34🍁

305 62 7
                                    

Happy Reading







Suasana sendu mendominasi disekitar pemakaman. Angin sepoi-sepoi dan awan yang mendung, seakan-akan merasakan hal yang sama seperti keluarga kecil yang sedang menatap sendu batu nisan didepan mereka.

Arizki Ridho Pratama

"Kak ... Alwi bahkan enggak tahu wajah kakak terakhir kali, Alwi padahal ingin pamer ke Rey dan Cello. Tapi, kakak malah pergi duluan," lirih Alwi.

"Baru saja Alwi seneng saat tahu aku punya seorang Abang, bahkan kata Papah kita punya hobi yang sama. Tapi ... lagi-lagi semesta enggak dukung itu semua, aku kembali dijatuhkan oleh kenyataan setelah dibuat terbang setinggi-tingginya."

"Kak Ridho jahat," ucap Alwi sembari terisak pilu. Kenyataan lagi-lagi menjatuhkan harapannya.

"Sayang, udah ya. Sebentar lagi mau hujan, udaranya juga menusuk banget, nanti kamu sakit. Kita pulang besok kita kesini lagi," kata Inne mencoba tegar, nyatanya hatinya sakit setiap melihat tumpukan tanah didepannya.

"Iya."

"Kalian duluan lah kemobil, papah ingin berbicara berdua dengan kakakmu." Inne serta Alwi menatap heran Ananda, namun tak urung mereka mengangguk.

Setelah dilihat istri serta anaknya sudah pergi, ia mulai menatap kembali nisan didepannya.

"Hai jagoan Papah, maafin Papah ya baru datang sekarang. Gimana keadaan kamu disana? Pasti bahagia ya? Papah jadi kangen sama rengekan kamu, udah lama banget Papah kehilangan semua tentangmu. Dulu katanya pengen punya adik, sekarang kamu udah ada adik kok malah kamu yang enggak ada? Kamu lihatkan betapa inginnya adikmu bertemu dengan kamu? Semoga kita bisa berkumpul lagi disana bersama-sama tanpa kurang satu orang pun. Tunggu kami disana jagoan Papah ... Ridho." setelah mengatakan itu, ia mencium batu nisan milik putra sulungnya. Air matanya tak henti-hentinya menetes, kini ia bisa menangis. Setidaknya, ia bisa terlihat kuat didepan yang lain.

"Maaf Papah lama," ucap Ananda setelah masuk ke mobil.

"Enggak papa, Alwi ngerti Papah lagi pengen ngomong berduaan sama Kak Idho," kata Alwi.

"Kak Idho?"

"He'em, itu nama kesayangan dari Alwi," jelas Alwi sedikit terkekeh kecil. Ananda juga Inne ikut tersenyum kecil.

"Udah jangan ada yang sedih-sedih lagi, pasti sekarang Kak Idho ikut sedih karena kita semua sedih. Yok smile." Alwi menunjukkan senyuman manis yang ajaibnya bisa membuat lengkungan dari bibir kedua orangtuanya.

"Smile." setelah itu, mereka tertawa bersama. Semudah itu kebahagiaan datang. Kebahagiaan datang dari keluarga dan orang-orang terdekat, ya walau tak selamanya itu benar. Kadang keluarga lah yang membawa Malapetaka dalam hidup kita. Jadi, syukuri selagi bisa.

***

"Huft ... satu persatu kebenaran terungkap. Kebenaran apa lagi yang akan menjadi kejutan?"

"Ck, melelahkan. Lebih baik gue melukis." segera saja, ia menuju balkon kamarnya yang sudah tersedia alat melukis.

Kini, hujan deras membasahi permukaan bumi, harum khas tanah tersebar kemana-mana, bahkan anginnya terasa menusuk kulit. Namun, itu semua tak membuat niat Alwi diurungkan. Ia tetap melanjutkan niatnya untuk melukis.

"Baru aja gue mau ngajak Lo collab, kak. Eh malah udah pergi duluan," gumam Alwi tersenyum miris.

Ting

Bunyi handphone mengambil alih atensi Alwi. Dengan malas, ia mengambil handphonenya yang terletak diatas meja disampingnya.

|Wi, kakak punya kabar gembira.|
|Ada yang buka lomba melukis internasional, kamu pokoknya harus ikut, selagi kamu udah dibolehin untuk melukis.|
|Kakak tunggu di kafe biasa untuk lebih jelasnya.|

Refleks ia berdiri, sedikit tidak menyangka akan kabar dari Kak Tammy, orang yang selama ini selalu mendukungnya dalam hal melukis. Segera ia berlari mengambil jaketnya untuk menemui Kak Tammy, masa bodo dengan lukisannya yang belum jadi itu.

"Pah! Papah!"

Ananda yang tadinya sibuk menonton TV, refleks melihat kearah putranya yang sedang berlari-lari ditangga.

"Alwi jangan lari-lari ditangga!" tegur Ananda.

Sontak Alwi memelankan langkahnya "heheh, Peace, Pah."

Menghela napas lebih dulu, masih menunggu irama jantung nya untuk berdetak dengan normal, setelah berlarian di tangga, Alwi tersenyum lebar, lantas buru-buru duduk disamping Ananda.

"Kenapa sih? Senyum-senyum gitu, Papah ngeri. Jangan-jangan demit kuburan ikut ke sini lagi," celetuk Ananda sambil terus mengganti-ganti chanel televisi yang isi nya berita semua. 

"Sembarangan ari Papah, anu ... Papah lihat Alwi dulu dong, masa anaknya dicuekin. Alwi mau ngomong ini Pah, penting bangett." Alwi berujar sambil memanjangkan nada kata terakhir. Seolah-olah memang penting. Tetapi, memang iya bagi Alwi. Tidak tahu untuk Ananda, ataupun Inne.

Ananda terkekeh, sesuai permintaan Alwi. Kini kedua netra mereka saling beradu, sebelum pada akhirnya suara benda jatuh dari dapur menyadarkan atensi mereka berdua.

"Mah, Mamah kenapa?!" teriak Alwi bangkit, hendak menemui Inne, namun Inne sudah lebih dulu muncul dengan cengiran dan satu loyang yang isi nya kue, seperti baru di angkat dari oven.

"Enggak papa hehe, tadi jatuh. Satu loyang ancur deh, tapi enggak papa. Ini masih ada yang baru, hayuk hayuk, kalian berdua harus cobain resep baru Mamah."

"Nah, bagus. Papah sama Mamah udah di sini, Alwi mau, em. Mau minta izin, boleh?"

Inne dan Ananda saling pandang, tangan Inne lebih dulu bergerak mengambil tissue, sedangkan Ananda memilih untuk mendengarkan.

"Izin kemana emang nya?"

"Boleh apa enggak dulu?"

"Iya tergantung pertanyaan Alwi, emang Alwi mau ngasih tahu apa sayang?" tanya Inne sambil menyodorkan kue yang ia taruh di atas tissue.

"Ini." Alwi menyodorkan ponsel nya yang menampilkan room chat dengan Tammy. Ananda ikut bangkit, untuk melihatnya.

Jantung Ananda maupun Inne berpacu lebih kencang, sedangkan Alwi masih takut, takut permintaannya kembali di tolak, jika iya. Mungkin hari ini juga Alwi memilih untuk menyerah, ini harapan terakhirnya. Melihat kedua orang tua nya bungkam, Alwi sadar. Peluang besar ini, hanya akan menjadi sebuah angan-angan.

Sedangkan di pikiran Ananda maupun Inne. Suara kecil putra sulung mereka kembali terdengar.

"Mama! Papah! Ikut ya, ya, ya, ya. Acaranya jam delapan, nanti aku bawa piala deh pulangnya, nih, segini, Ridho tunggu Papah sama Mamah datang buat jemput aku lagi."

"Nanti ya sayang, Mamah sama Papah ada kerjaan. Dikit kok, nanti kita datang, Ridho. Semangat! Harus menang."

"Huum. Pasti!"

"Mah, Pah! Malah ngelamun, apa ini termasuk faktor usia?" ujar Alwi kembali menyadarkan keduanya.

Memang benar kata orang, rasa sesal itu berada di akhir. Maka, Inne dan Ananda sekarang tengah berpikir dengan baik, ia tidak ingin kembali merasakan penyesalan karena salah dalam memilih keputusan.

"Mah, Pah. Itu masa lalu, Alwi bakal baik-baik aja kok, iya. Sungguh, terakhir deh, Alwi enggak bakal minta apa-apa lagi, tapi boleh ya?"

Benar. Itu hanya masa lalu, tapi ... bukan 'kah masa lalu bisa memberikan kita evaluasi lebih dalam lagi? Rasanya tahu, harus seperti apa setelah kejadian itu. Tahu, harus bagaimana agar lebih baik dari sebelumnya.

Iya, semoga ini keputusan yang tepat.

Alwi tersenyum, seraya memeluk keduanya. Ananda dan Inne memang mengizinkan, walau kedua hati mereka tak bisa lagi tenang.

Mereka hanya takut. Mereka hanya masih dibayangi rasa sakit yang sampai sekarang tak kunjung hilang.







To be continued

LET ME BE FREE || Alwi Assegaf ✓ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang