#SteVanilla Part 34
Stevan Boselli POV
Puji Tuhan, Madre sudah sadar.
Aku tersenyum kala membaca pesan dari Vanilla yang dikirimkannya kemarin. Secercah senyum muncul di bibirku. Rasanya kali ini Tuhan benar-benar baik di hidupku karena telah membuatku sedikit tenang dan tidak harus khawatir terus menerus karena meninggalkan Madre dalam kondisi yang sedang tidak stabil. Jika Madre sudah sehat, maka aku bisa bekerja dengan fokus dan tenang.
Kini aku mencoba menghubungi nomer telepon Vanilla yang sayangnya sedang tidak aktif. Entah kenapa aku menjadi merasa kesal sendiri. Kini aku taruh handphone itu di atas meja dan segera saja aku masuk ke kamar mandi.
Mungkin aku harus berterimakasih kepada Salma karena telah sudi meminjamkan apartemen orangtuanya untukku selama aku berada di tempat ini. Karena kemurahan hatinya, aku tidak perlu mengeluarkan biaya untuk menyewa apartemen selama berada di Seoul. Apalagi biaya apartemen di sini juga tidak terlalu murah.
Saat berada di dalam kamar mandi, aku tatap wajahku yang menyiratkan kelelahan yang masih tampak nyata. Setelah penerbangan dari Roma ke Seoul, akhirnya aku terserang jet-lag yang membuatku langsung tepar di atas tempat tidur. Saat aku bangun, ternyata hari sudah berganti.
Tak ingin berlama-lama, aku segera mandi dan bersiap-siap. Sejujurnya aku belum terlalu fasih berbahasa Korea dan mau tidak mau aku harus mempelajarinya dengan cepat. Jurus ninjaku adalah dengan sering menonton drama-drama berbahasa Korea selama satu bulan belakangan ini.
Setidaknya aku mengerti beberapa kata-kata dan bagaimana kehidupan orang di sini yang cukup cuek-cuek. Dan aku bersyukur karena aku tidak harus beramah tamah dengan orang-orang yang aku temui. Saat aku memasuki kereta untuk menuju ke kantor perusahaan milik ibu Salma, aku bisa cukup nyaman dengan kesunyian di dalam kereta. Orang-orang sibuk dengan gedget miliknya. Ini membuatku juga melakukan hal yang sama.
Saat aku keluar dari stasiun, aku mulai mencari di mana kantor perusahaan keluarga Salma itu. Hampir dua puluh menit dan akhirnya aku menemukannya. Aku kira perusahaan ini lebih banyak memiliki karyawan dari negara ini. Ternyata tidak juga, hampir tiga puluh persennya adalah warga negara asing. Segera saja aku menghubungi Felix. Orang yang menurut Salma akan menerima kedatanganku kali ini di kantor ini.
Tentu saja aku tidak bisa asal masuk karena aku belum memiliki kartu. Untung saja Felix meminta kepada tim keamanan untuk mempersilahkan aku masuk ke dalam. Seperti gedung perkantoran lain, aku langsung memencet nomer lantai di mana ruangan Felix berada.
Begitu aku sampai di sana, Felix ternyata sudah menungguku. Laki-laki yang cukup ramah, dengan tinggi sekitar 175 centimeter berusia sekitar 47 tahun. Dari semua pembicaraanku dengan Felix, satu informasi yang baru aku ketahui, yaitu Felix adalah ayah sambung Salma. Perusahaan ini sejatinya memang diwariskan kepada Salma oleh mendiang Ibunya Salma, namun ditolak oleh Salma yang mengatakan bahwa kedua anak Felix lebih berhak memilikinya.
Memang ya, hidup terkadang tidak adil. Yang sudah kaya sampai menolak-nolak warisan. Tanpa bekerja keras juga sudah memiliki segalanya. Sayangnya tidak sedikit orang yang mirip denganku. Jangankan untuk memiliki perusahaan, untuk melanjutkan hidup dan mempersiapkan masa tua saja harus banting tulang dari usia muda. Mungkin beginilah nasih perintis, bukan pewaris.
Kali ini Felix langsung mengantarkan diriku ke sebuah ruangan yang ternyata sebagian penghuninya adalah warga negara Italia. Jauh-jauh ke negri gingseng, tapi aku bekerja bersama orang-orang yang berasal dari negara yang sama. Kata Felix mereka adalah team dari Tom (Suami Salma). Mereka yang mengontrol beberapa bidang bisnis Tom di asia timur. Aku akan jadi satu dengan mereka selama bekerja di sini. Semoga saja aku bisa betah di sini karena untuk bisa bekerja di tempat ini saja, semua juga karena kebaikan Tom dan Salma.
KAMU SEDANG MEMBACA
#SteVanilla
ChickLit"Aku enggak mau nikah kalo belum dapat suami setajir Mas Juna dan semanis Mas Ervin memperlakukan Mbak Luna." - Vanilla Attanaya Raharja. "Lebih baik melajang seumur hidup, karena menikah dan berkeluarga itu butuh biaya yang besar selain tanggung ja...