Karena suatu kesalahpahaman, Layla dihadapkan kenyataan bahwa ia harus menikahi pria yang tidak ia kenal. Sialnya lagi, pria itu adalah orang yang paling berpengaruh di negaranya: tuan muda dari keluarga millyuner yang terkenal dengan kebangsatannya...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
( Sankyuu buat Ryze95 yang udah bikinin banner cantik. 💞💞 )
***
Layla harap semuanya adalah mimpi. Namun layaknya apa yang ia harapkan sangat berbeda dengan kenyataan. Baru kemarin ia menjalani hidup sebagai seorang gadis yang menjalani kehidupan biasa. Tapi sekarang, ia sudah menyandang gelar "Madam".
Ia baru saja menandatangani sertifikat pernikahan, dan kini ia harus berfoto dengan suaminya tercinta dengan dua sertifikat pernikahan di tangan mereka. Bahkan mertuanya tercinta sampai membelikan cincin pernikahan dadakan untuk Layla dan suaminya. Dan kini cincin itu melingkar di jari manis Layla.
“Senyum,” ujar fotografer yang memotret mereka.
Layla sedikit melengkungkan bibirnya. Tidak. Seharusnya tidak seperti itu. Mengapa ia harus menuruti kata-kata mereka? Bahkan suaminya tidak menolak atau setidaknya menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.
Runtuh. Runtuh masa muda Layla.
“Menantukuuuu!”
Suara Mama Ninsuna yang membuat Layla semakin merinding. Benar saja, wanita cantik itu langsung mendekap erat Layla, seolah ia takut jika menantunya tercinta akan kabur dari sana.
“Layla cantikku, apa kau lapar? Kakimu masih keram? Mau duduk sebentar?”
Bersyukur, ibu mertua Layla amat sangat menyayangi Layla. Bahkan walau Mama Ninsuna tidak tahu latar belakang keluarga Layla.
“Ta-Tante, nggak usah repot-re—”
“Nggak boleh panggil tante, dong!” potong Mama Ninsuna. “Panggil Mama aja, ya? Kamu kan udah jadi anak Mama.”
Dan itu malah membuat Layla semakin canggung. Melirik sekilas, Layla masih mendapati wajah datar suaminya—yang bahkan tidak ia ketahui namanya.
Ganteng, sih. Tapi cueknya itu loh! batin Layla protes.
Beberapa saat kemudian, suara ponsel berdering. Baik Layla dan Mama Ninsuna mengalihkan pandangan ke sumber suara—ke arah suami Layla. Tapi pria itu bahkan tidak menggubris sepasang mata yang terfokus padanya.
“Ya, aku akan segera kesana,” ujarnya, datar. Tak beberapa lama kemudian ia pun mematikan panggilan ponselnya dan menoleh pada Mama Ninsuna.
“Ada apa, Gil?”
Layla langsung mencatat nama yang dilontarkan oleh sang ibunda. Gil—nama suaminya yang baru saja terungkap.
“Ada urusan di kantor, Mah. Aku akan segera—”
“Nggak bisa,” potong Mama Ninsuna, tegas. “Kamu baru aja nikah, dan kamu mau ninggalin istri kamu begitu saja? No, no, no! Big No! Mama nggak akan biarin itu terjadi!”