23🍁

270 72 9
                                    

Happy Reading





Tidak pernah terpikirkan sebelumnya, bahwa ia bisa terjerat dalam konflik seseorang. Kehidupannya ditarik paksa, dengan keadaan yang berbanding balik sebelumnya. Alwi, remaja yang belum genap tujuh belas tahun itu berjalan menuju ruang guru. Hendak membicarakan kasus bullying yang sempat tertunda.

Istirahat pertama masih belum banyak anak yang keluar masuk ruangan. Dengan tubuhnya yang dibalut jaket, Alwi mengetuk pintu ruangan dengan sedikit deheman.

"Oh, Alwi. Sini masuk."

Pria paruh baya menyambutnya dengan baik. Alwi melempar tatapan tajam pada seseorang yang duduk tak jauh darinya. Itu orang yang sama, orang yang waktu itu bermain-main dengan Rafael.

"Rafael tidak bisa hadir, Pak. Boleh langsung saja kita bicarakan hal ini?"

"Jadi? Saya dengar, ada kasus bullying. Benar begitu?" tanya Pak Kepala memulai pembicaraan. Disebelahnya ada Bu Diana selaku guru BK.

Alwi mengangguk dengan cepat. Tatapannya tak lepas dari sosok Kakak kelas yang ikut menatapnya tak suka.

"Iya, Pak. Mungkin, sudah lama. Hanya saja pihak sekolah belum tahu, dan mungkin enggak cari tahu. Oh iya, atau mungkin sudah tahu, tetapi bungkam karena sogokan, bukannya seperti itu, Pak?"

Ucapan Alwi membuat semua orang bungkam. Termasuk kepala sekolah yang ikut membuang wajah ke samping.

"Kami benar-benar tidak tahu, padahal kasus ini sudah ditangani tiga tahun silam. Saya kira, kasus seperti ini sudah lagi tidak ada," katanya dengan nada yang tidak ada keraguan sama sekali.

"Dia." Alwi menunjuk orang disebelahnya dengan tajam. "saya mau dia dihukum. Jika bisa, sekalian dikeluarkan, sekolah modal apa yang membiarkan kasus ini tidak ada yang menangani!"

"T--tapi kami, tidak bisa mengeluarkannya begitu saja."

Alwi berdecih, berapa ratus juta Ayah dari anak itu menyogok sekolah, tcih. Alwi berdiri dari tempatnya, membuang napas sejenak, agar tidak meluapkan emosinya didepan yang lebih tua. Bagaimanapun, ia tahu adab dan tata cara beretika.

"Bu Diana, bagaimana?"

"Abi manyu. Saya skros 1 Minggu. Dan ini, surat panggilan orang tua."

Alwi merasa kurang puas. Tetapi apa boleh buat, jika Ayah anak itu bisa menahan kelakuan anaknya. Maka Alwi bisa membuat sekolah ini ditutup. Tapi Alwi tak berpikir sedangkal itu, Alwi masih peduli pada anak-anak yang memiliki masa depan.

Hidupnya tak bisa dikatakan kurang beruntung, tak juga bisa dikatakan sempurna. Alwi memiliki keberuntungan, juga memiliki kekurangan. Sama seperti yang lain kok, dia menusia. Pernah salah, pernah juga menyerah.

"Al!"

"Dari mana sih, lo? Pergi enggak bilang, hilang enggak ngajak-ngajak," celoteh Cello, disebelahnya ada Rey yang siap menimpali.

"Iya. Padahal gue mau ajakain lo ke lapangan basket, katanya ada yang mau lawan kakak kelas, bisa lah kita teriak-teriak disana," timpal Rey dibalas tatapan datar dari Alwi.

"Gue bukan cewek! Dan. Gue enggak demen basket, lihatnya aja capek gue tuh!"

"Dih. Enggak papa kali, oh iya lo dari mana. Belum jawab pertanyaan Cello."

"Ruang guru. Bahas masalah kasus bullying itu, belum sempat gue bahas."

Keduanya saling bertatapan. Lalu dengan ragu kembali berceloteh.

"Lo, kayaknya deket banget ya sama si Rafael, Rafael itu? Sampe kasus nya aja diselesaikan. Gue baru lihat, lo sepeduli itu sama orang asing," kata Cello yang disetujui Rey.

LET ME BE FREE || Alwi Assegaf ✓ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang