28🍁

285 69 4
                                    

Happy reading







Sejak lima menit lalu, Alwi sudah bangun dari tidurnya. Sejak saat itu pula tak ada percakapan antara Alwi dengan kedua sahabatnya. Baik Rey, Cello, maupun Alwi tak ada yang mau memulai pembicaraan.

"Wi." Rey mulai membuka suara.

"Gue--"

"Ini bukan salah Lo," sela Alwi seakan tahu apa yang Rey ingin katakan.

"Tapi, ini emang salah gue. Andai kemarin gue bisa cegat Lo, Lo pasti enggak akan dapat masalah sebesar ini," tutur Rey sembari menunduk.

Alwi menggeleng "Disini gue yang salah, seharusnya gue dengerin ucapan kalian dari dulu, maafin gue."

"Andai malam itu gue denger ucapan lo, andai gue denger semua peringatan kalian, ini semua enggak akan terjadi." kini, hanya kata 'andai' yang terucap ketika penyesalan datang dalam diri kita.

"Syut ... disini enggak ada yang salah, ini semua udah takdir, jadi Lo pada jangan saling nyalahin diri gini dong." Cello mencoba melerai kedua sahabatnya itu.

"Kita harus kuat hadapin semua cobaan ini, kita harus yakin bahwa semuanya pasti ada jalannya. Gue yakin kebenaran akan terungkap. Lo tenang aja, gue sama Rey bakal bantuin Lo untuk cari kebenarannya. Kita bakal berusaha semaksimal mungkin untuk cari bukti kalau Lo enggak salah." Alwi menatap kedua sahabatnya penuh haru, tidak salah Alwi menjadikan mereka sahabatnya. Lihatlah! Betapa mendukungnya mereka kepada Alwi, betapa percayanya mereka kepada Alwi. Bahkan, disaat mereka melihat bukti itu, kepercayaan mereka tidak goyah.

"Thanks, gue enggak tahu lagi cara berterimakasih kepada kalian gimana. Makasih ... makasih karena udah percaya sama gue, makasih karena kalian enggak ikut menghakimi gue, makasih, makasih, makasih," kata Alwi penuh ketulusan, bahkan tanpa diminta air matanya telah menetes.

Rey dan Cello yang tidak tega melihat itu, sontak memeluk erat tubuh Alwi. Inilah arti persahabatan sesungguhnya, sahabat yang selalu ada disampingmu ketika sedih maupun senang, ketika susah maupun tidak. Bukan ketika senang ia datang dan ketika susah ia pergi. Alwi sangat beruntung memiliki mereka.

Tanpa sadar, kedua orang tua Alwi melihat semua dari pintu kamar. Mereka juga bersyukur persahabatan mereka bukan main-main. Sungguh indah persahabatan mereka.

"Ehem." Ananda mencoba mencairkan suasana.

Mereka bertiga sontak melepas pelukannya "Papah sama Mamah sejak kapan disitu?"

"Sejak kalian saling menyayangi," goda Inne.

"Biasanya aja gelud," canda Ananda.

"Aih, kalian so sweet banget deh tadi."

"He'em, jadi inget sahabat-sahabat Papah waktu SMA." Ananda juga Inne makin gencar menggoda mereka bertiga, lihatlah betapa lucunya mereka ketika salting.

"A-apa sih, Om." Ananda dan Inne yang sudah tak tahan pun tertawa, lucu sekali mereka ketika salting.

"Udah, ah. Capek Mamah ketawa, Alwi sini makan dulu," ucap Inne, Alwi hanya mengangguk.

"Oh ya, Om, Tan, Rey sama Cello pamit pulang dulu ya," pamit Rey.

"Loh? Kok cepet banget?"

"Ada urusan sebentar, Tan," sahut Cello.

"Oh yaudah, kalian hati-hati ya bawa mobilnya," titah Inne.

"Iya, Tan. Kalau begitu kita duluan, assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam."

Setelah kedua sahabatnya keluar, Alwi menatap Papah dan Mamahnya "Mah, Pah."

"Iya?"

LET ME BE FREE || Alwi Assegaf ✓ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang