Stevan Boselli POV
Duniaku rasanya hancur setelah bom atom yang aku dengar dari mulut Pat. Apa benar ini anakku? Mungkin bagi kami yang hidup di barat, memiliki anak di luar nikah bukan sesuatu yang menghebohkan bahkan lumrah saja, tapi tidak bagi Vanilla yang di besarkan di timur dengan adat istiadat yang masih ia pegang teguh. Segila gilanya Vanilla, sebebas bebasnya dirinya, ia tidak mau bertindak bodoh hanya karena alasan cinta.
Kenapa Tuhan, kenapa Pat harus datang di saat aku dan Vanilla sudah melangkah sejauh ini. Andai benar itu anakku tentu saja aku harus bertanggung jawab. Aku tau rasanya hidup tanpa kehadiran seorang ayah. Aku tau bagaimana beratnya hati seorang ibu yang membesarkan anaknya seorang diri. Aku tidak bisa begitu saja menerima ini semua tanpa adanya tes DNA yang seharusnya menjadi bukti otentiknya.
Akhirnya aku meminta Pat untuk melakukan tes DNA. Biaya Tes DNA yang tidak murah tentu saja harus aku ambil dari biaya tabungan pernikahanku dan Vanilla. Kini setelah kami pulang ke apartemen, Vanilla masih diam tidak bereaksi apapun. Aku berharap ia akan marah besar, menamparku atau mengeluarkan sumpah serapahnya. Sayangnya, ia tidak seperti itu. Ia memilih diam sambil duduk di sofa. Ia menyedekapkan tangannya di depan dada dengan bibir yang menggigiti kuku tangan kanannya. Wajahnya tampak berfikir serius. Aku belum berani mengajaknya berbicara sehingga aku memilih duduk di sampingnya tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Satu jam kami duduk dalam kesunyian hingga akhirnya Vanilla membuka mulutnya.
"Stevan," panggilnya pelan yang membuatku menoleh dan menemukan dirinya sudah menatapku lekat-lekat.
"Ya?"
"Untuk masalah anak Pat, aku akan simpan ini dari keluargaku hingga kalian melakukan tes DNA dan hasil dari tes DNA itu keluar."
Setelah beberapa jam ini, akhirnya aku bisa menghirup nafa dengan lega. Sumpah, aku memiliki ketakutan yang tak beralasan jika keluarga besarnya terutama orangtuanya tau tentang masalah ini. Sejak berpacaran dengan dirinya, aku cukup dekat dengan keluarganya. Tidak hanya dengan saudara kembarnya namun juga Alda sepupunya.
"Kita baru akan tes DNA sepulang dari Indonesia," jawabku santai.
"No. Kamu lakukan tes itu sebelum kita berangkat dan hasilnya akan kita buka bersama termasuk dengan Pat setelah kita pulang dari Indonesia."
Entah kenapa banyak pertanyaan di dalam kepalaku yang ingin aku tanyakan kepada Vanilla namun bibirku terasa kelu kali ini.
"Van," panggilku padanya yang membuatnya hanya mengangkat kedua alisnya.
"Andai anak Pat adalah anak aku, apa kamu akan ninggalin aku?"
Akhirnya, sesuatu yang sulit untuk keluar dari bibirku bisa keluar juga. Kini aku melihat Vanilla tegang di sebelahku. Tampak wajah bimbangnya yang tidak bisa ia sembunyikan. Hingga akhirnya ia menggelengkan kepalanya. Semoga saja artinya adalah ia akan bertahan pada hubungan kami. Namun semua sirna ketika aku mendengarnya berujar, "Aku saat ini belum tau akan bagaimana hubungan kita kedepannya. Mungkin aku bisa menerima kamu apa adanya, tapi keluargaku belum tentu. Di sini memiliki anak di luar nikah mungkin hal biasa, tapi bagi keluargaku yang berasal dari timur, belum tentu berfikiran sama, apalagi keluargaku termasuk keluarga terpandang, Stevan. Bagi mereka memiliki anak di luar pernikahan sah tentunya sama saja sebuah aib."
"Terus kita harus bagaimana?"
"Ya kamu jangan tanya sama aku. Seharusnya kamu renungkan ini semua. Sebagai manusia apalagi kamu sudah dewasa seharusnya kamu berfikir berulang kali ketika akan berhubungan badan tapi kamu belum siap untuk memiliki anak apalagi bukan dengan pasangan resmimu. Anak itu nggak berdosa sama sekali. Dia berhak mendapatkan hak-haknya tanpa terkecuali. Kalo kamu ayahnya, maka kamu harus bertanggung jawab."
"Okay, aku akan bertanggung jawab, tapi rencana pernikahan kita tahun depan harus sesuai rencana."
Vanilla tertawa di sebelahku, tawanya seolah ia sedang menertawakan keadaan kami saat ini. Sungguh, andai aku bisa memutar waktu, tentu aku tidak akan bercinta dengan Pat dan akhirnya hidupku menjadi runyam seperti ini. Ini baru reaksi Vanilla, belum juga aku harus menghadapi reaksi Madre jika tau ia memiliki cucu yang bukan berasal dari rahim Vanilla. Entah aku akan digantung atau mungkin tidak dianggap sebagai anaknya lagi.
"Aku nggak bisa kasih kamu kepastian tentang rencana pernikahan kita. Aku pribadi belum siap untuk menjadi seorang ibu sambung jika itu benar adanya."
"Andai kata benar itu anakku, aku melakukan kesalahan itu ketika kita belum berpacaran."
"Anak itu juga bukti bahwa kamu tidak bisa menahan napsu birahi, Stevan."
"Aku nggak bisa tahan napsu birahi? Kita dating satu tahun dan aku belum pernah nyentuh kamu. Kamu pikir itu hal mudah?"
"Terserah apa kata kamu, sekarang kamu keluar dari apartemen aku dan tolong kasih aku waktu untuk sendiri dan berfikir tentang hubungan kita."
Aku mendengus mendengar perkataan Vanilla. Tanpa menjawab kata-katanya aku bangkit berdiri dan segera keluar dari apartemen ini. Satu-satunya yang bisa aku temui ada Patricia. Dia harus menjelaskan semuanya tanpa ada yang ditutupi. Karena perkataannya sekarang hubunganku dengan Vanilla diambang kehancuran. Aku tidak akan bisa merelakannya. Susah payah kami berusaha mempertahankan hubungan ini bahkan aku berusaha keras membuktikan kepada keluarganya jika aku pantas mendampinginya.
***
Setelah dari apartemen milik Vanilla, aku segera menuju ke rumah Patricia. Ketika aku sampai disana, rumah besar nan mewah itu tampak kosong tak ada seorang pun di sana. Akhirnya aku mencoba meneleponnya dan tidak di angkat olehnya. Berkali kali aku mencoba meneleponnya hingga saking frustrasinya, aku bahkan menendang pagar rumahnya. Dengan rada penuh kecewa, aku segera kembali melajukan motorku menuju ke rumah. Saat tiba di rumah, sebuah pesan dari Patricia masuk yang menanyakan kenapa aku meneleponnya berkali kali.
Aku tidak bisa sabar hanya dengan mengetikkan pesan kepadanya, maka dari itu, aku segera meneleponnya. Aku sudah menumpahkan segala rasa kesalku kepada Pat yang hanya ia tanggapi dengan mengatakan, " Non esigo responsabilità da te. Posso ancora mantenere mio figlio senza il tuo aiuto, Stefan. è la tua vita e questa è la mia vita. Sto solo dicendo la verità, qualunque sia la reazione di Vanilla è fuori dal mio controllo*," Aku mendengus ketika mendengarnya mengatakan itu. (*aku tidak menuntut tanggung jawab darimu. Aku masih sanggup membiayai anakku sendiri tanpa bantuan darimu, Stevan. Itu hidupmu dan ini hidupku. Aku hanya mengatakan sebuah kebenaran, apapun reaksi Vanilla itu diluar kuasaku.)
"Allora ci vediamo in ospedale domani*," kata kepada Pat, setelah itu aku tutup teleponnya. Sungguh aku merasa batas kesabaranku sedang di uji oleh Tuhan. (*kalo begitu sampai bertemu di rumah sakit besok.)
Ya Tuhan,
Apapun kesalahan yang aku buat di masa lalu, aku hanya memohon kepadaMu untuk tetap menjaga hubunganku dengan Vanilla agar tetap baik-baik saja. Bagiamanapun kami telah berjuang bersama hingga sampai di titik ini.***
Terimakasih untuk kalian semua yang telah menantikan kelanjutan kisah Stevan dan Vanilla hingga part 17 ini.
Jika kalian menyukai kisah mereka berdua, silahkan klik Vote ya 🤗
Mamak harap jika kalian menemukan typo di tulisan mamak silahkan comment agar mamak segera mengupdatenya dan mamak bisa menyajikan tulisan yang layak untuk kalian semua baca 😊🙏 terimakasih
KAMU SEDANG MEMBACA
#SteVanilla
ChickLit"Aku enggak mau nikah kalo belum dapat suami setajir Mas Juna dan semanis Mas Ervin memperlakukan Mbak Luna." - Vanilla Attanaya Raharja. "Lebih baik melajang seumur hidup, karena menikah dan berkeluarga itu butuh biaya yang besar selain tanggung ja...