Happy reading
Tidak ada yang bisa memprediksi takdir akan seperti apa kedepannya, akan seperti apa gambaran grafik kehidupan, apakah hanya lurus, atau naik turun, atau mungkin berliku-liku. Tidak ada yang tahu, semua masih menjadi sebuah misteri.
Disaat titik rendah menghakimi, rasanya untuk bergerak sedikit saja terasa sakit. Takut dan ingin menyerah saat ingin kembali melangkah, terasa berat pula untuk terus berjuang, membelah semua masalah yang singgah.
Setelah tiga hari lamanya, hari yang di tunggu Alwi kian hadir. Dengan semangat dan senyuman yang bahkan tidak pernah luntur sendari ia bangun pagi. Berbeda dengan kedua orang tuanya yang terus merasa gelisah, walau mereka tahu dan yakin. Semua akan baik-baik saja.
"Ayo, berangkat. Papah sama Mamah nunggu siapa lagi? Kak Tamy udah ada di lokasi loh, Rey sama Cello juga lagi otw ke sana, katanya mau mampir ke toko dulu, enggak tahu mau beli apa."
Inne dan Alwi lebih dulu masuk ke dalam mobil, sedangkan Ananda masih termangu. Kilasan masa lalu terus memenuhi pikirannya. Saat itu putra sulungnya yang berangkat sendirian, hanya bermodalkan supir tanpa adanya mereka. Penyesalan yang teramat dalam bagi Ananda.
Saat itu Ridho yang berbicara, katanya jika pulang nanti ia akan membawa sebuah piala, nyatanya Ridho malah membawa sebuah luka. Terlepas dari kejadian itu, mereka hampir kehilangan akal sehat, jika tidak ingat pada Tuhan.
"Dho, Adik kamu yang akan mewakilkan perkataan kamu dulu. Do'akan, semua semuanya lancar."
Dengan hati yang ragu, Ananda memasuki mobil. Membelah kota Jakarta yang kembali padat oleh para pengendara. Selagi pikirannya berkelana, Ananda tak hentinya memanjatkan doa.
Ketakutan itu ada. Semua orang juga pernah merasakannya, namun, tidak baik juga untuk terus berpikiran, jika benar-benar terjadi, lantas mau apa selain menerima? Maka sebisa mungkin, Ananda dan Inne meyakinkan diri mereka sendiri, semua akan baik-baik saja.
Iya!
Dengan kanvas besar berukuran 30×40 cm. Alwi berjalan pelan, lukisan cantiknya terpapar dengan cantik. Sketsa manusia dengan beberapa tanaman cantik disekitarnya, gambaran sang Kakak yang telah lama berada di alam yang berbeda dengannya. Alwi bilang, ini lukisan yang paling panjang saat ia menyelesaikan nya, butuh referensi dari Inne ataupun Ananda. Butuh waktu berjam-jam, agar wajah sang Kakak terlihat benar-benar hidup.
Menunggu giliran, Alwi menatap lekat sekali lukisan yang orang lain itu, menilainya dengan kata sempurna. Saat gilirannya, Inne dan Ananda saling merangkul, menatap putranya yang berjalan ke atas panggung, peserta yang lain tak kalah bagus, memang, yang datang kemari, jiwa seni nya begitu bagus.
"Makna dari lukisan yang anda buat, apa? Bisa dijelaskan kepada para penonton, dan peserta-peserta yang lain?"
Alwi berdehem singkat, berdiri lalu memperlihatkannya kepada semua orang.
"Makna tersiratnya, saya rindu dengan seseorang. Dengan begini, saya merasa seseorang itu hidup, seseorang itu berada didekat saya."
"Seseorang itu, siapa?"
Alwi menatap semua orang. Tersenyum miris, saat netra nya melihat pada Inne dan Ananda yang memancarkan luka.
"Kakak saya."
"Memangnya seseorang itu berada dimana?"
"Pangkuan semesta."
Semua orang tertegun. Senyum tipis nya masih setia terpancar, tidak sedikit pun kedua matanya menumpahkan air mata, walau pandangannya sudah mengabur, karena liquid itu memaksa untuk keluar.
KAMU SEDANG MEMBACA
LET ME BE FREE || Alwi Assegaf ✓
Fanfiction[Sudah end] ✓ [Sudah revisi]✓ Let me bee free Apa makna dari kata tersebut menurut kalian? Sejak saat itu, ia bergumam. Semesta tidak berpihak padanya, sesuatu hal yang banyak ia pendam, menjadikan sebuah beban yang tertanam. Ia memiliki banyak...