Stevan Boselli POV
Rasanya kali ini aku seperti sedang menghadiri sidang hidup dan mati dengan aku sebagai terdakwa dan Papa Vanilla sebagai hakimnya. Aku duduk di hadapannya dan ia sedang menilaiku dari ujung rambut hingga ujung kaki. Tentu saja aku bukan menantu idaman baginya karena aku tidak mahir bermain olahraga bulutangkis. Aku juga tidak terlalu tau seluk beluknya.
"Apa kamu serius dengan putri saya?" Tanya Papa Vanilla sambil fokus menatap diriku.
"Iya. Saya serius dengan dia."
"Kalo begitu kapan kamu akan menikahinya?"
Oh My God,
Kami baru pertama kali bertemu dan beliau sudah langsung menanyakan hal ini kepadaku."Sejujurnya saya dan Vanilla baru resmi berhubungan beberapa jam yang lalu. Kali ini saya belum bisa menjawab dengan pasti untuk kapannya. Semoga Bapak bisa memahami situasi kami."
Aku mencoba mengatakan dengan jujur kepada Papa Vanilla. Jika aku boleh jujur, aku ingin kami setidaknya berpacaran selama satu tahun terlebih dahulu sebelum akhirnya melangkah ke jenjang yang lebih serius. Karena bagi kami berdua menikah hanya sekali seumur hidup.
"Okay, saya akan kasih kamu waktu satu tahun tidak ada lebih dari itu karena usia Vanilla juga sudah bukan usia ABG lagi."
"Baik, Pak. Terimakasih."
Kini setelah pembicaraan singkat namun berbobot berat ini selesai dilakukan, aku segera menuju kamar tamu yang sudah disediakan Caramel.
***
Malam ini Vanilla tidak pulang ke apartemen. Ia memilih menemani sang Mama di rumah sakit bersama Papanya. Kini hanya ada aku dan Caramel disini dan kami baru saja selesai makan malam.
"Van," panggil Caramel padaku.
"Hmm?"
"Besok keluarga gue datang dari Indonesia. Lo harus bersikap jadi calon menantu idaman ya?"
Aku mengernyitkan kening. Keluarga? Aku sudah bertemu keluarga inti Vanilla dan sekarang masih ada sesi bertemu keluarga besar lagi?
"Menantu idaman?"
"Iya. Kaya Mas Ervin gitu sama Mas Juna."
"Memang kelebihan mereka berdua apa?" Aku coba bertanya kepada Caramel walau aku sudah pernah bertemu dan berkenalan dengan dua sosok tersebut.
"Mas Ervin itu beneran sosok suami yang Papa able banget. Sayang istri, sayang anak, setia. Kalo Mas Juna? Dia sosok yang asyik, nggak pelit sama keluarga apalagi sama istri."
Aku hanya bisa menghela nafas. Tentu saja Juna tidak pelit kepada keluarga, uangnya banyak, harta tidak akan kekurangan sampai memiliki cucu. Bahkan yang aku dengar dari Vanilla, almarhumah sang Mama merupakan salah satu bisnis woman yang sukses dulunya. Itu belum dari pihak Papanya serta ibu sambungnya. Aku juga kalo jadi Juna tidak akan pelit apalagi soal materi.
"Selain materilah, Mel. Kalo sudah ngomongin materi, aku nggak ada seujung kukunya keluarga kalian. Dibanding kalian aku miskin materi."
Bukannya berempati, yang ada Caramel justru tertawa terbahak-bahak.
"Semangat, Van. Lahir miskin itu bukan dosa dan aib, tapi kalo Lo mati dalam keadaan kekurangan, nah itu baru salah lo. Nggak mungkin kita akan hidup enak di masa tua tanpa adanya kerja keras di waktu muda."
Aku menghela nafas dan aku segera bangkit berdiri dari kursi yang aku duduki.
"Mau kemana Lo, Van?" Tanya Caramel kepadaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
#SteVanilla
ChickLit"Aku enggak mau nikah kalo belum dapat suami setajir Mas Juna dan semanis Mas Ervin memperlakukan Mbak Luna." - Vanilla Attanaya Raharja. "Lebih baik melajang seumur hidup, karena menikah dan berkeluarga itu butuh biaya yang besar selain tanggung ja...