Mew usai hari menyedihkan itu. Hera tau Mew keras kepala, tapi Mew tidak sekuat itu untuk mempertahankan sikap angkuhnya. Sejak kecil, Mew adalah anak yang paling lihai berpura-pura. Hera hanya khawatir pada putranya yang malang.

"Mew, ayo pulang bersama Mama! Kita tinggal bersama-sama saja seperti dulu, jadi Mama dan Papa bisa mengawasi Mew dan Namtarn bersama-sama."

"Ma, Mew sudah besar."

"Mew tetap putra Mama, bagaimana Mama bisa tenang dirumah sementara putra Mama mengunci dirinya di dalam kegelapan?" tanya Hera dengan mata yang berkaca.

"Mew, Mama tau Mew menyesali perbuatan yang Mew lakukan di masa lalu, Mama tau semua itu menyakiti Mew, Mama paham karena Mew adalah anak Mama." ujar Hera mengusap pundak putranya.

"Mew, dengar! Di dunia ini, hidup Mama hanya bergantung pada Mew dan Namtarn. Mama mengerti bagaimana perasaan kehilangan Mew karena Mama juga orang tua. Tidak apa kalau Mew tidak bisa membuka hati untuk menerima orang baru, setidaknya buka hati agar luka lama itu meluap."

"Ma." Mew masih menatap rerumputan yang diterpa hujan. "Mew pergi ke makam Kana sebelum Mew pergi ke pengadilan."

Hera terdiam, makam Kana?

HIRAETTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang