delapan

1.3K 45 0
                                    

Aska, pria itu disana. Menatap dingin sang adik yang sedang dipermainkan oleh beberapa temannya. Bukan ia tak mau menolong namun egonya menolak untuk tetap tak peduli. Baginya—menolong alisha sama saja dengan merendahkan diri, ia tak ingin melakukan itu. Ia tak ingin gadis itu tau bahwa hati kecilnya mengharapkan alisha.

Genggaman tangannya menguat pada stir kemudi—siap untuk menghancurkannya.

Notifikasi pesan masuk. Anastasia memberikannya beberapa pesan singkat, seperti kejadian malam itu membuat petaka. seperti ada yang sengaja memotretnya malam itu. Bibirnya mendengus, ia muak dengan gadis ini.

Setelah memberikan beberapa jawaban Anastasia pun mempercayainya. Semudah itu. Gadis bodoh itu tidak tau tengah bermain dengan siapa. Memberikan hatinya pada laki-laki seperti dirinya adalah kesalahan besar. Gadis Bodoh batinnya memaki.

Jika ia berada di posisi Anastasia, melihat orang yang ia cintai mencium orang lain tentu ia tidak akan pernah percaya. Sebab orang mabuk, semabuk-mabuknya seseorang pasti memiliki sedikit kesadaran jadi tidak mungkin itu murni karna tidak sadarkan diri.

Sorot matanya menatap Alisha. Gadis itu tengah dihukum untuk berdiri ditengah lapangan. Ia percaya anak-anak tadi pasti mengerjai gadis itu lagi, melihat salah satu dari mereka adalah anak pemilik sekolah itu. Memilih untuk tidak perduli ia mengemudikan mobilnya menjauhi area kampus.

******

Alisha merasakan pipinya dingin. Kelopak matanya menatap heran teman sebangkunya—Zevan. Pria yang mempunyai lesung pipi itu memberikannya sebotol minuman dingin. "Minum Alisha nanti Lo pingsan." Ujarnya bercanda.

Alisha terkekeh, "bentar lagi Zev, kira-kira sepuluh menit lagi nih. Nanti Lo tangkep yah."

Pria itu menggeleng. "Gamau dosa Lo banyak."

Alisha memutar bola matanya, "awas Lo jangan deket-deket gue nanti kena bully juga."

Zevan terdiam sesaat—merasa menyesal tidak bisa membantu gadis ini meskipun orangtuanya adalah donatur di kampus ini. "Mereka ga akan berani nyentuh gue alisha."

"Lo mau kekantin?"

"Nggak, hukuman gue belum selesai."

Zevan terdiam sebentar. "Sepeda Lo biar gue yang benerin ya, itung-itung buat hapus rasa bersalah gue karna ga bisa nolong Lo hari ini."

"Gak perlu—maksud gue, sepeda itu gak akan bisa sama lagi meski nanti diperbaiki, jadi gue pikir untuk bawa pulang dan simpan kerangkanya aja."

Mereka tidak terlalu dekat, tapi zevan ingat dengan benar ketika gadis itu mengatakan benda itu adalah peninggalan satu-satu milik ibu alisha. Jadi ia tau betapa berartinya sepeda itu.

"Maafin gue alisha," ujarnya dalam hati.

Diaz. Pria itu disana, menatap alisha dari atas yang tengah bercengkrama dengan salah satu laki-laki. Sedari tadi ia menatap gadis itu dari awal, dari zevan yang tiba-tiba datang memberikan minum atau dari alisha yang dihukum dilapangan. Pria itu dengan berat hati meninggalkan kelas dan tidak mengikuti pelajaran hanya untuk melihat gadis murahan itu. Tangan kanannya menggenggam botol minuman yang tadinya hendak ia berikan pada Alisha namun ia urungkan.

Sekali murahan tetaplah murahan, tak terhitung berapa laki-laki dihidup gadis licik itu. Wajahnya yang polos seakan mendukung para pria untuk tertarik kepadanya.

Wajahnya yang cantik bisa dianggap satu-satunya kelebihan yang dimiliki Alisha. Ya meskipun gadis itu pintar tetap saja murahan pikirnya.

Cengkraman tangannya menguat pada besi balkon, ingin seketika meremukkan semua besi itu. Alisha, berapa laki-laki lagi yang harus aku habisi untuk memilikimu. Ingin sekali rasanya ia mencampakkan botol minum ini kewajah lugu gadis itu.

Sorry LiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang