Coba balik lagi ke bab sebelumnya. Liat udh pencet tombol Vote belum. Kalo belum tolong di pencet dulu ya sayang, baru deh baca bab yang ini.
.
.Gelak tawa dan suara dentingan antar gelas besar berisi minuman keras masih menjadi penguasa di malam ini. Muka-muka merah, mulut penuh liur dan tangan-tangan jahil yang mulai meraba bagian tubuh para dayang yang bertugas mengantarkan makanan.
Para ksatria itu hanyut pada kesenangan malam ini. Lupa bahwa esok hari mereka sudah harus berjibaku mempertaruhkan nyawa. Pun para petinggi tidak jauh berbeda dengan para bawahannya. Hanya William dan Sebastian yang masih dalam keadaan segar bugar tanpa menyentuh sedikitpun jamuan yang ada didepan mereka.
Keduanya duduk dalam diam, tenggelam pada pikirannya sendiri. William dengan kekesalan akan fakta bahwa ia batal menjadi seorang paman juga Sebastian yang sibuk memikirkan masa depan para prajurit yang ada di bawah komandonya. Sebagai seorang Jendral, ia harus meminimalisir jumlah korban yang jatuh dipihak mereka.
"Langit malam ini lebih gelap dari biasanya." William bergumam dengan wajah masam menatap langit malam yang tak berdosa. Maklumi saja karena mood pria satu itu memang sedang buruk.
Sebastian ikut mendongak menatap langit yang memang lebih pekat dari biasanya. Mula-mula ia tidak merasakan kecurigaan apapun, tapi ketika sudut matanya menangkap gerakan samar kedatangan kabut dari timur, pria satu itu sontak berdiri.
"Kenapa?!" tanya William yang kaget akan pergerakan Sebastian yang tiba-tiba.
Sebastian tidak menjawab namun dari wajah tegang Jendral kepercayaan Raja Lukas itu William bisa menebak ada sesuatu yang tidak beres.
Kresek!
Keduanya menoleh dengan wajah waspada saat bunyi gemerisik dedaunan terdengar semakin jelas. Pandangan keduanya bertemu, berkomunikasi tanpa membuka suara lalu saling melangkah terburu-buru kearah yang berbeda. William bergegas menuju tenda dapur untuk mengumpulkan prajurit yang tidak mabuk yang sayangnya berjumlah tak seberapa. Mereka adalah prajurit yang sukarela membantu pekerjaan dapur.
Sedangkan Sebastian melangkah dengan wajah tegang mendekati meja tempat para Jendral dan Panglima lain berkumpul. Suara tawa dan siulan menggoda saat baju seorang pelayan muda merosot ditarik oleh salah satu dari mereka membuat Sebastian makin emosi.
Lantas dengan penuh amarah Sebastian mendepak meja panjang itu hingga makanan dan minuman diatasnya berhamburan. Mereka yang duduk disebelah kanan bahkan harus melompat agar tidak tertimpa meja yang kini hancur tergeletak mengenaskan ditanah.
"APA-APAAN INI HAH?!" Seorang Panglima berusia 50 tahun dengan kumis tebal menyalak marah. Ia tentu tidak terima seorang anak ingusan seperti Sebastian berlaku tidak sopan kepadanya.
Sebastian menatap jijik pria paruh baya itu. Wajahnya masih sekeras baja ketika tangannya bergerak cepat menarik pedang yang terselip di pinggangnya. Wajah sombong sang panglima senior langsung pucat ketika merasa hawa dingin dari ujung pedang yang berjarak kurang dari 5 senti dari lehernya.
Pria itu tergagap sedangkan rekan-rekannya hanya mampu terdiam ditempat. Tak berani sedikitpun untuk bersuara. Sebastian boleh jadi paling muda diantara mereka namun semua orang jelas tahu bahwa dialah ksatria terkuat yang dimiliki Sandor.
"Jangan menguji kesabaranku, Panglima Wiston!" geram Sebastian.
"He-hei tenanglah, Jendral! Kita bisa menyelesaikannya dengan kepala dingin," ucap Panglima Wiston dengan tergagap.
Sebastian tidak menjawab namun akhirnya menarik dan menyarungkan kembali pedangnya. Rahangnya yang sempat mengendur kembali mengeras mendengar celetukan Panglima Wiston.
KAMU SEDANG MEMBACA
CRAZY LADY (END)
RomanceHera bermain api dengan suami dari sahabat baiknya. Suatu hari setelah hari laknat itu dia tertimpa musibah dan terbangun diraga yang berbeda. Hidup Hera berubah 180 derajat. Hera yang angkuh, sombong dan licik justru terjebak didalam tubuh seorang...