30🍁

272 75 10
                                    

Happy Reading





Ting

Suara notif dari handphone Rey, mengambil alih atensi Alwi juga Cello.

"Saha, Rey?" tanya Cello dan Rey menggeleng.

|Gue udah tahu siapa dalangnya.|
|📍Location|
|Gue tunggu Lo sama Cello.|

Tanpa membalasnya, Rey segera berdiri dari duduknya. Cello dan Alwi yang melihat itu mengerutkan keningnya.

"Lo kenapa sih, Rey?" kini Alwi yang bertanya.

"Hm ... enggak apa-apa, gue ada urusan. Cell, temenin gue yuk," ucap Rey sembari mengkode Cello. Untung saja, anak itu langsung paham.

"Oke, yaudah kita pulang dulu ya, Wi. Nanti kita datang lagi," pamit Cello.

"Tapi, urusan apa?"

"Dih, sejak kapan Lo jadi kepoan gini?" canda Rey.

"Ck, pulang Lo sana! Mau Lo ada urusan kek, apa kek, gue bodo amat!" kesal Alwi, Rey dan Cello terkikik.

"Sensitif amat, Pak." lagi-lagi, Rey mengejek Alwi.

"Pulang Lo, Rey!" murka Alwi. Rey dan Cello segera kabur sebelum semua barang dikamar Alwi, terbang kearah mereka. Padahal yang menganggu Rey, tapi Cello juga kena imbas.

"Rey sialan! Rey goblok! Rey bego! ... argh, pokoknya Rey ngeselin," gerutu Alwi tak ada habisnya.

Sedangkan, orang yang sedang Alwi umpati kini sedang fokus menyetir mobil. Rey dan Cello terlihat tegang. Rey sudah memberitahu maksud urusan tadi kepada Cello. Itu membuat perasaan tak sabar timbul dari dalam diri Cello. Maklum, orangnya kepoan si Cello.

"Ck, gue yakin dalang dibalik semua ini pasti si Rafael," celetuk Rey tiba-tiba.

"Gue enggak yakin sih, Rey. Lo denger sendiri kan ceritanya Alwi? Pasti si Abi enggak melibatkan Rafael, secara dia membencinya bukan?"

"Iya, gue emang denger cerita Alwi. Tapi, gue yakin dia sengaja bilang begitu, agar Alwi tidak mencurigai Rafael. Ya, semacam pengalihan." Cello terdiam mendengar ucapan Rey. Entah kenapa, Rey begitu yakin pelakunya Rafael. Tanpa tahu, bahwa orang yang ia yakini sang pelaku utama, sedang terbaring diatas ranjang rumah sakit. Dan, itu semua karena kakaknya sendiri, Abi.

"Sialan, kenapa disaat seperti ini Lo sekarat, hah!"

"Kenapa enggak dari dulu?!"

"Dasar adek tidak berguna!"

"Mati aja lo, sana! Enggak berguna!" Abi terus saja mengumpati Adeknya sendiri yang sedang terbaring lemah, padahal ini semua juga sebab perbuatannya sendiri.

Ketika sedang asik mengumpat, tiba-tiba pintu ruangan terbuka. Dan, tampaklah dua paru baya yang terlihat khawatir, bahkan salah satunya sudah menangis. Abi dengan secepat mungkin, mengubah raut wajahnya menjadi sedih.

"Mah, Pah." ya, mereka kedua orang tua Rafael juga Abi. Mereka baru saja pulang dari luar negeri, dan malah mendapatkan kabar tak mengenakkan dari anak bungsu mereka.

"Abi ... apa yang terjadi pada adekmu, Nak?" tanya sang kepala keluarga.

"A-abi juga enggak tahu apa-apa, Pah. Tiba-tiba, Abi dapat kabar Rafael pingsan ditengah jalan. Saat sampai disana, Abi lihat Rafael udah babak belur. Jadi, Abi tanya kewarga sekitar, dan mereka menjawab bahwa Rafael habis dibegal, Pah. Maafin Abi yang enggak becus jaga adek," terangnya penuh dusta. Bahkan, kini ia sudah berpura-pura menangis. Sungguh drama yang bagus, bahkan hampir setara dengan Alwi.

Tangisan sang ibu seketika pecah mendengar ucapan anak sulungnya. Hatinya sakit, ibu mana yang tak sakit melihat anaknya koma? Sedangkan, sang kepala keluarga hanya bisa berusaha menenangkan sang istri.

"L-lalu bagaimana kata Dokter akan keadaan adekmu, Nak?" tanya Papah Abi sekali lagi.

"Kata Dokter pukulan-pukulan si pembegal mengenai titik vital Rafael, itu yang menyebabkan dia koma. Bahkan, itu bisa saja membuatnya meninggal, kalau saja dia enggak di bawa secepatnya kesini. Dokter akan terus pantau keadaan Rafael, entah Rafael akan bertahan atau memilih pergi, itu semua cuma kehendak Allah. Dan enggak ada yang tahu, tapi Dokter akan berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkan Rafael."

Bruk

Tepat setelah Abi selesai menjelaskan keadaan Rafael, Mamahnya jatuh pingsan. Dengan cepat mereka memanggil tenaga medis untuk melakukan pertolongan pertama.

"P--pah, se-semua akan baik-baik saja," ungkap Abi. Pria yang ia sebut Papah itu hanya menatap tajam sang anak.

"Abi. Papah tidak akan sekhawatir ini, kalau aja Rafael tidak memiliki riwayat jantung. Kamu tahu Abi? Dia bisa bertahan sampai sekarang aja itu masih keajaiban. Sekarang, kamu temani Mamah kamu, Rafael biar Papah yang jaga."

Abi tertunduk, jiwanya berkecamuk. Antara kesal, sedih, menyesal, juga kecewa. Kecewa pada dirinya sendiri.

Disisi lain, Rey, dan Cello sampai di lokasi dari pemilik nomor yang bahkan tidak mereka tahu. Mereka langsung disambut dengan seseorang yang sepertinya memang malas berbasa-basi.

"Lo it--"

"Iya, gue Tony anak IPS 5. Gue males basa-basi. Gue kasih flashdisk ini. Di dalam sini, ada banyak rekaman yang bisa bikin sahabat lo bebas dari masalah publik."

"Tunggu, tunggu. Gue masih loading nih, maksud lo apa ngasih ini sama kita? And. Kenapa lo tiba-tiba kaya gini, lo tahu siapa pelakunya? Lo--"

"Gue capek. Gue ngerasa berdosa, adiknya lagi sekarat di rumah sakit. Gue rasa, lo pada perlu jenguk dia, bawa teman kalian juga. Si Alwi itu, dia harus tahu masalahnya. Kalian juga, gue tahu kalian nyangka orang yang salah," ucap Tony seraya berlalu.

"Heh, iya maksud lo gimana woy?! Gue enggak paham, siapa yang sekarat? Apa maksudnya?!" ujar Rey dengan geram. Tony sungguh bertele-tele.

"Rafael. Dia sekarat. Untuk pelakunya gue rasa kalian cari tahu saja dari video yang gue kirim, oke. Gue share lokasi rumah sakitnya nanti."

Teori juga titik berakhirnya masalah.

***

"Code blue, code blue, code blue!"

Ketiganya mematung ditempat. Alwi, Rey dan Cello saling melirik, lalu melihat pada ruangan yang hendak mereka tuju.

"Dari ruangan lain," ujar Alwi memang terlihat bodoh setelah mengatakan hal demikian.

Sudah jelas ketika mereka menanyakan ruangan Rafael pada petugas di depan, ruangannya memang ruangan ini. Belum sempat masuk ke dalam, mereka sudah lebih dulu mendengar suara yang mengerikan.

"Gu--gue pernah ikut Bibi gue ke rumah sakit. Terus denger suara tadi, katanya itu--"

"GAK REY! ITU BUKAN DARI RAFAEL!" bantah Alwi hendak memasuki ruangan. Namun dengan cepat dua temannya menghentikan.

"Tenang dulu, disana ada Dokter Al. Duduk dulu duduk, biar gue yang lihat," ucap Rey sedikit melirik Cello. Cello yang dilirik langsung mengerti dan menuntun Alwi untuk duduk di kursi tunggu.

Hati ketiganya tak ada yang tenang sama sekali. Semuanya gelisah, sungguh. Apalagi ketika flashdisk yang sudah mereka putar, menampilkan beberapa video yang berhasil membuat jantung mereka olahraga dadakan.

Hanya tiga video.

Video percakapan Abi dan Tony. Terang-terangan mengatakan permasalahan, video kedua. Video yang sebenarnya di rekayasa, seakan memang Alwi yang mendorong Abi, dan video ketiga. Video yang membuat mereka mematung, Vidio Abi yang menyiksa Rafael.

Satu fakta telah terungkap. Abi dalam masalah yang besar.







To be continued

Kami nulis, kalian voment. Sedikit, tolong apresiasi kepada kami jika setelah membaca.

LET ME BE FREE || Alwi Assegaf ✓ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang