Chapter 32

325 65 41
                                    

Chapter 32

***

Kesadarannya kembali dan yang ia lihat pertama kali adalah sosok pria yang tertidur di kursi sebelah ranjang.

Kepalanya mengingat kali terakhir kesadarannya hilang. Arthur memang berada di sebelahnya, pria itu juga makan roti isi bersamanya. Beruntung saat itu Arthur ada di dekatnya, jika tidak ... entah apa yang akan terjadi.

“Pak Arthur?”

Sang pria yang baru saja mendengar namanya disebut, perlahan membuka mata. Manik hijaunya langsung terfokus pada Layla hingga senyumnya merekah sempurna.

“Bersyukur, kau sudah membuka mata,” ujar Arthur seraya menggerakkan tangan untuk menggenggam erat jemari Layla. “Apa ada yang sakit??”

Sang gadis menggeleng. “Maaf, merepotkan Bapak. Saya hanya sedikit lelah.”

Layla berusaha untuk bangkit, tapi tangan Arthur langsung memegang bahunya dan memaksanya untuk kembali merebahkan diri. Arthur menggeleng. Dari tatapan pria itu, Layla tahu bahwa ia diminta untuk tetap beristirahat.

“Aku akan memanggil dokter untuk memastikan kondisimu,” ujar Arthur sebelum melenggang pergi, keluar dari kamar.

Sementara Layla hanya bisa menurut dan kembali merebahkan diri, menatap langit-langit kamar. Menyentuh kepalanya, entah mengapa akhir-akhir ini ia merasa sedikit pusing dan mual. Semenjak masalahnya dengan si pirang bgsd memanas, semua gejala itu mulai memburuk.

Layaknya stres benar-benar menguras fisik dan batinnya. Tidur tidak tenang, makan tidak nyaman, bahkan saat ia berbicara pun kadang ia menjadi kurang fokus. Sebegitu besarkah dampak seorang Putra Al Urukh untuk kehidupannya?

Bibirnya menipis. Haruskah ia mendatangi Gilgamesh dan mendengarkan penjelasannya? Tapi, jika ternyata yang terjadi adalah fakta terburuk, apa yang harus ia lakukan? Ia tidak bisa menerima kenyataan bahwa sang suami membagi posisinya dengan wanita lain.

Walau berkali-kali ia mengatakan bahwa ia tidak mencintai Gilgamesh, mengapa akal sehatnya mengatakan sebaliknya? Bibirnya bisa berbohong, tapi hatinya tidak bisa berbohong.

Renungan Layla buyar saat Arthur kembali masuk dan membawa satu dokter wanita. Bersyukur, dokter yang dibawa oleh Arthur adalah dokter yang tidak Layla kenali. Bukan Roman atau Asclepius. Setidaknya ia tidak perlu pusing kalau-kalau posisi dan kondisinya diketahui oleh sang suami.

“Permisi,” ujar sang dokter seraya mengecek kondisi Layla.

Sementara sang gadis hanya diam, saat ia melirik pada Arthur. Pria itu langsung melemparkan senyuman, seolah lega dengan kondisi Layla yang sekarang membaik.

“Ada keluhan selama beberapa hari ini?” tanya sang dokter.

Mengangguk, Layla mengiakan. “Pusing dan mual parah.”

Terdiam, sang dokter lalu mengarahkan stetoskop di perut Layla. Berhenti di sana hingga beberapa saat kemudian, dokter wanita itu mengangguk pelan.

“Apa jadwal menstruasi lancar?”

Seketika, Layla melebarkan mata. Firasatnya sangat tidak enak saat sang dokter menanyakan hal pribadi yang mengarah pada satu kesimpulan. Menelan ludah, Layla menipiskan bibir. Saat ia menatap Arthur, pria itu masih terlihat biasa saja. Seolah tidak mengerti ke mana arah pembicaraan mereka.

Kalau dipikir-pikir, tamu bulanannya tidak kunjung datang lebih dari dua minggu. Hal ini membuat Layla semakin panik. Bagaimana kalau ... apa yang ia khawatirkan menjadi nyata? Haruskah ia jujur?

✔️ Golden CEO : Hunting for Legal Wife ( END )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang