09🍁

363 75 5
                                    

Happy Reading










Melewati harinya yang panjang, pria yang hampir menginjak empat puluh lima tahun itu tengah bersantai. Menikmati satu cangkir kopi dengan kedua kaki yang diselonjorkan pada sofa. Diluar hujan deras, sepulang dari lokasi tadi, mereka hendak mampir ke toko butik milik Inne.

Namun, melihat wajah putranya yang terlihat lelah, Ananda melupakan niat awalnya. Mereka hanya berdua di rumah, Inne masih belum pulang, dan Ananda yang melarangnya juga, ia tidak ingin, istrinya pulang mengendarai mobil dengan keadaan hujan deras seperti ini. Jaga-jaga saja, ia hanya tidak ingin terjadi apapun pada Inne.

"Pah."

Ananda refleks melihat ke belakang, ia melihat Alwi yang tengah berjalan ke arahnya, hanya berpakaian biasa, celana training hitam dengan garis putih, juga kaos hitam pendek yang anak itu pakai.

"Em ... Mamah belum pulang?"

Ah, tidak. Bukan itu yang ingin Alwi tanyakan, tubuhnya sudah mendarat di sofa sebelah Ananda duduk. Kedua tangannya saling meremat, bahkan, Alwi sampai meremas kuat kertas yang ia bawa.

Ananda lebih dulu menyeruput kopi yang masih dikepuli asap, "Belum. Kenapa?"

"Enggak papa, kalau gitu Alwi ke atas lagi aja," balas Alwi hendak berdiri, namun tangan besar Ananda lebih dulu menahan pergerakannya.

"Mau apa? Bicara sama Papah sekarang."

"Hufft. Pah, ini." pada akhirnya, ia menyerahkan kertas yang sendiri tadi ia pegang pada Ananda dengan rapalan doa yang terus ia panjatkan dalam hati.

Berharap lebih, untuk kali ini saja, Alwi ingin segala harapannya terwujud.

Robekan kertas lebih dulu membuat atensi Alwi teralihkan, ia menganga tidak percaya, Alwi bahkan belum meminta izin pada Ibunya, kenapa Papahnya malah langsung merobeknya begitu saja.

"Pah! Kok dirobek!" Alwi berteriak, memungut formulir pendaftaran yang sudah menjadi dua.

"Gak guna! Guru mana yang nyuruh kamu buat ikut lomba gituan hah? Mana! SIAPA?!"

"PAH!"

"Apa? Kamu nunggu ucapan Papah bakal berubah Alwi, jangan harap! Enggak perlu kamu ikut apapun, apalagi ini! Apa-apaan." Ananda berbicara dalam satu tarikan napas, emosinya sudah tidak bisa dikatakan standar.

"Kan, percuma Papah mau tahu kalau akhirnya kaya gini, Alwi enggak pernah minta yang berat-berat loh Pah, Papah mau nya Alwi kaya gimana? Mau Alwi seperti apa? Perlu memangnya Papah ngelakuin hal sesuka Papa!"

"Udah ngerasa dewasa sendiri ya, tcih! Udah dibesarin enggak tahu diri, kamu pikir kamu besar sendiri ha?!"

Prang!

Cangkir cantik bercorak bunga itu hancur dalam sekali bantingan, pecahannya berserakan dimana-mana, kopi yang bahkan masih panas mengotori lantai yang sedang Alwi pijak. Tak banyak, pecahan itu sedikit mengenai kakinya, apalagi tumpahan kopi yang tujuh puluh persen mengenai kakinya.

"BENDA SIALAN ITU BAKAL BUAT KAMU MA.TI! MATI ALWI!"

"Harus banget saya bilang begitu!" tambah Ananda, menatap sengit wajah Alwi yang menunduk. Perlu dikatakan, suara tegasnya, teriakannya, memang membuat degup jantung siapapun menjadi tidak normal.

Alwi ingin kembali menyangkal, namun tarikan pada tangannya lebih dulu membuat Alwi bungkam.

"Satu kali lagi peringatan, sekali kamu bahas itu, izin karena itu, melakukan hal itu! Apalagi sampai menyentuh benda-benda itu, lihat. Tangan saya tidak segan buat kasih kamu hukuman." Ananda melepaskan cengkraman tangannya dari Alwi, berlalu meninggalkan bekas luka yang kembali tertoreh pada hati putranya.

Membiarkan kakinya yang terasa perih, bahkan darah segar mulai keluar dari ujung jari kaki Alwi, remaja itu memilih diam, tidak beranjak dari sana sedikitpun. Pikirannya berkelana kesana-kemari, teriakan Ananda masih terasa menggema di ruangannya yang hampa.

"Den." panggilan dari Mbok Iyem, asisten rumah tangga dirumahnya, menyadarkan Alwi.

"Ah i-iya, Mbok," ujar Alwi.

"Aden enggak papa? Itu jari kakinya luka loh, Den. Mbok obatin dulu, ya?" tanya Mbok Iyem khawatir.

Ia melihat semuanya tadi, ia sebenarnya kasihan dengan anak majikannya itu yang tidak pernah diberi kebebasan. Tapi, ia juga tahu alasan majikannya itu melakukan semua ini. Sebab, ia sudah bekerja sejak 'Dia' masih hidup, makanya ia bisa mengetahui semua kejadian yang telah berlalu itu.

"Ah, enggak usah, Mbok. Nanti biar aku sendiri, enggak papa," jawab Alwi berusaha tersenyum.

"Bener, Den?" tanya Mbok Iyem memastikan.

"Iya, Mbok. Oh iya, jangan kasih tahu Mamah tentang ini ya! Takutnya Papah dan Mamah ribut. Yaudah, aku kekamar dulu mau obatin luka," kata Alwi setelah itu melenggang pergi.

'Aden, yang kuat ya,' gumam Mbok Iyem dalam hati sembari menatap punggung Alwi.

Brak!

Alwi membanting pintu kamarnya lalu menguncinya rapat. Ia menyandarkan tubuhnya dipintu, ia terisak. Ia lelah, ia ingin bebas. Kenapa? Kenapa semesta tak begitu adil kepadanya? Ia benci ini semua, ia benci takdirnya, ia benci Papahnya, dan ia benci dirinya sendiri yang tidak bisa melakukan apa-apa.

Isak tangis Alwi terdengar pilu. Air matanya terjun bebas tanpa bisa dicegah. Lihatlah semesta! Betapa kejamnya engkau terhadapnya.

"Kenapa?"

"Kenapa ini semua tak adil bagiku? Ya Tuhan, tidak bisakah kalian berada dipihakku sekali saja? Hamba capek, hamba juga ingin merasakan kebebasan. Apa hamba tak pantas mendapatkannya!" raungnya.

"Aku benci semuanya." Alwi terus terisak, napasnya tak beraturan. Tidak tahu 'kah semesta, bahwa pemuda itu benar-benar lelah?

Alwi bangkit dari tempatnya terduduk, lalu melempar semua yang berada dikamarnya. Ia marah, benar-benar marah. Marah dengan takdirnya, marah dengan semesta, marah kepada Papahnya, dan kepada dirinya sendiri.

Kini, kamar Alwi bak kapal pecah. Dan pemuda itu tidak memperdulikan itu sekarang, ia benar-benar terlampau lelah. Ia ingin melampiaskan emosinya, persetanan dengan kamarnya yang berantakan.

Napas pemuda itu benar-benar tak beraturan, itu tandanya bahwa emosinya tidak stabil sekarang. Bahkan, kakinya yang berdarah ia tak pedulikan. Yang dipikirkan sekarang, hanya emosi yang ingin ia luapkan.

"ARGHH!" teriak Alwi frustasi.

Ia butuh udara segar. Dengan cepat, ia mengambil jaketnya dan berjalan keluar. Dia tidak peduli lagi akan kemarahan Papahnya nanti. Ia ingin menenangkan diri, hanya satu yang bisa membuatnya tenang, melukis, ya itulah yang bisa membuatnya tenang.

[Mah, Alwi izin kerumahnya Rey. Alwi ada tugas.]

Setelah, memberi kabar kepada Mamahnya, yang pastinya dusta itu, ia melangkahkan kakinya mencari supir pribadi keluarganya. Setelah berkeliling di sepenjuru rumahnya, ia melihat Pak Ujang sedang minum kopi di belakang rumah.

"Pak Ujang!" panggil Alwi setelah melihat sopir pribadi keluarganya.

"Eh, iya, Den. Ada apa?" tanya Pak Ujang.

"Pak, tolong anterin Alwi kerumah Rey, ya? Alwi ada tugas soalnya," jawab Alwi beralibi.

"Tapikan, Den, diluar lagi ujan," ujar Pak Ujang.

"Kan bawa mobil, Pak. Enggak bakal ke ujanan, kok," ucap Alwi.

"Iya juga ya, yaudah atuh, Den. Mari saya antar." Pak Ujang buru-buru menyiapkan mobil dan Alwi mengikuti dari belakang.

Setelah menyiapkan mobil, Pak Ujang langsung tancap gas kerumah teman anak majikannya itu, Rey. Ia sudah hafal rumah teman dari Alwi, jadi tak perlu lagi ia bertanya dimana alamatnya.









To be continued~

LET ME BE FREE || Alwi Assegaf ✓ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang