#SteVanilla Part 32
Stevan Boselli POV
Aku menghela napas panjang kala melihat saldo di rekening tabunganku yang tidak jadi aku pakai untuk biaya pernikahan dengan Vanilla. Awalnya uang itu akan aku gunakan untuk kepentingan Fazio, namun kini saat kondisi Madre dalam keadaan seperti ini, tidak mungkin aku meninggalkannya untuk bekerja tanpa aku memberikan uang yang cukup untuk kebutuhan hariannya. Apalagi dengan kondisinya sekarang, Madre jelas sudah tidak bisa bekerja lagi.
Meskipun Patricia tidak meminta uang untuk keperluan Fazio, namun aku sadar dengan kewajibanku sebagai ayah biologis Fazio. Jangan sampai pahitnya kehidupan yang aku jalani tanpa sokongan dana dari Ayahku, dirasakan juga oleh anakku.
Kini aku mulai menghubungi Patricia dan memintanya untuk bertemu. Dikarenakan kondisi Fazio yang sering sesak napas, Patricia memintaku datang ke rumahnya. Tidak mau berdebat lebih panjang tentang tempat kami akan bertemu, aku memilih untuk menemuinya di rumahnya.
Saat aku sampai di sana, ternyata Patricia sedang berada di halaman rumahnya yang luas. Sepertinya memang lebih baik aku mengajaknya bicara di sini saja daripada di dalam rumah. Aku mencoba tersenyum tanpa memberikan penjelasan kepada Patricia kala aku menolak untuk ia ajak masuk ke dalam rumah.
Tanpa berbasa-basi lagi, aku mulai mengutarakan tujuanku datang ke tempat ini. Aku mencoba jujur pada Patricia dan mengatakan jika aku tidak bisa memberikan uang bulanan untuk bulan ini sampai aku mendapatkan gaji pertamaku setelah aku bekerja di Seoul nanti. Patricia memang mengerti dengan alasanku yang mengutamakan memberikan uang ini untuk Madre terlebih dahulu daripada Fazio. Bahkan Patricia justru mengatakan kepadaku untuk menyimpan uang gajiku terlebih dahulu sebagai pegangan dan biaya hidup selama di negara orang. Ia mengatakan bahwa dirinya sampai saat ini masih mampu membiayai Fazio seorang diri. Baginya, aku mengakui Fazio sebagai darah dagingku sudah cukup. Ia tidak menuntut apapun lebih dari ini.
Sejujurnya aku tidak menyangka jika Patricia akan semengerti ini dengan kondisiku. Berbeda dengan Vanilla yang langsung mengambil sikapnya untuk meninggalkan diriku kala aku mengatakan prioritasku saat itu adalah membiayai Fazio. Memang aku tidak memiliki kewajiban menafkahi anakku, apalagi aku dan Patricia tidak menikah. Tapi hati nurani dan rasa sayangku pada anakku tidak bisa aku kesampingkan. Memang ada mantan pasangan, mantan istri, mantan suami, tapi tidak ada mantan anak. Sampai kiamat pun tidak ada yang bisa merubah hal jika Fazio adalah darah dagingku.
Hampir satu jam aku duduk bersama Patricia dan Fazio di halaman rumah sebelum akhirnya aku pamit karena beberapa jam lagi aku harus siap-siap pergi ke bandara.
Kala aku sampai di dekat motorku, aku tengok jam yang sudah menunjukkan waktu sore hari. Tanpa banyak membuang waktu, aku segera menuju ke kantor tempat Vanilla bekerja. Aku tahu jika mantan pacarku itu tipikal karyawan yang memilih mengerjakan deadline pekerjaan yang belum selesai di rumah daripada di kantor. Untung saja saat aku sampai di depan kantor Vanilla, ia baru saja keluar.
"Kamu ngapain ke Sini?" Tanya Vanilla sambil menatapku dengan wajah penuh keheranan.
"Jemput kamu."
Bukannya marah, Vanilla hanya memberikan senyum ramahnya. Senyum yang dulu sering ia berikan kepadaku, sayangnya kali ini senyum itu rasanya berbeda.
"Aku bisa pulang sendiri."
"Aku tahu kalo kamu perempuan mandiri, independen bahkan aku yakin kalo kamu juga bisa hidup tanpa laki-laki."
Mendengar perkataanku, Vanilla langsung menyedekapkan tangannya di depan dada. Ia tatap wajahku dengan penuh perhitungan. Aku tahu jika kata-kata yang baru saja aku katakan itu telah menyentil jiwa feminisnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
#SteVanilla
ChickLit"Aku enggak mau nikah kalo belum dapat suami setajir Mas Juna dan semanis Mas Ervin memperlakukan Mbak Luna." - Vanilla Attanaya Raharja. "Lebih baik melajang seumur hidup, karena menikah dan berkeluarga itu butuh biaya yang besar selain tanggung ja...