26

2.7K 569 48
                                    

Adakah yang masih menunggu update cerita Stevan dan Vanilla? Kalo iya malam ini mamak update lagi ya, maaf kalo nggak panjang karena dari pagi badan rasanya ampun ampunan, satu rumah semua lagi pada meriang.

Semoga kalian maklum adanya. Akhir kata mamak ucapkan selamat membaca 😊🙏

***

Stevan Boselli POV

Kali ini rasanya sial sedang datang bertubi-tubi kepadaku. Bahkan aku harus menelan pil pahit tentang kegagalanku meyakinkan Vanilla bila semua akan baik-baik saja. Aku tidak bisa menyalahkannya jika memilih untuk berhenti sejenak pada masalah yang sedang kami hadapi ini. Ya, memilih untuk mundur memang sebuah keputusan tepat baginya. Apa yang mau ia banggakan dari diriku? Kaya? Tidak, aku bukan laki-laki berlebihan dalam hal materi, moral? Walau aku mencoba memperbaikinya tapi kenyataannya kehadiran Fazio sudah menjadi bukti bahwa aku bukanlah laki-laki yang baik dulunya. Kini setelah menerima keputusan Vanilla ini, ada satu hal yang harus aku lakukan, yaitu memberitahu Madre jika aku telah memiliki anak. Aku yakin Madre akan bahagia ketika ia tau jika memiliki cucu, namun ia tidak membunuhku saja setelah mengetahui aku menghamili anak orang dan tidak bertanggung jawab itu sudah sebuah keajaiban. Tidak peduli jika usiaku sudah tiga puluh tahun lebih, tapi aku masih merasa takut untuk jujur kepada Madre. Anggaplah aku seorang pecundang, namun setiap anak pasti akan memiliki ketakutan yang sama denganku ketika akan jujur kepada orangtuanya setelah ia berbuat salah, apalagi kesalahan itu bukan kesalahan kecil. Yang aku perbuat adalah sebuah kesalahan yang merubah takdir hidupku, hidup Madre bahkan hidup Patricia.

Dengan perasaan berdebar debar di hati, aku mencoba mengetuk pintu rumah Madre dan tidak lama setelahnya ia membukakan pintu untukku. Hal pertama yang bisa aku lihat dari Madre setelah beberapa waktu tidak bertemu dengannya adalah sosoknya yang semakin kurus dan entah mengapa aku merasa ada yang tidak beres dengan kesehatan Madre. Aku pastikan, aku akan mengantarkannya memeriksakan kesehatannya secepatnya.

Saat aku masuk ke rumah dan mengajak Madre berbicara, Madre hanya bisa mengelus dadanya beberapa kali. Aku masih beruntung karena tidak kehilangan nyawaku ketika jujur kepada Madre. Madre hanya menangis karena ia merasa gagal mendidik anaknya. Demi Tuhan, apapun yang terjadi kepadaku saat ini, bukan karena ia salah mendidik diriku, tapi ini kesalahanku. Aku yang salah karena memilih sebuah hubungan dengan asas friend With benefits dan melakukan one night stand.

Madre menjadi semakin terlihat bersedih tak kala ia tau hubunganku dengan Vanilla yang sudah di tingkat serius ini harus terguncang hebat karena masalah ini. Tentunya Madre memiliki ketakutan tentang hubunganku dan Vanilla akan berakhir. Daripada aku berbohong, akhirnya aku memilih berterus terang kepadanya walau ini menyakitkan. Aku mengatakan kepadanya bahwa aku dan Vanilla sedang "beristirahat" sejenak untuk memikirkan apa yang terbaik untuk kami berdua. Madre hanya menganggukkan kepalanya dan memintaku untuk fokus kepada Fazio. Saat ini Fazio lebih membutuhkan aku daripada Vanilla. Bagaimanapun aku adalah ayahnya. Apalagi yang namanya darah pasti lebih kental daripada air. Fazio darah dagingku dan tidak ada yang namanya bekas anak.

Kini setelah menerima banyak ceramah dari Madre, akhirnya aku memilih pulang dan aku harus segera menghubungi Patricia untuk meminta izin membawa Fazio bertemu dengan Madre. Aku sudah bertekad akan memfokuskan Fazio di hidupku. Sudah cukup aku menimbun dosa, walau aku mungkin tidak bahagia dengan pilihan hidupku ini, tapi ini lebih baik daripada aku berlarut-larut memikirkan hubunganku dengan Vanilla. Baiklah, aku memang mencintainya, namun terkadang sifat perfeksionis, tegas dan kerasnya sungguh membuatku harus mencari stock sabar yang tiada habisnya. Tidak mudah mengerti dirinya, namun dengannya aku merasakan apa itu ketentraman jiwa. Dia yang cerdas, pintar dan teguh pendirian selalu membuatnya berbeda dari banyak wanita yang pernah aku temui sebelumnya di hidupku. Yang aku harapkan adalah ia akan baik-baik saja saat ini, karena aku tidak bisa ada di dekatnya dan memastikan apakah ia akan baik-baik saja.

***

Seminggu sudah berlalu sejak aku menemui Madre di rumahnya. Kali ini aku datang ke rumah Patricia yang terlihat mewah ini. Aku yakin tanpa bantuanku pun ia akan bisa menghidupi Fazio seorang diri. Namun sayangnya, hati nuraniku tidak bisa membiarkan ia melakukan itu seorang diri. Aku tetap bertanggung jawab akan keberlangsungan hidup Fazio.

Saat aku masuk ke rumah itu, tampak Fazio yang sedang berada di dalam stroller. Tanpa banyak berbasa basi, aku meminta izin kepada Patricia untuk menemuinya. Aku angkat Fazio dari strollernya. Saat pertama kali menggendong dan memeluknya, aku hirup aroma tubuhnya. Aroma tubuh khas bayi yang menyapu indera penciumanku. Kini, dialah harta paling berharga yang aku miliki. Untuknya aku akan rela melakukan apa saja termasuk memberikan nyawaku untuknya.

"Puoi portarlo a fare una passeggiata*," kata Patricia kepadaku yang tentunya tidak akan aku tolak. (*Kamu boleh membawanya untuk jalan-jalan.)

"Veramente?*" Tanyaku untuk memastikan apa yang aku dengar benar atau tidak. (*benarkah?)

" dopotutto sei suo padre*," kata Patricia sambil tersenyum. Namun semanis apapun senyuman Patricia, bagiku tidak akan berarti apa-apa selain ia adalah ibu dari anakku. (*Iya. bagaimanapun kamu adalah ayahnya. )

Tanpa membuang waktu akhirnya aku segera mengajak Fazio untuk berjalan jalan di sekitar Roma. Aku tau Roma itu luas dan banyak sekali penduduknya hingga seharunya untuk berpapasan dengan Vanilla sangat sedikit presentasenya, namun sayangnya kini aku justru melihatnya sedang berjalan jalan bersama seorang Pria muda yang tampan dan terlihat perlente. Aku tau pria itu bukan saudaranya karena aku sudah bertemu semua keluarganya ketika berada di Indonesia. Sejujurnya, aku baru sekali ini melihatnya. Dari apa yang aku tangkap dengan indera penglihatanku, Vanilla tampak sehat, ceria dan tidak ada beban sama sekali. Mungkin dirinya sudah memilih membuka hatinya lagi untuk pria lain di hidupnya, namun kenapa harus secepat ini?

Karena hatiku tidak kuat melihat ini semua, akhirnya aku memilih untuk berbalik arah dan segera mendorong stroller milik Fazio kembali ke tempat semula. Sudah cukup sepertinya hari ini aku habiskan bersama Fazio, di tambah bonus melihat kemesraan Vanilla dengan pria itu. Kini, saatnya aku harus mempertimbangkan tawaran dari Salma untuk mencoba meneruskan pendidikanku lagi. Tidak ada salahnya mungkin mencoba menambah ilmu kembali di jurusan ekonomi dan bisnis. Apalagi tawaran beasiswa dari Salma dan Tuan Tom yang mungkin akan membuatku bisa segera keluar dari Italia dan menata hidupku kembali tanpa ada Vanilla di dalamnya. Semoga saja aku bisa melalui ini semua. Entah bagaimana ujungnya, namun aku tau, ini adalah saatnya aku menjauh darinya agar beban hidupnya tidak seberat saat ia bersamaku.

Untuk Vanilla,
Semoga kamu bahagia dengan apa yang kamu jalani saat ini. Maaf jika ketika kamu bersamaku, kamu harus merasakan hidup yang jauh berbeda dengan kehidupanmu yang dulu.

***

#SteVanillaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang