"Boleh gue aja ga yang di pojok?"
Anna bertanya pada teman sebangku yang sepertinya datang lebih awal dan mengisi bangku yang kemarin diisi Anna.
"Lo tau. Gue gasuka punya temen sebangku, dan bangku ini punya gue." ucapan lelaki itu diiringin dengan memperlihatkan nama atau pertanda jika bangku serta meja pojok itu merupakan hak paten lelaki itu.
Anna menggaruk kepalanya yang tak gatal, dia tak tau harus menjawab apa, karena posisinya disini cukup memperihatinkan, tak mengenal siapapun.
Anna menjadi pusat perhatian dikelas ini, entah mengapa.
Tak mau lama-lama berdiri, Anna menaruh tasnya dan duduk dibangku yang kemarin diduduki Arkan, teman sebangkunya.
"Soalnya, gue biasanya duduk dideket jendela." Anna berbicara hampir seperti berbisik kepada Arkan.
"Gapeduli."
Anna melirik Arkan yang terlihat mengacuhkannya, parah.
Anna tak pernah diperlakukan seperti ini.
"Terus, gue juga kalo ngomong, biasanya didengerin, temen ngomong gue bakal naruh apapun itu dan musatin diri ke gue yang ngomong."
Arkan memutar matanya, "Gue bilang gue gapeduli."
Anna menganggukkan kepalanya, dia mengerti. Membangun sebuah interaksi itu sangat sulit.
Arthur tak pernah mengacuhkannya karena tau Anna seperti apa.
"Orang gabakal betah sama lo, kalo terlalu banyak aturan dihidup lo."
Perkataan Arkan membuat Anna memandanginya.
"Tapi itu bukan aturan gue, itu manner. Semua orang harus belajar ngehargain orang lain. Untuk hal-hal kecil gitu, kalo mau dihargain balik."
"Lo udah kaya tuan putri. Gue gasuka berinteraksi terlalu banyak sama orang aneh."
Anna menampilkan muka bingungnya, "Gue? Aneh?"
Belum sempat Anna bertanya lebih banyak, guru sudah masuk kedalam kelas, membuat Anna menghentikan ke-kepoannya terhadap Arkan.
***
"Nih."
Anna menggeser buku catatannya kepada lelaki yang sedari jam pelajaran hanya tidur dan bermain ponsel.
"Buat?"
"Lo pasti ga nyatet yang tadi, ini gue nyatet lengkap. Sebagai permintaan maaf gue buat punggung lo, dan perkenalan yang gabaik."
"Ga butuh."
"Tapi ini bisa lo pelajarin, lo emang gamau masuk univ?"
"Biasanya gue suka nyatetin kaya gini buat temen sebangku gue. Jadi, diterima aja gitu."
"Gua gabutuh, lo denger gasih?"
Anna menarik kembali buku catatannya, "Susah ya tenyata buat punya temen."
Arkan mengerutkan keningnya, "Cewe aneh." ucap Arkan lalu bangkit dari duduknya untuk melangkah kekantin.
Anna merogoh sakunya untuk mengambil ponsel.
Mengecek apakah ada notifikasi diponselnya, namun ternyata tak ada apa-apa, sepertinya ponsel ini rusak.
Kontak ponselnya pun ada lima orang beberapa waktu lalu, ada kedua orang tuanya, kakak sulungnya, Felis dan Arthur, namun kini hanya tersisa tiga saja.
Anna menaruh ponselnya diatas meja, lalu menarik tas bekal dikolong meja.
Biasanya Anna akan berbagi bekal dengan Felis.
Banyak kenangan yang susah untuk dilupakan, itu mengapa Anna merasa dunianya runtuh seketika.
"Anna ga kekantin?"
Anna menarikkan pandangannya dari kotak bekal.
"Ngga, bawa bekal."
"Kalo tau lo bawa bekal, gue besok bawa bekal juga deh, biar lo ada temen."
"Lo mau ga?" Anna membuka kotak bekalnya dengan cepat, untuk berbagi isi bekalnya.
"Boleh."
Jawaban Cia membuat Anna sedikit bahagia, gadis itu terlihat meraih bangku untuk duduk disebelah Anna.
"Biasanya lo bagi bekel sama Felis, sekarang udah ga sekelas lagi ya."
"Ehemm." Anna hanya berdeham sebagai jawabannya.
"Dulu gue iri sama Felis, bisa punya temen baik kaya lo."
Anna memandang Cia, "Gue gasebaik yang lo kira ko."
"Tapi lo temenannya make hati banget. Dulu gue pengen deket sama lo, cuma susah banget."
Anna tak tau harus merespon seperti apa, dia bukannya tak mau berteman dengan siapapun kala itu, dia hanya merasa cukup dengan apa yang ada disekitarnya.
Namun saat ini, dia hanya akan berteman seperlunya, yang apabila terluka tak akan sesakit yang saat ini dirasakannya.
"Gue cuma gatau cara berinteraksi sama banyak orang."
"Dulu gue denger kalo ada anak baru yang cantik banget pas mos, tenyata satu kelas sama lo."
"Ohya? Gue gatau."
"Iya, cuma gaada yang berani ngomong gimana-gimana atau gaada cowo yang berani deketin lo, karena jadi pacarnya Arthur."
"Gue gatau kalo gue jadi buah bibir segitunya."
"Iya, lo itu sebenernya populer banget, cuma karena lo gasuka berinteraksi, dan ada beberapa rumor yang bilang lo gasuka kenalan sama orang, jadi ngebuat orang-orang sedikit skiptis, ngiranya lo sombong."
"Lo juga deket banget kan sama Felis?"
"Orang yang deket sama Felis, cuma sebagai alasan biar bisa deket sama lo. Cuma gapernah sampe deket ke lo-nya."
Anna menyadari satu hal dari pembicaraan ini, Felis pasti sangat tak menyukainya karena alasan orang mendekatinya hanya untuk mencoba mendekati Anna.

KAMU SEDANG MEMBACA
HANNA
Novela JuvenilLaryssa Griselda Hanna, harus merasakan pahitnya pengkhianatan dari orang yang sangat ia percaya. Dunianya yang sudah begitu nyaman, hancur seketika saat dua orang yang menjadi pilar kenyamanannya melakukan pengkhianatan. Anna sapaan akrabnya, gadis...