14

2.8K 457 29
                                    

Stevan Boselli POV

Untuk pertama kalinya dalam hidupku aku melihat bagaimana sebuah keluarga bahagia yang harmonis. Namun aku memiliki rasa grogi dan sedikit takut, mungkin karena kini yang ada di hadapanku adalah Papa Vanilla dan ia menatapku dengan tatapan penuh menyelidik. Walau tidak bertampang badboy, tapi kelakuanku juga tidak sebaik laki-laki yang mungkin ada disekitar Vanilla selama ini. Walau aku tau Tuhan itu Maha adil, tapi melihat interaksi Vanilla dengan orangtuanya ada perasaan sedikit iri karena aku tidak memiliki kesempatan seperti itu terlebih bonding dengan Padre sejak orangtuaku bercerai.

Saat Mama Vanilla menjalani kemoterapi, aku, Vanilla dan Papanya menanti di kamar tempatnya dirawat.

"Pa, Mel mana?" Tanya Vanilla santai pada Papanya.

"Lagi temani pasien kamar sebelah."

Seketika aku dan Vanilla mengangkat kedua alis karena cukup kaget mendengar informasi ini.

"Memang siapa yang sakit?" Vanilla kembali bertanya kepada sang Papa

"Ya orang."

Kini aku melihat Vanilla gemas dengan jawaban sang Papa. Bahkan ia sampai memutar kedua bola matanya.

"Iya, aku tau. Cuma aku penasaran siapa? Kok Mel sampai temani di kamarnya. Cowok ya, Pa?"

Kini aku melihat Papa Vanilla tertawa dan menggelengkan kepalanya.

"Panjang ceritanya. Jujur aja, kalo Papa yang jadi keluarganya, sudah pasti bakalan Papa hajar suaminya."

"Memang kenapa, Pa?"

"Dia perempuan Indonesia, seusia Mamamu. Sakit diabetes sudah sampai cuci darah juga, kondisinya ngedrop parah sejak mengetahui suaminya memiliki simpanan."

"What the hell is gong on," gumam Vanilla pelan namun masih bisa aku dengar.

"Punya anak nggak sih, Pa?"

"Ada perempuan satu. Masih kuliah di sini, makanya dia ajak mamanya ke sini. Kasian, Papa sama Mama nggak tega lihatnya kalo kita lagi ketemu di taman."

Obrolan kami masih terus berlangsung hingga Caramel masuk ke ruangan Mamanya dirawat.

"Hai, everybody," sapa Mel ramah dan ceria.

"Darimana Lo?" Tanya Vanilla.

"Temani Tante Sari di ruangannya. Sekarang dia sudah tidur makanya balik kesini."

"Lo makan dulu sama Stevan sana di bawah. Biar gue yang temani Papa."

Vanilla hanya menganggukkan kepalanya dan kini ia mengajakku untuk turun. Kami mencari kafetaria yang ada di rumah sakit ini. Kami makan dalam diam hingga selesai dan aku melihat wajah Vanilla yang tampak murung. Iseng-iseng aku coba bertanya kepadanya agar suasana tidak seperti di kuburan saking sepinya.

"Kamu kenapa murung?"

"Lagi mikir aja, berapa lama manusia bisa saling mencintai satu sama lain jika sudah menikah? Karena jaman sekarang banyak banget orang nikah karena saling cinta, terus kalo sampai selingkuh atau cerai bilangnya sudah nggak ada kecocokan dan sudah nggak saling cinta. Logikanya sih menikah itu nggak mungkin kan bisa cocok 100 persen, cuma tinggal gimana kitanya. Masih nggak habis pikir sama yang tega selingkuh."

"Kamu mau aku kasih pendapat secara jujur menurut pemikiran aku?"

"Iya," jawab Vanilla singkat.

Aku tersenyum memandangnya dan aku menganggukkan kepalaku.

"Cinta itu perlu di pupuk dan dirawat. Kalo cuma cinta saat ini saja tapi tidak pernah merawatnya, otomatis lama-lama akan mati. Apalagi kalo pernikahan sudah tidak ada obrolan, canda dan tawa. Artinya pernikahan itu sudah berakhir. Secara logika setelah menikah semua sifat serta kebiasaan pasangan mau baik atau buruk akan terlihat. Kalo orang pacaran bilang dia bisa melihat sifat aslinya hanya selama masa pacaran, sejujurnya aku nggak percaya. Menikah itu berat, kalo kamu belum merasa yakin, lebih baik jangan. Kamu tau sendiri aku dulu memilih friends with benefits daripada dating itu juga punya alasan, karena aku belum bertemu wanita yang bisa buat aku untuk tetap stay sama dia seberat apapun cobaan dan masalah yang akan kita hadapi di depan."

#SteVanillaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang