31🍁

273 69 7
                                    

Happy Reading





Seperti yang kita tahu, setelah merajalelanya kejahatan, sisi lain kebenaran pasti akan menang. Dan itu pasti, hanya oleh waktu saja sehingga prosesnya tak bisa langsung terlihat instan.

Remaja dengan tinggi sekitar 164 cm berjalan keluar dari rumah sakit. Jalannya terus menunduk, dengan masker hitam pada wajahnya, juga topi pada kepalanya. Ini seperti sebuah penyamaran.

"Ck! Makanya kalau jalan tuh enggak usah nunduk, untung temen gue enggak jatoh!"

Rey mengomeli orang didepannya itu. Padahal Alwi yang ditabrak, Rey yang maju. Hah, spesies satu ini memang langka. Tanpa mengatakan apapun, minimal meminta maaf, remaja itu meninggalkan tiga orang yang sudah membuat perjalanannya menjadi terhambat.

"Dih, kampret tuh orang, gue sumpahin. Di jalan kesandung batu, lo!"

"Halah, cemen lo Rey, nyumpahin nya. Di jalan ketabrak rombongan bebek kek," timpal Cello. Rey mengangguk-angguk tanda setuju.

"Hust! Rey, Cello enggak boleh ngomong gitu. Gimana kalau omongan kalian jadi Boomerang buat kalian sendiri." Alwi berkata sambil berjalan masuk ke dalam. Meninggalkan Rey dan Cello yang misuh-misuh sendiri.

"Code blue, code blue, code blue!"

Ketiganya mematung ditempat. Alwi, Rey dan Cello saling melirik, lalu melihat pada ruangan yang hendak mereka tuju.

Saat itu, ketakutan mereka menguasai diri masing-masing.

***

Sudah dua hari Abi merenung tidak jelas, kejadian itu tak pernah lepas dari ingatannya. Saat Alwi, Cello dan Rey berpas-pasan dengannya waktu itu.
Abi mengatur napasnya juga detak jantungnya yang berdegup dengan tidak wajar.

"Sialan, untung mereka enggak nyadar," gerutu Abi.

"Mereka ngapain ke rumah sakit? Jangan bilang mau lihat Rafael."

Abi mondar-mandir terus menerus di dalam rumahnya. Disaat-saat seperti itu, sang Ibu keluar dari kamar begitu pula dengan sang Ayah. Wajah keduanya terlihat kacau, derai air mata terus menerus turun.

"Mamah sama Papah kenapa?" tanya Abi seraya mendekati keduanya.

Raya--ibu Rafael juga Abi. Wanita itu memegang kedua pundak putra sulungnya sesaat.

"Rafael pulang. Kakak jaga rumah ya, sebentar lagi adik kamu pulang. Sofa depan tolong di keluarkan, ganti dengan tikar yang ada diatas lemari Mamah." Raya berucap dengan isak tangis yang tak bisa ia tahan lagi. Abi yang mendengarnya bingung sekaligus merasa tidak tenang.

"Tapi, kenapa? Kenapa sofa rumah harus dikeluarkan juga? Rafael pulang, pulang ke rumah bukan? Lalu kenapa--"

"Kakak sudah besar. Mamah tahu Kakak ngerti."

Selalu seperti itu. Raya tidak pernah menjelaskan sesuatu yang ingin Abi tahu. Hidup Abi selalu dikelilingi rasa penasaran, rasa iri terhadap saudaranya. Rasa tidak suka terhadap Rafael, Adiknya.

Karena ia menyangka. Rafael penghancur segalanya.

Kedua punggung orang tuanya perlahan hilang dari pandangan Abi. Remaja itu hanya menghela napas nya panjang. Sebelum ia benar-benar melaksanakan perintah dari sang Ibu.

"Udah mau jam delapan loh. Katanya Alwi mau jemput temannya hm?"

Alwi mendongkak, melihat Inne yang ikut duduk bersamanya. Bukannya Alwi menjawab, anak itu malah memeluk pinggang ramping sang Ibu sambil menyenderkan kepalanya yang semalaman berdenyut.

LET ME BE FREE || Alwi Assegaf ✓ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang