27🍁

292 70 7
                                    

Happy Reading







"BEDEBAH! CARI SEGERA ORANG ITU! Manusia terkutuk mana yang sudah berbuat hal seperti itu!"

"Demi tuhan, jika sampai orang itu tertangkap, dengan tangan saya sendiri, saya cabik-cabik dia sampai mati!"

Dalam ruangan kerja Ananda, pria itu meluapkan kekesalannya. Belum ada tanda-tanda jika putranya tidak bersalah, belum ada bukti yang kuat untuk menyanggah hal ini pada publik.

Orang suruhan Ananda sendiri, bergeridik ngeri mendengar tuan nya marah besar. Apalagi bicaranya yang tidak bisa dikatakan main-main. Bagaimana jika Ananda benar-benar membunuhnya, ah, itu urusan nanti.

"MAS!" suara Inne membuat Ananda buru-buru tersadar, berlari hendak keluar, namun sebelumnya ia menitipkan beberapa pesan.

"Cepat kembali ke lokasi, nanti saya susul. Dan oh iya! Cari rumah orang yang meneror Alwi! Sampai dapat! Malam ini juga, tidak ada besok-besok," kata Ananda lalu pergi begitu saja.

Alwi kacau. Benar-benar kacau, bahkan jauh dari kata baik. Sejak kejadian itu, pikirannya entah bagaimana, siapapun yang ia lihat, rasanya menakutkan. Notifikasi ponselnya membuat Alwi trauma. Dari room chat grup sekolah, hampir seluruh warga sekolah mencaci, maki, menyudutkan Alwi seolah anak itu memang bersalah.

Satu kesalahan, yang bahkan tidak ia lakukan, melupakan beribu kebaikan yang pernah anak itu lakukan. Sesingkat itu orang-orang percaya dengan isu yang menyebar.

"Maaf, maaf, maaf. Papah minta maaf. Secepat mungkin semua akan kembali dengan baik." Ananda mengambil alih putranya, mendekap tubuh Alwi erat-erat. Menyalurkan semangat, dan menenangkan Alwi yang sedari tadi tak bisa terlihat tenang.

"Bukan Alwi yang dorong ....,"

"Bukan."

"Bukan, Pah."

"Bukan."

"Papah harus percaya."

"BUKAN!"

"Bukan, Alwi Pah." suaranya memelan, seiring dengan air matanya yang tak kunjung berhenti. Anak itu bahkan sudah sesenggukan, lantaran terlalu lama menangis.

Sebisa mungkin, air matanya ia tahan kuat-kuat agar tidak jatuh, dekapannya samakin Ananda eratkan, ini terlalu menyakitkan. Lupa dengan masalah Alwi yang masih saja suka dengan melukis, Ananda lebih mementingkan kesehatan mental putranya untuk kali ini.

"Iya, anak Papah tidak salah. Anak Papah baik, lihat Papah." Ananda menangkup kedua pipi Alwi yang terasa basah, menyeka air matanya sendiri yang sendari memaksa untuk keluar.

"Apa Alwi lihat, ada kebohongan disini?"

Alwi menggeleng.

"Iya 'kan? Semuanya akan baik-baik saja sayang."

Inne keluar dari kamar Alwi. Ia tidak sanggup melihat bagaimana putranya kacau, bagaimana putranya yang tidak bisa sedetik pun merasa tenang, mungkin, kejadian yang berlalu dengan sangat cepat ini, membuat Alwi kaget, mentalnya langsung terserang.

"Udah coba telpon Dokter?"

Suara Ananda yang tiba-tiba berada diambang pintu, hendak menutupnya.

"Udah Mas. Lagi jalan kesini," balas Inne yang diangguki Ananda.

"Kamu, enggak ada niatan buat tanya-tanya sama teman Alwi? Maksudnya, minimal kita cari titik awal Mas," kata Inne.

"Tentu saja ada. Mereka juga lagi jalan kesini." Inne tersenyum, niat suaminya untuk menghentikan kesalahan pahaman ini begitu besar. Bagaimana suaminya yang kesana-kemari mencari titik terang.
Dan Inne, bangga. Bangga dengan kerja keras suaminya.

LET ME BE FREE || Alwi Assegaf ✓ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang