10

4K 743 68
                                    

Stevan Boselli POV

Hari ini aku berencana untuk bertemu dengan saudara kembar Vanilla yang tidak ada mirip-miripnya dengan dirinya. Jika Vanilla cukup tinggi dan semampai, maka kembaran Vanilla ini mungkin hanya memiliki tinggi kisaran 160 centimeter namun berwajah imut. Saat aku kemarin pergi ke apartemen Vanilla, aku seakan menjadi seorang tersangka yang sedang di interogasi polisi. Ia menanyakan bagaimana aku bisa mengenal Vanilla, bagaimana hubungan kami dan apa tujuan hubunganku dengannya. Sumpah, biasanya aku tidak pernah seribet ini hanya untuk kencan dengan seorang wanita. Bahkan saat aku mencoba mengajaknya untuk dating saja Vanilla masih meragukan semuanya. Ya, ya, ya, aku mencoba menurunkan ego dan prinsipku untuknya, namun nyatanya itu tidak cukup untuk membuatnya yakin untuk menerimaku.

Saat ini aku sedang duduk di salah satu cafe yang ada di Roma dan sedang menunggu Caramel

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Saat ini aku sedang duduk di salah satu cafe yang ada di Roma dan sedang menunggu Caramel. Sebuah nama yang tidak kalah anti-mainstream dari sang kembaran.

"Buon pomeriggio, Stevano*," sebuah suara memanggilku dengan sangat fasihnya dan aku menoleh. Tampak Caramel sudah nyengir bahagia di hadapanku. Kedua tangannya sudah menenteng tas belanja dengan nama-nama butik ternama di Roma. (*Selamat siang, Stevan)

Aku hanya tersenyum menanggapi Caramel. Dirinya datang sendiri tanpa kehadiran Vanilla.

Karena Caramel bisa berbahasa Italia, mungkin tidak ada salahnya aku berbicara dengannya menggunakan bahasa Italia. "Dov'è la Vanilla?*" (*Dimana Vanilla?)

Aku melihat wajah bingung Caramel di depanku.

"Perché la tua faccia sembra confusa?*" (*Kenapa wajahmu tampak bingung?)

Wajah Caramel semakin tampak bingung dan akhirnya ia mendengus bagai kuda di hadapanku.

"Lo ngomong apaan sih, kuya? Gue kagak paham!"

Aku menahan keinginanku untuk tertawa di hadapannya.

"Sorry, aku kira kamu bisa bahasa Italia?"

Kini aku melihat Caramel menarik sebuah kursi dan duduk disana tanpa menunggu aku persilahkan. Dibanding Vanilla, mungkin Caramel tidak lebih dewasa daripada dirinya, ini terlihat dari bagaimana pembawaan dirinya.

"Bisa ngomong Buon pomeriggio doang juga karena beberapa kali dengar orang nyapa gue dimari."

"Kamu mau pesan apa?" Tanyaku kemudian  pada Caramel.

"Apa ajalah selagi Lo yang bayar."

Astaga...
Perempuan satu ini ternyata lebih spontan dan tidak memikirkan gengsi seperti kembarannya. Bahkan kini ia mengambil handphonenya dan mulai mendengarkan lagu yang aku tidak tau itu bahasa apa, yang jelas lagu itu bukan bahasa Indonesia. Bahkan aku hanya diam mengikutinya mendengarkan lagu duet itu tanpa tau arti lagu tersebut. Rasanya aku makin ingin meledak ketika Caramel ikut berdendang pelan dengan suara sumbangnya.

#SteVanillaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang