empat

2.1K 85 18
                                    

"Pulang malam lagi?" Alisha tersentak kala merasakan suara kasar sang kakak yang menatapnya sinis dari atas kebawah guna menilai gadis itu.

Alisha menunduk, tak mampu menjawab. Ia lebih memilih untuk tidak menambah masalah dengan pertengkaran mereka.

"Jual diri diluar apa gimana Lo?" Tanya pria itu sekali lagi. Bibirnya berdecih melihat respon adik semata wayangnya.

Alisha menatapnya sendu. Gadis itu menggeleng guna menolak ucapan sang kakak, tapi bibirnya kelu untuk menyanggah semua tuduhan yang mengarah kepadanya.

Aska terkekeh sinis. Langkah kakinya berjalan mendekati gadis itu. Semakin ia mendekat semakin pula alisha memundurkan langkahnya.

"Bisu Lo?"

Mata alisha berkaca-kaca. Gadis itu siap untuk menangis.

"Ck, nangis Mulu. Cuma bisa nangis Lo? Gue tanya baik-baik, Lo kebiasaan dari dulu kalo gue tanya nangis Mulu. Semenakutkan itu gue Dimata Lo hah!"

Tubuh alisha bergetar. Mengingat sesuatu dimasa lalunya membuat gadis itu berfikir dua kali untuk melawan sang kakak. Ia paham benar, Aksa benci ketika ia tak didekat pria itu. Aska benci ketika ia punya teman laki-laki. Aska benci ketika mendapati surat cinta di seragam sekolahnya. Dan ia paham benar resiko apa yang terjadi jika ia salah bicara sedikit saja.

Bahkan ibunya sekalipun, tidak akan pernah bisa menolongnya. Aska sendiri paham benar jika ibunya bisa melakukan apapun untuknya. Dan pria itu memanfaatkan hal itu dengan baik.

Jadi mengadu pada siapapun, tidak akan pernah ada gunanya.

Alisha mengepalkan jari-jemarinya kuat. "Alisha ikut pelajaran tambahan kak. Alisha juga ikut les seni, jadi agak larut untuk jam pulangnya."

"Lo gak bohong kan?"

"Nggak." Jawab alisha cepat.

"Kalo Lo bohong, gue gak segan buat Lo keluar dari universitas kebanggaan Lo itu. Paham!"

Alisha mengangguk cepat.

Aska berjalan pelan mendekati adiknya. Kedua sisinya merengkuh tubuh gadis itu. "Lo bakalan nurut kan sama gue alisha?"

Alisha menatapnya gugup. Gadis ini-gadis kecil yang dibawa ibunya bertahun-tahun yang lalu. Mata polos yang menatapnya untuk pertama kali nyaris membuatnya jatuh hati untuk pertama kali. Gadis egois yang mengambil hatinya tanpa permisi. Bertahan-tahun lamanya Aska hanya bisa menahan perasaan sambil menekan gadis itu untuk menjadi miliknya sendiri.

Tidak pernah merasakan jika ini adalah sebuah kesalahan yang mungkin akan disesalinya dikemudian hari. Baginya, berani berbuat harus berani bertanggung-jawab. Alisha susah berani menarik perhatiannya maka gadis itu juga harus bertanggungjawab atas semua perasaan gilanya. Rasanya ia ingin mengunci alisha untuknya sendiri.

"Lo cantik, alisha." Alisha keget menatapnya.

Aska terkekeh melihat reaksi alisha, "jangan pernah macem-macem diluaran sama kalo Lo gamau hancur ditangan gue. Lo ngerti ."

Alisha mengerti. Ntah rasa sayang seperti apa yang Aska coba salurkan kepadanya. Tapi gadis itu coba mengerti, tak seperti kakak kebanyakan. Aska menyalurkan rasa sayangnya sedikit berbeda. Alisha paham benar Aska teramat menjaganya.

"Gue akan minta mami buat cabut ijin kuliah tambahan dan les seni Lo itu. Hidup dan masa depan Lo gue yang atur bukan Lo sendiri."

"Jangan kak, kakak tau sendiri alisha suka kesenian. Kakak ga bisa-,"

"Gue minta pendapat Lo, ngga kan." Sela Aska cepat.

"Hidup Lo milik gue sepenuhnya. Itu yang harus Lo inget. Jika seni buat Lo bahagia Lo harus ninggalin itu semua alisha. Lo tau kenapa?"

Jari telunjukknya menari-nari di kening gadis itu. "Karna gue benci liat Lo bahagia."

Dan gue menderita sendirian.

Dan itu bukan karna gue.

Gue benci liat Lo bahagia sendirian Al.

Ketika langkah kakinya menjauhi alisha. Ia bisa melihat bahu gadis itu yang bergetar. Mengeraskan hati Aska memilih untuk tidak perduli. Ia memilih untuk melihat alisha menangis daripada bahagia tanpa dirinya. Suatu saat, ia ingin menjadi alasan bahagia untuk gadisnya.

"Lo egois kak." Ucap alisha dengan bahu bergetar.

Sorot matanya menatap Aska terluka. "Aku gak merasa miliki hidup gue sendiri. Aku gak merasa ga ada artinya dilahirkan."

Pria itu berdecih, "pintu keluar terbuka lebar buat gadis pembangkang kaya Lo. Mungkin diluaran sana juga ga akan ada yang mau nampung manusia merepotkan kaya Lo. Lo sadar ga sih selama hidup Lo ga pernah ngasih apa-apa sama mami."

"Cuma mami yang mau tampung Lo dan Lo bersikap semaunya. Lo pikir Lo siapa. Jangan munafik Al, keadaan Lo akan jauh lebih buruk kalo mami ga bawa Lo kerumah ini. Lo ga akan lebih dari wanita jalang diluaran sana."

"Sehina itu aku kak. Kenapa semua orang menilai aku rendah?"

Aska menatapnya remeh. "Karna Lo pantes dapetin itu, Al."

Gadis itu memejamkan matanya sejenak. "Aku benci kamu, kak."

Aska mencengkeram rahang alisha dengan satu cengkraman. Membuat kuku-kuku jarinya menancap di sisi-sisi wajah gadis itu. Deru nafasnya terdengar kasar, menahan amarah yang ingin segera ia lesakkan. "Gue bukan kakak Lo. Jadi berhenti panggil gue kakak dengan mulut sampah Lo, paham!"

"Sakit-," seru gadis itu kuat. Jemarinya menahan tangan Aska yang semakin menguatkan cengkramannya.

"Cewek sialan Lo. Berani-beraninya benci sama gue hah! Lo gak berhak untuk punya rasa apapun ke gue, ngerti Lo anak pungut?"

Dengan sekali sentakan Aska melepas tubuh gadis itu yang langsung limbung kebawah. Sambil membenarkan tubuhnya yang acak-acakan alisha berlari menuju area kamar guna lari darinya. Karna alisha sendiri tau, jika sudah seperti ini Aska akan sulit mengendalikan emosinya.

Aska mencengkeram area dadanya guna menghapus rasa sesak yang kian menelusup kedadanya. Alisa membencinya. Tidak, gadis itu tidak akan mampu. Ia sangat yakin alisha tidak akan mampu membencinya.

Setitik air mata mulai jatuh dari pelupuk matanya. Rasanya sakit sekali-harus merasakan tatapan benci gadis itu, harus melihatnya menangis sekali lagi.

Arah matanya melirik kesamping. Ia butuh melampiaskan emosinya. Satu tangannya menarik guci kesayangan ibunya-lalu melemparnya dengan keras.

Prangg....

"Brengsek!" Sentaknya kuat.

Sorry LiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang