05🍁

494 89 8
                                    

Happy Reading





Kota Jakarta kembali diguyur hujan, aroma Petrichor tercium oleh Indra penciuman. Segelas teh hangat menjadi pelengkap saat menikmati rintik hujan yang perlahan kian membesar.

Jalanan masih terlihat macet, hujan deras tidak menjadi hambatan orang-orang untuk terus berlalang kesana-kemari. Pemuda bermarga George itu menghela napas, merapatkan kedua tangannya ketika hawa dingin mulai menyelusup masuk.

"Selesai kapan, Om?" tanya Alwi pada pria yang sedang mengotak-atik naskah.

"Tiga set lagi Wi, isya mungkin kamu pulang," jawabnya tanpa melirik pada Alwi.

Alwi mengangguk-angguk saja. Ia sungguh bosan, kesehariannya terus saja seperti ini. Saat hujan seperti ini pun, masih ada fans-fans yang datang ke lokasi hanya untuk mendapatkan potret bersama saja. Tak jarang, Alwi menerima berbagai macam barang.

Menatap lama jam tangan yang terpasang, sekitar tiga jam lagi ia pulang. Hari ini tidak begitu berat, tidak banyak dialog juga yang Alwi dapatkan.

Hari kian semakin larut, hujan memang sudah berhenti. Namun, hawa dingin semakin terasa menusuk kulit. Tepat pukul setengah delapan malam, ia sudah berkemas untuk pulang. Mungkin, setelah ini, ia akan bergelung dalam selimut, ah sungguh, membayangkannya saja Alwi tidak sabar ingin cepat-cepat sampai rumah.

Hening menyapa, tidak ada yang saling melempar obrolan, baik Ananda maupun Alwi. Dua laki-laki itu saling berkecamuk dalam pikirannya masing-masing.

"Pah," panggil Alwi pada akhirnya. Entah topik yang akan ia sampaikan benar atau tidak, Alwi hanya sekedar bertanya.

"Kalau Alwi berhenti jadi aktor gimana?"

Ananda melirik Alwi sebentar, sebelum ia benar-benar menjawab pertanyaan.

"Kenapa?"

"Papah tahu sendiri, dari awal 'kan? Alwi mau jadi seniman, bukan aktor. Alwi mau jadi pelukis, bukan jadi figur yang berhubungan dengan dunia entertainment," tutur Alwi. Pandangannya bahkan menatap jalanan yang sedang ia lalui.

Terdengar hembusan napas kasar dari Ananda. Alwi tahu, Papah nya tidak suka membahas topik ini.

"Salah memangnya, Papah kasih kamu masa depan seperti ini? Kamu pikir, setiap malam Papah enggak mikirin nasib kamu ke depan seperti apa, kehidupan kamu ke depan mau jadi apa? Ini sudah berjalan dengan baik, kamu hanya tinggal mengikutinya saja. Apa susahnya Alwi?"

Kedua mata Alwi memanas, tangannya mencengkram kuat seat belt yang menahan tubuhnya. Ia bukan tidak tahu diri, ia bukan tidak tahu apa-apa, hanya saja ... hidup dalam kendali orang itu tidak enak.

"Sekarang kamu pikir. Hobi kamu, mimpi kamu hanya sebatas kanvas, cat air, kuas, dan benda-benda itu, kamu pikir masa depan kamu bakal terjamin?!"

"Pah eng--"

"Jangan bicara hal itu lagi Alwi, berhenti membahas topik tidak berguna itu," sela Ananda tanpa sadar menambah kecepatan.

"Aku butuh alasan, kenapa Papah selalu mengelak?"

Alwi bisa melihat, wajah Ananda yang menahan amarah, juga ... kedua netra nya yang menyiratkan luka. Alwi tidak tahu, ia tidak paham dengan semua larangan yang pernah Ananda katakan. Karena pria itu, tidak pernah sekali pun memberikan alasan yang jelas.

"Papah kenapa diam? Enggak bisa jawab iya? Apa alasan Papah hanya sebatas larangan aja, kenapa bisa begitu?"

"Pah!"

LET ME BE FREE || Alwi Assegaf ✓ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang