Hallo, apa kabar?
Btw, selamat datang kembali di cerita aku yang kedua.
aku harap kalian suka dan betah baca cerita ini sampai aku bisa menyelesaikannya. amin....
oh, ya, tolong bantu dukung aku buat terus berkarya dengan memberikan vote dan komentar di setiap partnya, bisa?
yap! aku tahu kalian pembaca yang baik dan budiman.
jangan lupa follow akun IG Aku juga ya.. @coretan.njie
selamat membaca, cerita ini aku persembahkan buat kalian pejuang waktu yang tak kenal lelah untuk mencari secercah harapan.
semangat!
♡~♡
Livia berkali-kali menyeka dahinya yang berkeringat dengan tisu. Butir peluh terus muncul membasahi wajah hingga membuat sedikit riasannya memudar. Jantungnya berdegup kencang tak beraturan. Tangannya bergetar, netranya masih sibuk menyelidik ruangan yang baru saja ditinggal oleh sang pemilik.
Dalam hati, Livia terus merapal doa yang ia bisa. Berharap hal itu dapat memberinya secuil ketenangan dan kekuatan. Perlahan, suara pintu yang baru saja dibuka terdengar. Livia kembali melihat perempuan yang baru saja meminta izin ke toilet usai mewawancarai seseorang sebelum dirinya. Perempuan muda berkacamata itu menatap tajam ke arahnya diiringi senyum seringai yang membuat bulu kuduknya merinding.
"Selamat, siang. Perkenalkan, nama saya Fuji. Maaf, tadi saya tinggal sebentar." ujar perempuan bernama Fuji sembari mengulurkan tangan. Livia berdiri dan menjabat hangat uluran tangannya.
"Livia." balas Livia tersenyum kaku lantas kembali duduk setelah Fuji mempersilakannya. Ia bergegas menyerahkan amplop cokelat yang sejak tadi ia bawa kepadanya.
"Baru lulus sekolah ya? Kenapa tidak kuliah?" tanya perempuan itu sambil membaca berkas lamaran Livia.
"I-iya Mbak, tidak ada biaya buat meneruskan." Suara Livia bergetar. Ia memejamkan matanya sejenak, mengumpat dirinya yang bodoh. Pertanyaan klise dan sepele seperti itu saja ia sudah gelagapan untuk menjawabnya.
Ini mental kelas kerupuk banget sih! batinnya kesal.
"Santai saja, ini belum apa-apa lho, atau, mau suhu AC-nya saya naikkan?" sambung Fuji terkekeh melihat ekspresi pelamar seperti Livia entah sudah yang keberapa kali.
"Eh, iya Mbak." sahut Livia malu.
OMG! Di sini ada AC? Astaga, kenapa dari tadi aku ngerasa panas kayak neraka sih. Aahh... sumpah! Gugup kelas kakap ini mah!
"Tahu darimana kalau di sini ada lowongan?" tanya Fuji melanjutkan.
"Dari teman saya Mbak, kebetulan dia juga kerja di sini." jawab Livia tenang. Mencoba membuang segala kerisauan yang sejak tadi bersarang. Dari pandangannya, Fuji bukanlah sosok menakutkan seperti yang ia bayangkan. Perempuan berkacamata itu agak berbeda dengan orang yang pernah mewawancarainya di tempat lain. Mungkin karena Fuji sendiri juga masih muda jadi agak sedikit welcome kepada pelamar-pelamar baru seperti dirinya.
"Apa tujuan dan motivasi kamu melamar kerja di sini?" sambung Fuji, tangannya masih sibuk membolak-balik berkas Livia.
Livia kembali mengatur napas. Menurutnya, di sinilah titik point penting sebuah lamaran akan diterima atau ditolak. Dengan yakin ia langsung menyampaikan orasinya tentang pertanyaan yang baru saja diajukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
365 Days (End)
RomanceIni adalah kisah gadis bernama Livia Almahera bersama 365 harinya. Livia tidak mengira jika keputusannya menerima tawaran kerja di apotek akan membawa dampak besar terhadap hidupnya. Terlebih apa yang ia impikan untuk kuliah bisa terwujud. Ia menjad...