45. Forest

1.2K 290 12
                                    

Pada akhirnya, kebenaran telah ia dapatkan. Sambil berbaring dengan wajah menekan karpet berdebu di dalam ruangan yang dianggapnya dulu sebagai tempat yang mengajarkannya rahasia, Harry mengerti kalau ia tak semestinya selamat. Tugasnya adalah melangkah tenang ke dalam pelukan kematian sekaligus memutuskan hubungan yang masih tersisa antara Voldemort dengan kehidupan. Maka ketika akhirnya dia melemparkan diri menghadapi Voldemort dan tidak menodongkan tongkatnya untuk membela diri, hasil akhir akan terlihat jelas, dan tugas yang mestinya telah tuntas di Godric’s Hallow akhirnya akan selesai. Tak seorangpun akan hidup, tak seorangpun akan selamat.

Harry merasakan gemuruh jantung yang berdegup kencang dalam dadanya. Betapa anehnya, dalam ketakutannya akan maut jantung itu malah memompa dengan begitu kencangnya, menjaganya tetap hidup. Tapi jantung itu harus berhenti, segera. Detaknya tinggal menghitung waktu. Berapa banyak waktu yang diperlukan, sementara ia bangkit dan melangkah di sepanjang kastil itu untuk terakhir kalinya, untuk berjalan keluar dan pergi memasuki hutan? 

Rasa ngeri mencengkeramnya ketika berbaring di lantai, dan genderang penguburan bertalu-talu dalam jantungnya. Akankah kematian itu menyakitkan? Selama ini Harry telah menduga bahwa hal itu akan terjadi, dan ia akan selamat. Tak pernah ia memikirkan tentang kematian itu sendiri. Kemauannya untuk hidup jauh lebih besar dibanding rasa takut akan kematian. Namun sekarang tak terpikir olehnya sama sekali untuk mencoba mengelak, untuk melarikan diri dari Voldemort. Semua sudah berakhir, Harry tahu, dan yang tersisa hanyalah satu hal, yaitu mati. 

Langkah dingin menuju kehancurannya sendiri memerlukan jenis keberanian yang lain. Dirasakannya jari-jemarinya agak gemetaran dan ia berusaha mengendalikannya meski tak seorangpun melihat potret-potret di dinding semua kosong tak berpenghuni. Mereka tampaknya melarikan diri.

Dengan amat perlahan ia duduk dan mulai merasa lebih hidup dan lebih sadar akan tubuhnya dibanding sebelumnya. Napasnya mulai melambat, mulut serta tenggorokannya kering, begitu pula dengan matanya. 

Bagaikan hujan di jendala yang dingin, semua pikiran ini berdera-derai menghantam dinding kebenaran, yaitu dia harus mati. Harus mati. Harus berakhir.

Ron dan Hermione terasa jauh sekali, seperti di negara lain di belahan lain bumi, rasanya mereka sudah berpisah begitu lama. Harry yakin takkan ada salam perpisahan atau penjelasan. Ini perjalanan yang tak mungkin mereka lalui bersama, dan upaya mereka untuk menghentikannya akan menghamburkan waktunya yang berharga. Harry menatap arloji emas tua hadiah ulang tahun ke tujuh belasnya. Hampir setengah dari waktu yang diberikan Voldemort baginya untuk menyerah telah habis. 

Harry tiba di arah pintu masuk Aula Besar.

Orang-orang sibuk bergerak ke sana kemari, saling menghibur, minum, berlutut di samping jenazah, tapi tak dilihatnya satupun orang-orang yang dia sayangi, baik Hermione, Ron, Ginny atau anggota keluarga Weasley lainnya, Luna juga tidak terlihat. Rasanya dia rela menyerahkan sisa waktu yang dia miliki demi satu kesempatan terakhir memandang mereka, tapi seandainya itu terjadi, cukup kuatkah dia untuk berhenti memandang? Lebih baik begini.

Harry menuruni anak tangga dan keluar menuju kegelapan. Hampir jam empat pagi, dan keheningan jalan yang menyeramkan terasa seolah mencengkeram napasnya, menunggu apakah dia sanggup melakukan apa yang harus dia lakukan.

Harry bergerak ke arah Neville yang sedang membungkuk di atas mayat lain.  "Neville."

"Blimey, Harry, kau hampir membuatku jantungan!"

Harry telah menarik jubahnya. Gagasan itu timbul begitu saja dalam pikirannya, lahir dari keinginpastian. "Mau ke mana sendirian?" tanya Neville curiga.

"Itu bagian dari rencananya," kata Harry. "Ada yang mesti aku lakukan. Dengar–Neville--"

"Harry!" mendadak Neville ketakutan. "Harry, kau tidak berpikir mau menyerahkan diri, bukan?"

Siren (Ft Hogwart Boys) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang