RAHASIA HATI LINGGA (A)

3.7K 172 5
                                    

Menghapus keringat yang membasahi wajah, Lingga menghela nafas panjang. Hari ini bengkel tempat ia bekerja sepi pelanggan, hanya satu atau dua orang saja yang datang untuk memperbaiki motor mereka.

"Lingga bisa bicara sebentar sebelum kamu pulang"

Pemilik bengkel memanggil Lingga yang duduk di kursi menghadap jalan raya yang mulai ramai karena jam pulang kerja.

Pemilik bengkel mengetuk jarinya pada meja, kening pria paruh baya itu berkerut memikirkan sesuatu.

"Lingga mulai besok kamu gak perlu datang ke bengkel lagi. Saya memutuskan mengurangi teknisi. Kamu bisa melihat satu hari satu atau dua yang datang ke bengkel"

Lingga tertunduk lesu. Ia bisa memahami kondisi finansial pemilik bengkel ini yang terus berkurang sejak kepergian istrinya.

"Ini uang sebagai pegangan kamu. Saya rasa mungkin ini cukup untuk buka usaha kecil-kecilan"

Pemilik bengkel mendorong ke depan amplop berwarna coklat itu. Rasanya berat Lingga menerima uang pemberian pemilik bengkel ini ditengah kondisi finansial yang memburuk.

"Terima kasih atas dedikasi kamu dua tahun ini. Semoga kita bisa tetap menjalin silaturahmi"

Lingga tersenyum lesu. Ia menggenggam tangan pria yang berbaik hati menerimanya bekerja di tengah kondisi yang tidak menentu dua tahun lalu.

Pulang dengan motor lama yang dibelinya dua bulan lalu. Lingga mengemudi dengan perasaan gundah gulana. Pikirannya tertuju kepada Aro yang mempunyai kebutuhan khusus dengan memerlukan biaya yang banyak.

Mampir di sebuah warung buah-buahan Lingga membeli buah kesukaan Aro yakni apel dan pepaya.

Wajah lelah terpatri jelas kala sinar matahari menerpa kulit sawo matang pria itu. Ia tidak ingin Aro melihat wajah sedih dan lelah. Melihat Aro semua beban kepenatan Lingga sirna tidak berbekas.

"Kamu kok pulang telat sih! Aku mau pergi kerja ini!"

Bukan senyum dan salam yang didapatkan Lingga tetapi amarah dari istrinya. Begini nasib menikah dengan wanita karir, ia tidak pernah dihormati karena menganggap lebih dan memiliki pendapatan lebih dari pendapatan suami.

"Kamu sift malam? Biar aku antar"

Lingga melihat Desi yang bersiap untuk berangkat.

"Gak usah! Jagain anak kamu itu. Aku udah ada yang jemput"

Desi membereskan barang yang akan ia bawa ke rumah sakit. Ponselnya sejak tadi berkedip menandakan ada pesan masuk.

"Minta uang. Aku mau beli skincare"

"Aku belum gajian. Kemarin aku lihat kamu juga beli skincare. Untuk apa lagi Desi? Ingat anak kita punya kebutuhan"

Ingat Lingga yang mulai jengah karena Desi tidak pernah memperhatikan putra semata wayangnya.

"Itu kan anak kamu. Jaman sekarang perempuan itu harus cantik. Kamu mana tahu lingkungan dunia kerja"

Desi sudah sering kali menyinggung perasaannya. Sebagai seorang suami Lingga kadang membutuhkan Desi untuk membiayai kebutuhan Aro yang mempunyai kebutuhan khusus.

"Resiko punya anak cacat. Dari dulu aku gak menerima keberadaan anak itu. Kamu banyak omong tapi kantong kosong"

Desi memandang rendah Lingga. Melihat pria dihadapannya ini sungguh membosankan. Hidup bersama selama enam tahun membuat hidup Desi monoton.

"Desi!"

Lingga geram atas ucapan Desi. Ia takut Aro akan mendengar ucapan istrinya.

Desi tidak menggubris teriakan Lingga. Ia memilih keluar rumah tanpa pamit kepada Lingga.

SHORT STORYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang