"Aku enggak mau nikah kalo belum dapat suami setajir Mas Juna dan semanis Mas Ervin memperlakukan Mbak Luna." - Vanilla Attanaya Raharja.
"Lebih baik melajang seumur hidup, karena menikah dan berkeluarga itu butuh biaya yang besar selain tanggung ja...
Akhirnya aku tiba di Indonesia untuk pertama kalinya. Aku cukup bersyukur karena keluarga Vanilla bisa menerimaku dengan tangan terbuka. Bahkan kini aku dan Vanilla sedang berjalan jalan di taman yang ada di dekat alun-alun. Sejujurnya aku adalah orang yang cukup cuek, namun entah kenapa beberapa orang melihatku dengan pandangan yang sedikit menyelidik. Sejujurnya itu membuatku sedikit tidak nyaman.
"Nggak usah bingung kalo jadi tontonan. Wajar aja kamu jadi tontonan, kamu kan ganteng."
Andai dalam keadaan hubungan kami yang baik-baik saja, aku tentu akan bahagia mendengar Vanilla memujiku seperti itu, namun kondisi kami sedang tidak kondusif sehingga ini lebih terdengar seperti sindiran.
Aku hanya bisa menghela nafas. Lalu aku mengikuti Vanilla duduk di sebuah kursi panjang yang ada di pinggiran taman tersebut.
"Fisik itu bukan jadi hal yang utama, karena lama-lama akan luntur juga seiring bertambahnya usia."
Mendengar kata kataku Vanilla justru tertawa dan menepuk bahuku pelan.
"Stevan, Stevan, kamu kira orang bakalan langsung lihat hati seseorang kalo naksir untuk pertama kali? Ya tentu aja pertama fisik dulu yang jelas kelihatan dari mata baru turun ke hati kalo sudah kenal dan nyambung kalo ngobrol."
"Aku nggak kaya gitu ke kamu. Aku tertarik sama kamu itu justru karena kamu adalah wanita unik dengan segala pemikiran kamu yang out of the box daripada kebanyakan perempuan di luar sana."
"Lebih tepatnya karena aku nggak bisa se-prinsip sama kamu dulu yang ingin kita jadi friend with Benefits. Aku tegas dengan prinsipku, mungkin itu yang buat aku beda sama perempuan yang banyak kamu temui. Sebagai laki-laki mungkin kamu tertantang untuk menaklukan aku. Sudah hukum alam kan seperti itu? Semakin kita nggak bisa mendapatkan yang kita inginkan, semakin akan bersemangat kita untuk mendapatkannya."
Deg... Luar biasa Vanilla ini, dia bisa mengutarakan apa yang kadang orang urung mengungkapkannya tanpa ada rasa takut, sungkan apalagi rasa tidak enak.
"Mungkin," jawabku singkat.
Kini aku melihat Vanilla berdiri dari posisi duduknya dan aku mengikutinya berdiri.
"Kita mau ke mana?" Tanyaku ketika kami berjalan menuju ke mobil.
"Mau ke butik," jawab Vanilla santai sambil menekan tombol untuk membuka pintu mobil.
"Mau ngapain?"
"Fitting kebaya buat aku sama fitting beskap buat kamu."
"Beskap itu apa?"
"Jas tertutup dan salah satu pakaian tradisional Jawa," jawab Vanilla sambil kini kami memasuki mobil.
Sejujurnya aku tidak tau sekaya apa orangtuanya Vanilla. Karena Vanilla saja menggunakan mobil sport Ferarri F8 Tributo warna merah. Sungguh, Vanilla yang aku kenal selama ini di Roma, berbeda dengan dirinya kini yang sedang duduk di belakang kemudi. Ia lebih terlihat sebagai sosok wanita yang mungkin akan sulit untuk di gapai oleh laki-laki biasa sepertiku.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.