17🍁

287 69 6
                                    

Happy Reading








"Wi, kira-kira menurut lo, gue cocok sama siapa? Yang itu, yang ini, atau yang ini nih."

Pagi-pagi, Alwi sudah berada di sekolah. Ia syuting siang untuk hari ini. Sekarang, Alwi dibuat malas menghadapi teman nya. Siapa lagi jika bukan Rey dan Cello.

Laki-laki yang bertanya itu Cello. Sedangkan Rey tengah bermain game dengan segala umpatan-umpatan yang keluar dari mulutnya.

"Enggak ada." Alwi menjawab dengan singkat. Tidak peduli dengan Cello yang misuh-misuh tidak jelas.

Cello menunjukan sebuah girl group asal luar kepada Alwi, yang jelas saja Alwi malas membahas. Ia tidak suka semacam itu. Seperti tidak ada obrolan lain saja Cello membahas itu.

"Sudahi halu mu Cello. Enggak baik, mending yang udah ada di depan mata aja, jangan kejauhan. Gue mau ke loker, enggak usah ngikutin!"

Alwi bangkit, membuat suara decitan kursi terdengar. Rey tidak beranjak sedikit pun, ia hanya melirik sekilas. Rey tidak bego dan budek sehingga ia harus kembali bertanya, mendengarkan obrolan Alwi dan Cello saja, Rey sudah mendapatkan kesimpulan.

Sekolah besar yang Alwi pijak beberapa tahun terakhir ini, terkadang ia masih sulit untuk berbaur bersama dengan yang lain. Menuruni setiap anak tangga dengan langkah santai, deretan loker biru sudah dapat Alwi lihat.

Alwi mengambil baju olahraga, ia lupa membawanya dari rumah tadi. Ia selalu menyiapkan baju yang lain, supaya nasib nya tetap aman. Pandangannya meliar, Alwi menangkap satu objek.

Orang yang sama.

Alwi dapat melihat kerumunan orang yang menyaksikan tanpa menolong. Hah, miris sekali. Untuk masalah otak memang rata-rata anak-anak disini pintar. Tetapi untuk sikap, sungguh jauh dari kata baik.

Saat bantingan pot kecil melayang, Alwi merasa tangan kanan nya terasa berdenyut dan terasa perih. Sebelum pot itu menyerang seseorang yang berada di belakangnya, Alwi sudah lebih dulu gesit untuk melindunginya.

Sekolah besar, tetapi kasus buly masih tersebar. Apa-apaan ini.

"Apa-apaan kalian! BUBAR! Enggak ada tontonan di sini. Kalian, masih punya otak harusnya mikir dong. Malah ditonton. Lo pada pikir, ini hiburan hah? Lo juga, punya masalah hidup apaan sih lo sampe segitunya sama orang lain." Alwi menjeda ucapannya. Ia melirik remaja yang tertunduk itu dan membantunya untuk berdiri lebih dulu.

"Siapa dia? Ada yang tahu, biar gue yang bilang kejadian ini sama pihak sekolah." Alwi menunjuk remaja urakan dihadapannya dengan emosi yang menggebu-gebu. Tidak seperti kebanyakan yang lain, Alwi tidak memukul atau menghajarnya. Ia mencoba untuk berpikir tenang.

"Bisu kalian? Takut di ancam sama dia?!"

Semuanya masih diam. Sampai pada saatnya ada yang berbicara.

"Abi manyu kelas XI IPS 4," jawab salah satu siswa disana.

Alwi tak lagi berbicara, buru-buru ia menarik remaja itu, dan membawanya menuju loker. Ah iya, itu Rafael. Alwi membawanya ke depan loker lebih dulu, baju Rafael kotor. Ada tumpahan tepung dan air dimana-mana.

"Ganti sama baju gue dulu aja. Ayo buruan ke kamar mandi."

"Ngg, ta-tapi tangan lo diobatin dulu. Gue anter ke UKS," katanya dengan menunjuk lengan Alwi.

"Lo mau anter gue ke UKS. Sementara penampilan lo udah kaya ondel-ondel lagi mangkal. Gak ada, gue bisa sendiri. Sana buruan ke kamar mandi, masa iya kudu gue anter juga," ujar Alwi mendorong-dorong punggung Rafael pelan.

Rafael merengut kesal, ia dikatai ondel-ondel katanya? Aish tidak estetik sekali.

"Yaudah, nanti gue ke UKS mau lihat lo."

"Dan, makasih. Lain kali, enggak usah tolongin gue lagi, gue enggak mau. Nanti, lo lagi yang kena masalah," tambah Rafael dengan keadaan menunduk.

"Why? Lo pantas ditolong. Gue bakal bawa kasus ini. Pihak sekolah harus tahu, gue yakin. Lo pasti udah lama berurusan sama Kakak kelas songong itu yakan?"

"Tapi--"

"Jangan kek cewek ya! Cerewet betul, bye gue mau ke UKS." Alwi menaiki anak tangga, sementara Rafael masih menatapnya penuh makna.

Alwi melangkahkan kakinya menuju ruang UKS, ia benar-benar risih mendengar pertanyaan-pertanyaan tentang keadaannya itu. Ck, caper.

Click

Kosong dan sepi, suasana seperti itulah yang selalu Alwi rasakan ketika ke UKS. Tak ambil pusing, dia mulai berjalan menuju lemari obat, untuk mencari obat-obatan yang ia perlukan.

Sesekali, ia merintih kesakitan ketika mengobati lukanya. Ia sedikit kesusahan sebenarnya, sebab ia hanya menggunakan satu tangan. Tapi, tak lama kemudian terdengar langkah kaki yang mendekat lalu pintu UKS perlahan terbuka, menampakkan dua orang yang ia kenal.

"Alwi!" pekik kedua sahabatnya. Ya, mereka Rey dan Cello, tadi mereka dapat kabar kalau sahabatnya itu terluka dan mereka bergegas ke UKS.

"Berisik!" ketus Alwi.

"Ya sorry, kita tuh khawatir tahu," tutur Rey dan diangguki Cello.

"Gue enggak papa," ucap Alwi.

"Beneran?"

"Hm."

"Tapi ta--"

"Dari pada kalian banyak nanya, mending bantu gue obatin tangan gue. Susah ini," kesal Alwi.

"Eh, oke-oke." Rey mulai membantu mengobati luka ditangan Alwi. Sedangkan, Cello hanya bantu lihatin, enggak guna emang.

Setelah selesai memperban luka Alwi, Rey langsung membereskan semuanya lalu menyuruh Cello yang menyimpannya, biar ada gunanya gitu.

"Wi, kok bisa Lo luka gini?"

"He'em, tadikan Lo hanya izin ke loker. Kenapa jadi luka gini tangan Lo?"

"Jangan bilang Lo habis berantem, ya?" Rey dan Cello sepertinya belum tahu alasannya bisa disini. Ia pikir akan tersebar dengan cepat.

Alwi membuang napas panjang, "Gue tadi nolongin orang yang dibuly."

"Hah?! Siapa?!" tanya keduanya kompak.

"Rafael." Alwi menjawab singkat.

"What? Maksud Lo Rafael co--" ucapan Cello terpotong dengan suara pintu.

Cklek

"Eh, ada orang lain ya. Gue pikir Alwi sendirian tadi."

"Rafael?!" ya, orang yang baru datang adalah Rafael. Ketiganya terkejut sebab objek yang dibicarakan ada di depan mata sekarang.

"E-eh iya," jawab Rafael.

"Ngapain Lo kesini?" tanya Rey.

"G-gue cuma mau bawain ini untuk Alwi, sebagai ucapan terima kasih gue," ujar Rafael sembari memberikan satu bungkus roti dan air minumnya.

"Lo kok repot-repot, enggak perlu. Gue ikhlas nolongin Lo," sahut Alwi.

"Please, diterima ya? Gue udah beliin buat Lo," ucap Rafael.

Alwi membuang napas panjang, "yaudah, thanks."

"Iya, sama-sama. Kalau gitu gue pamit." setelah mendapat anggukan, ia pun keluar dari ruang UKS.

"Wi, sebaiknya Lo jauhin Rafael," kata Cello tiba-tiba.

"He'em, dari pada Lo kena masalah nanti," sahut Rey.

Alwi yang sibuk memakan rotinya pun, mengerutkan keningnya. Ada apa memang? Kenapa ia harus menjauhi Rafael? Emang salahkah ia membantu orang? Kenapa kedua sahabatnya melarangnya untuk berurusan dengan Rafael? Bahkan Rafael sendiri juga melarangnya? Ada apa sebenarnya?

"Kenapa Lo pada ngomong gitu?" tanya Alwi.

Huh, menambah beban pikiran saja. Tidak cukupkah semesta membuatnya pusing setengah mampus? Sekarang malah dikasih perkara baru? Huh, menyebalkan.








To be continued

LET ME BE FREE || Alwi Assegaf ✓ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang