29

2.6K 469 21
                                    

Vanilla Attanaya Raharja POV

Malam hari ini aku menghabiskan waktu untuk duduk berdua dengan Stevan di ruang tunggu pasien rumah sakit. Kami masih sama-sama diam, seakan heningnya malam ini begitu sulit membuat kami saling terbuka satu sama lain walau hanya sekedar dengan obrolan-obrolan ringan. Dari gelagat Stevan yang bisa aku baca, aku tahu jika dirinya memiliki sesuatu yang membuat hatinya galau, tapi aku enggan untuk bertanya lebih dulu kepadanya. Untuk apa aku bertanya? Aku kini hanya seorang mantan pacar baginya, jadi aku tidak memiliki hak untuk bertanya apapun jika ia memang tidak berniat membagi kisahnya denganku, lagipula aku sadar posisi dan sadar porsi diriku baginya saat ini.

Sejujurnya kini aku seakan baru saja terbakar karena tatapan laser yang Stevan berikan kepadaku benar-benar membuatku panas dingin di tempat dudukku. Walau aku sedang tidak menatapnya, namun aku bisa merasakannya.

"Vanilla?"

Astaga...
Kenapa pula dia harus memanggil namaku, bukankah ini sama saja membuatku harus menoleh untuk menatapnya.

Aduh,
Sejujurnya awal bertemu kembali dengannya di rumah sakit ini, saling bertatapan adalah hal yang aku hindari sejak tadi tapi kini mau tidak mau aku harus menatapnya balik karena ia memanggilku.

"Ya?"

"Bolehkah aku titip Madre selama kamu ada di sini."

"Memangnya kamu mau ke mana?"

"Aku harus berangkat ke Korea tiga hari lagi."

Satu detik....

Dua detik...

Tiga detik....

Aku hanya bisa diam di tempat dudukku sambil menatap Stevan dalam-dalam. Apa Stevan bilang, pindah ke Korea? Oh my God, daripada dirinya, akulah yang lebih suka traveling, tapi kenapa justru dia yang akan pergi dan meninggalkan ibunya ketika ibunya sedang sakit seperti ini?

Mau bertanya kepadanya tujuannya ke Korea untuk apa toh aku sudah bukan pacarnya, lagipula aku tidak mau dianggap sok kepo olehnya. Baiklah, aku akan mencoba menjawab ini dengan bijak.

"Apa tidak bisa diundur saja keberangkatan kamu ke Korea?"

Stevan menggelengkan kepalanya yang membuatku hanya bisa menghela napas panjang.

"Tidak. Aku ke sana untuk bekerja. Karena itu aku titip Madre."

Oh, no ...
Jika Stevan pikir aku memiliki waktu luang yang begitu banyak untuk menjaga madre-nya di rumah sakit, ia telah salah besar. Bukannya aku tidak mau menolongnya, namun aku memiliki pekerjaan yang tidak sedikit di kantor yang mewajibkan diriku untuk hadir setidaknya lima hari dalam seminggu. Itu juga terkadang aku masih harus membawa pulang pekerjaanku. Tidak hanya itu saja, aku juga sudah mulai disibukkan dengan packing-packing barang-barang yang akan aku bawa pulang ke Indonesia.

"Bukannya aku nggak mau, tapi kamu pasti tahu kalo aku juga punya kesibukan yang tidak sedikit di kantor. Ditambah aku juga sebentar lagi akan pulang ke Indonesia."

Setelah aku mengatakan ini, aku bisa melihat Stevan yang mengangkat kedua alisnya. Wajahnya terlihat shock saat mendengar perkataan yang keluar dari bibiku ini.

"Pulang ke Indonesia?" Tanya Stevan pelan yang aku balas dengan senyum serta anggukan kepala.

"Kapan?"

"Tidak lama lagi, karena itu mungkin aku tidak bisa menjaga Madre sesuai permintaan kamu. Coba saja kamu minta tolong pada Patricia, siapa tau dia bisa membantu."

Dengan susah payah aku menyebutkan nama wanita itu. Aku berusaha untuk tidak terlihat sakit hati di hadapan Stevan. Pantang bagiku terlihat terluka dan lemah hanya karena masalah percintaan.

Aku melihat Stevan yang menganggukkan kepalanya. Sepertinya pembicaraan kami sudah selesai dan aku berniat untuk mengambil tas milikku yang aku taruh di dalam ruang perawatan Madre. Sekalian mengambil tas, aku berencana untuk pamit pulang kepadanya. Walau beliau belum bisa merespon apapun, tapi setidaknya aku tau jika beliau tetap bisa mendengar semuanya.

Aku bangkit berdiri dari kursi dan aku baru melangkahkan kakiku selangkah saat Stevan sudah memegang pergelangan tangan kananku dengan tangan kirinya yang membuatku berhenti berjalan lalu menoleh ke arahnya.

"Ada apa, Stev?"

"Van, apa kamu masih memiliki perasaan itu?"

Deg'

Jantungku seakan baru saja mengalami amnesia hingga ia lupa caranya untuk berdetak hanya kerena mendengar pertanyaan konyol yang keluar dari bibir Stevan ini.

"Memangnya kenapa?" Tanyaku balik kepadanya.

Jika ia berpikir bahwa aku akan mengatakan iya atau minimal menganggukkan kepala ketika mendapatkan pertanyaan seperti itu, Stevan sudah salah besar.

"Karena perasaan aku ke kamu masih sama seperti dulu."

Omo, omo...
Mungkin wanita lain akan terbang ke awang-awang hingga sampai nirwana, namun tidak denganku. Otakku terlalu realistis sebagai seorang wanita dalam memandang sebuah hubungan. Bagiku jika tidak ada prospek yang jelas kedepannya lebih baik aku skip. Aku tidak mau membuang-buang waktuku untuk sesuatu yang tidak pasti. Salah satu hal yang tidak pasti adalah membicarakan masa lalu yang sepertinya hanya akan menyakiti hati kami berdua.

Aku masih diam dan aku memandang Stevan yang kini bangkit berdiri dari kursi. Saat ia berdiri di hadapanku, terpaksa aku sedikit mendongakkan kepala agar tetap bisa fokus menatap matanya. Dengan keyakinan yang ada di dalam diriku, aku menjawab pertanyaan Stevan ini dengan tegas.

"Kenangan di masa lalu, bahkan cinta yang masih kamu miliki buat aku itu sama sekali nggak ada artinya ketika prioritas kamu sudah berbeda."

Sepertinya jawabanku ini cukup bisa menyentil ginjal Stevan karena setelah aku mengatakan ini semua, cekalan tangannya pada pergelangan tanganku mengendur hingga akhirnya terlepas seutuhnya.

Tanpa banyak mengulur waktu lagi, aku memilih kembali melangkahkan kaki untuk masuk ke ruang perawatan Madre. Aku benar-benar menahan tanggul air mataku agar tidak jebol ketika berada di dalam ruang perawatan Madre. Saat aku sudah mengambil tas, aku mendekati sisi ranjang tempat Madre tidur dan aku pegang lengan tangannya sambil aku bungkukkan tubuhku hingga kepalaku berada di dekat telinganya.

"Madre, prima sono a casa. Domani sarò di nuovo qui*," bisikku ke telinga ibu Stevan.
(*ibu, aku pulang dulu. Besok aku ke sini lagi.)

Setelah mengatakan itu, aku tegakkan tubuhku lagi dan aku memilih berjalan ke luar. Saat aku membuka pintu, tampak Stevan yang sedang berbicara dengan seorang wanita. Saat aku bisa melihat wajah wanita itu dengan jelas, aku hanya bisa tersenyum kecil karena wanita itu adalah Patricia. Ketika aku tersenyum kepadanya, ia juga membalas senyumanku dengan tidak kalah ramahnya. Aku memilih menganggukkan kepala dan segera pergi dari tempat ini tanpa aku harus membuka obrolan atau menyapa serta beramah tamah dengannya terlebih dahulu. Lagipula aku tidak bisa memungkiri perasaan hatiku yang masih saja merasa nyeri ketika mengingat apa yang telah terjadi kemarin.

***

#SteVanillaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang