28

4.7K 589 31
                                    

Stevan Boselli POV

Hari ini aku sedang mempersiapkan kepindahanku. Tiga hari lagi aku harus meninggalkan Italia. Aku akan menerima tawaran pekerjaan dari Salma dan suaminya, Tom. Ia menawarkan pekerjaan kepadaku di perusahaan milik mendiang Mamanya yang berlokasi di Korea Selatan. Dengan berat hati aku harus meninggalkan Fazio, Madre dan tentunya semua kenangan tentang Vanilla dan kota ini. Sebulan lebih kami telah memutuskan hidup masing-masing dan sekarang aku lebih menyerahkan semuanya kepada takdir. Andai memang kami berjodoh, maka Tuhan akan mempersatukan kami suatu saat nanti.
Saat aku baru saja menarik koper untuk aku bawa ke ruang depan, tiba-tiba handphoneku berbunyi. Segera saja aku meraihnya dan saat aku lihat di sana, nama Vanilla muncul. Entah kenapa ini sesuatu yang aneh. Vanilla bukan wanita yang akan mengemis kepada laki-laki tentang sebuah cinta, jadi jelas dia tidak mungkin meneleponku jika hanya itu berurusan dengan perasaan yang mungkin tidak akan terlalu ia dahulukan daripada logikanya. Penasaran dengan apa yang mungkin akan dia katakan, aku segera mengangkatnya.

"Hallo, Van," aku tetap menggunakan bahasa Indonesia sama seperti biasanya kami berkomunikasi.

Bukannya menjawabku, kini yang ada Vanilla justru menangis sesenggukan. Entah kenapa mendengarnya seperti ini aku menjadi takut sendiri.

"Stev, Madre," kata Vanilla di sela-sela tangisannya.

Deg ....

Jantungku serasa berhenti berdetak sepersekian detik. Ada apa dengan Madre?

"Madre? Madre kenapa?" Tanyaku yang mulai panik.

Vanilla masih menangis sesenggukan, hingga akhirnya ia mengatakan kondisi Madre yang jatuh pingsan ketika bertemu dengannya membuatku sudah tidak bisa lagi mendengar dengan baik apa yang Vanilla katakan saat ini. Saat Vanilla menyebutkan nama rumah sakit tempat Madre dirawat, tanpa berbasa basi, aku segera menutup telepon dari Vanilla itu. Aku segera berjalan ke arah kamar dan aku meraih kunci motorku. Secepat yang aku bisa, aku melajukan motor menuju ke rumah sakit.

Hampir 30 menit perjalanan, akhirnya aku tiba di rumah sakit. Saat sampai di sana akhirnya aku bertemu dengan Vanilla di depan ruangan Unit Gawat Darurat. Wajah Vanilla tampak sedih dan lemas. Baru dua kali aku menemukan ia seperti ini. Pertama saat Mamanya di diagnosa menderita Kanker payudara dan kedua adalah saat ini. Segera saja aku mendekatinya. Aku tanyakan di mana Madre berada dan apa yang terjadi padanya. Bukannya langsung menjawab aku, Vanilla justru bangkit berdiri untuk menyambutku.

Ya Tuhan,
Kenapa ia terlihat serapuh ini saat ini. Padahal saat aku melihatnya bersama laki-laki itu, ia tampak bahagia. Berbeda jauh dengan saat ini.

Duniaku gonjang ganjing, rasanya tsunami dahsyat baru saja menenggelamkanku di dalam airnya saat mendengar Vanilla mengatakan jika Madre mengalami serangan jantung dan kini ia sedang mendapatkan tindakan medis. Lemas, itulah yang aku rasakan saat ini. Aku bahkan sudah jatuh terduduk di kursi di sebelah kursi yang di duduki Vanilla tadi.

Ya Tuhan,
Kenapa oh kenapa?
Apa belum cukup Engkau mengujiku dengan berbagai macam cobaan selama ini?
Fazio mengidap penyakit jantung bawaan dan kini Madre mendapatkan serangan jantung.

Walau aku sudah berusaha memperbaiki diri, kenapa saat ini justru cobaan itu datang bertubi-tubi. Sampai di mana kemampuanku menanggung ini semua? Kondisi Madre yang seperti ini dan tiga hari lagi aku harus pergi ke Seoul, tentunya ini akan membuat keadaan menjadi kacau. Tidak mungkin aku membatalkan semua ini. Aku membutuhkan pekerjaan ini untuk menghidupi Fazio, diriku sendiri, bahkan aku butuh mempersiapkan masa depanku. Aku tidak mau Vanilla bahkan keluarganya memandangku sebelah mata hanya karena aku ini laki-laki yang pernah memiliki anak di luar nikah. Bagi kami yang tinggal di barat itu hal lumrah bin wajar, namun berbeda dengan mereka yang berasal dari timur. Andai aku bertemu mereka kembali, aku ingin menjadi Stevan yang baru yang membuat mereka bisa mengangkat topi untukku. Walau aku tahu menyejajarkan diri ini dengan mereka jika dimulai dari nol tentunya bukan hal mudah dan cepat.

Entah berapa lama kami menunggu Madre di tempat ini hingga akhirnya seorang dokter keluar dari sana dan mengabarkan jika saat ini kami bisa tenang. Dengan kuasa Tuhan, mereka sudah berhasil menyelamatkan Madre dan kini Madre akan dipindahkan ke ruang perawatan.

Baik aku ataupun Vanilla tidak ada yang membuka mulut kami untuk memecah keheningan ini. Biarlah, aku sedang tidak bisa berfikir apapun selain kesehatan Madre. Saat melihat Madre dipasangi berbagai macam alat di tubuhnya ternyata sanggup membuatku merasa sesak napas. Rasanya semua oksigen sudah di tarik dari bumi yang membuatnya tidak tersedia lagi. Tanpa aku sadari air mataku menetes melihat ini semua. Dua orang di kehidupanku mengalami sakit jantung dan mereka adalah dua orang penting yang masih memiliki hubungan darah denganku. Jangan sampai Tuhan mengambil mereka dari dekapanku. Aku belum tentu bisa hidup tanpa Madre apalagi tanpa Fazio.

Sejak putus dari Vanilla, hidupku hanya aku abdikan untuk berkerja dan mengurus Fazio. Aku membagi tugas dengan Patricia dalam menjalani peran orangtua untuk anak kami. Aku memang tidak mencintainya apalagi memiliki hubungan khusus dengannya selain ia adalah ibu dari anakku.

Aku hanya mengangkat pandanganku ketika mendengar suara pintu di buka dan Vanilla memilih keluar tanpa pamit kepadaku. Biarlah, aku tidak akan repot-repot menanyakannya. Kali ini aku memilih duduk di kursi sambil menunggu Madre di sini. Aku memegang lengannya dan menidurkan kepalaku di sisi ranjangnya. Dengan Madre, dialah wanita hebat yang paling berjasa di hidupku. Ia abdikan hidupnya untuk menghidupi diriku tanpa adanya bantuan dari ayah kandungku.

Hampir satu jam Vanilla keluar dari ruang perawatan Madre hingga akhirnya ia membuka pintu itu lagi dan masuk dengan membawa kotak makan. Aku hanya menatapnya hingga ia berhenti berjalan saat berada di sebelahku.

"Stev, kamu makan dulu," katanya sambil mengulurkan kotak yang entah berisi makanan apa.

Untuk menghargai perhatiannya kepadaku, akhirnya aku hanya menganggukkan kepalaku dan segera aku bangkit berdiri. Aku ucapkan terimakasih kepada Vanilla yang hanya ia tanggapi dengan anggukan serta senyuman. Senyumannya yang selalu bisa membuatku merasa damai walau kini senyum itu sudah tidak pernah menghiasi kehidupanku lagi.

Aku segera berjalan menjauhi ranjang Madre dan aku menuju ke sofa yang ada di ruangan ini. Vanilla kini duduk di kursi yang tadi aku duduki dan mataku terpaku pada setiap pergerakannya di saat ia mulai membuka tasnya, lalu ia mengeluarkan kitab injil-nya. Aku melupakan rencanaku untuk makan dan justru menatapnya yang kini fokus membaca halaman demi halaman kitab Injil.

Ya Tuhan,
Dia masih sama dengan yang dulu saat aku mengenalnya. Dia yang perfeksionis, menjunjung tinggi logika daripada perasaannya dan satu lagi, dia anak Tuhan yang tidak pernah lupa membawa Injil ke mana pun ia pergi. Bahkan ia akan membacanya selagi memiliki waktu luang.

Dadaku cukup sakit melihat ini semua, mungkin saja Tuhan tidak akan rela melepaskan Vanilla yang sempurna itu untuk laki-laki bajingan sepertiku. Mungkin Vanilla sadar aku memperhatikannya, hingga akhirnya ia menoleh kepadaku. Sudah terlanjur ketangkap basah, buat apa aku memalingkan wajah? Lebih baik aku balas menatapnya. Tatapan mata teduh Vanilla seolah sedang berkata kepadaku jika semua akan baik-baik saja.

Vanilla adalah orang yang memutuskan acara saling pandang kami dalam kebisuan tatkala handphone miliknya berdering. Ia segera menutup kitab Injil itu dan meletakkannya di meja dekat ranjang Madre. Ia ambil handphonenya dari dalam tas dan berjalan keluar dari ruangan ini.

Baiklah, suara handphone tadi mungkin adalah sebuah tanda peringatan untukku. Peringatan bahwa kemungkinan besar yang meneleponnya adalah orang yang ia tidak inginkan aku mengetahui isi pembicaraan mereka itu apa. Daripada berfikir yang tidak-tidak lebih baik aku segera memakan makanan yang dibawakan Vanilla untukku.

***

#SteVanillaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang