11

3.3K 675 31
                                    

Stevan Boselli POV

The power of centang biru kalo Caramel mengatakan kepadaku tadi melalui telepon ketika aku menanyakan tentang bagaimana bisa subscribers di channel milikku sudah menyentuh angka ribuan hanya dalam waktu beberapa hari saja. Kini bukan aku yang semangat untuk segera menambah subscribers namun justru Caramel yang paling bersemangat.

Ketika aku menjemput dan mengantarkan Caramel pulang ke apartemen Vanilla, aku tidak pernah bertemu dengan dirinya. Entah ia sibuk atau memang tidak mau bertemu denganku. Pagi ini juga kami berencana untuk mengunjungi menara miring Pisa. Mau tidak mau pagi ini aku menjemputnya di apartemen Vanilla. Semoga saja aku bertemu dengan dirinya karena ini masih terhitung sangat pagi bagi orang untuk berangkat ke kantor.

Saat aku memencet bel apartemennya, akhirnya kali ini Vanilla yang membukakan pintu untukku. Saat ia membukakan pintu, aku tersenyum namun sayang sepertinya pagi yang cerah ini hanya untukku bukan untuknya.

"Buon giorno*," sapaku pada Vanilla. (*Selamat pagi)

Ia hanya tersenyum sedikit dan tanpa berkata-kata ia mempersilakan aku masuk ke apartemennya.

"Kamu tunggu aja Caramel di sini. Aku berangkat kerja dulu."

Hanya kata-kata itu yang keluar dari mulutnya dan setelahnya ia pergi begitu saja tanpa ada kata-kata hangat yang berikan kepadaku. Aku masih memikirkan kenapa Vanilla menjadi seaneh ini, padahal aku sampai rela seperti ini, mengikuti rencana kembarannya agar bisa mengikuti gaya hidupnya yang dia bilang tidak pernah kekurangan sejak lahir ke dunia. Memang aneh, mungkin itu pula yang membuatku selama ini lebih menyukai Friends with benefits daripada dating.

"Buon giorno, calon kakak ipar," suara Caramel sudah membelai telingaku bersamaan dengan suara grusa-grusunya.

"Buongiorno, futura cognata*," sapaku balik padanya sambil berdiri dari sofa. (*Selamat pagi, calon adik ipar.)

"Lo ngomong apaan? Gue cuma tau selamat pagi doang lainnya kagak."

Mau tidak mau aku tertawa.

"Butuh berapa lama kamu buat bisa bahasa Italia?"

Aku melihat Caramel menghela nafas dan melipat tangannya didepan dada.

"Yang jelas nggak secepat Vanilla, karena dia memang sudah bawaan lahir pintar, nah gue? Selama sekolah paling cuma masuk 10 besar doang senangnya nggak ketulungan."

"Mel," panggilku padanya.

"Ya?"

"Setiap orang itu memiliki kelebihan masing-masing. Mungkin kamu nggak pintar diurusan pelajaran. Tapi pasti punya kelebihan di bidang lain."

"Kelebihan gue cuma satu kata Mama, kalo dengerin lagu koplo cepet hafal. Sudah yuk buruan jalan," kata Caramel sambil mendorongku untuk keluar dari apartemen milik kembarannya.

Selama perjalan kami mengobrol layaknya teman. Caramel cukup menyenangkan dijadikan teman mengobrol hingga akhirnya kami tiba di menara miring Pisa.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
#SteVanillaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang