06🍁

435 86 7
                                    

Happy Reading






Jam istirahat sudah berbunyi sejak lima menit yang lalu, dan Alwi memilih berdiam diri di kelas. Ia sangat malas berdesak-desakan dan mendengar kehebohan di kantin. Lebih baik dia di kelas dari pada di kantin, ia malah tidak tenang.

Kedua sahabatnya, juga sudah mengajaknya tadi. Tapi, dia menolak. Dan mereka pun memilih pasrah, lalu berinisiatif untuk membelikan saja dikantin. Sahabat yang baik, bukan? Oh ayolah, walau mereka kelakuannya buat geleng-geleng kepala, tetapi merekalah yang paling care kepada Alwi.

Sedang asik melamun, tiba-tiba bunyi notif chat yang entah dari siapa. Alwi pun merogoh laci untuk mencari handphonenya, setelah itu melihat siapa yang memberinya pesan.

Ting!

[Alwi, Papah enggak bisa jemput kamu.]
[Jadi, ke lokasinya naik taxsi saja.]
[Ingat! Jangan macam-macam kamu, sampai berani bolos syuting. Apalagi karena hal tak berguna itu!]

Tanpa menjawab pesan dari Papahnya, Alwi menyimpan kembali handphonenya dengan sedikit kasar. Sebenarnya kenapa Papahnya itu sangat membenci sebuah lukisan? Emang menjadi seorang pelukis itu tak menghasilkan uang? Apa sebenarnya yang Papahnya sembunyikan darinya?

"Kapan ini semua berakhir? Dan kenapa?"

"Kenapa aku tidak bisa bebas seperti yang lain?"

"Apakah aku benar-benar tak bisa menjadi, seorang pelukis?"

"Apa yang sebenarnya Papah sembunyikan dariku?"

Semua pertanyaan itu langsung berputar begitu saja di kepala Alwi. Ingin rasanya, ia berteriak kalau tidak ingat ini masih di sekolah. Dan akhirnya, ia hanya mampu mengacak-acak rambutnya kasar.

"Sepertinya, gue memang harus cari tahu sendiri alasan Papah melarangku melukis. Sebab, percuma gue tanya ke Papah dan Mamah, mereka tidak mungkin jawab," gumamnya bertekad.

***

"REY! CELLO!"

Rey dan Cello yang merasa dipanggil pun mencari sumber suara. Setelah tahu bahwa yang memanggil mereka adalah dua gadis yang begitu tergila-gila kepada sahabatnya, Alwi, langsung saja mereka memutar bola mata malas. Ah ralat hanya Rey, Cello malah tersenyum senang.

Sebenarnya, mereka binggung sama kedua gadis itu. Mereka itu rival atau partner? Mau dibilang rival tapi selalu bareng walau sering bertengkar, mau dibilang partner juga mereka selalu berantem. Ah sudahlah, terserah mereka saja.

"Kenapa?" ketus Rey, setelah kedua gadis itu sudah didepan mereka.

"Dih, ketus amat," jawab Raina tak kalah ketus.

"Tahu tuh," sahut Lita dan Rey hanya memutar bola matanya malas.

"Udah, Rey emang gitu. Sok iye, mending kalau mau nanya sama gue aja. Gue rela seumur hidup kok," ucap Cello tersenyum manis.

Kedua gadis itu menatap aneh ke Cello. Ada apa sama nih anak? Pakai segala senyum manis, manisan juga senyuman Alwi. Walau mereka belum pernah melihat langsung, hanya lewat televisi. Itupun karena akting.

"Aih terserah deh, gue hanya mau nanya Alwi mana? Kok tumben enggak ke kantin?" tanya Lita.

"Ho'oh, padahal tadi udah berencana duduk bareng, walau nanti bakal diusir sama Alwi. Tapi coba dulu apa salahnya 'kan?" kata Raina.

"Dia dikelas, males ke kantin katanya," jawab Cello.

"Loh! Kenapa? Alwi sakit? Sakit apa?" tanya Raina dan Lita beruntun.

LET ME BE FREE || Alwi Assegaf ✓ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang