tujuh

1.3K 48 1
                                    

Alisha menutup matanya, ingin segera terlelap. Ia cukup lelah untuk malam ini, tapi ia rasakan ponselnya bergetar pertanda beberapa pesan masuk, dengan agak malas ia membuka notifikasi ponselnya.

Terlihat beberapa pesan masuk dari nomor tidak dikenal. Alisha menghela nafas ia tau ini nomor siapa. Namun agak kaget melihat ada pesan foto yang masuk memperlihatkan Diaz yang mencium pipi perempuan yang tidak ia kenal.

+628...........

"Cewek sialan, save nomor gue!"

"Besok gue cek, semisal Lo ngelunjak gue bakar sepeda butut Lo bangsat!"

"Awas ya Lo cemburu liat foto yang gue kirim, najis tau gak!"

Gadis itu menghela nafas. Ia heran mengapa kakak seniornya ia suka mengganggunya akhir-akhir ini. Kepalanya berputar untuk berfikir kesalahan apa yang pernah ia buat. Apakah dimasa lalu ia adalah gadis jahat sehingga bahkan kakaknya sendiri sangat membencinya.

Tak ini lanjut berfikir yang tidak-tidak gadis itu memilih untuk segera tidur.

Byur!

Mata alisha terbuka paksa melihat siraman air yang dengan tiba-tiba mengguyur tubuhnya. Arah matanya melihat kesamping—mengarah pada Aska yang menatapnya sinis.

Seketika gadis itu menyadari ini bukan kamarnya. Padahal tadi malam ia ingat dengan benar berada di kamarnya, tapi pagi hari ini ia bahkan bisa mencium aroma Aska yang berada disekelilingnya. Artinya gadis itu berada di kamar Aska tanpa ia sadari.

"Pindah kamar Lo." Ucap Aska dingin.

Sorot matanya menatap gadis itu menajam, "kasur gue bisa bau pelacur kalo Lo disitu terus."

"Maaf kak," kepala alisha menunduk. Ia juga terheran mengapa bisa berada dikamar sang kakak.

"Muak gue denger permintaan maaf dari lo."

Alisha coba mengingat apa yang terjadi semalam. Tapi tidak berhasil, yang ia ingat hanya ia yang mengantarkan Aska yang sedang mabuk kekamarnya lalu gadis itu tidur di kamarnya sendiri, lalu apa yang ia lihat hari ini sungguh berbanding terbalik.

"Jangan pernah sekali-kali Lo injak kamar gue atau gue seret Lo kepanti asuhan tempat Lo tinggal dulu. Paham!"

Melihat gadis itu yang lagi-lagi diam membuat darahnya naik. Dengan kasar ia cengkram rahang alisha kuat, hingga kukunya melukai sebagian pipi gadis itu, "sekali lagi Lo abai sama apa yang gue bilang, gue robek mulut sialan Lo ini."

"Apa yang terjadi tadi malam kak?"

Aska meneliti gadis itu dari atas kebawah. Seraya menatap alisha merendahkan. " Tubuh murahan Lo ini datang kekamar gue tiba-tiba dan gue benci itu."

"Sekarang Lo keluar!" Sentaknya kuat lalu menyeret alisha keluar dari kamarnya. Kening gadis itu menghantam lantai, tak menghiraukan rasa sakitnya ia cepat bergegas menjauhi Aska sebelum hal yang lebih buruk terjadi.

Aska mengusap kasar wajahnya. Lagi-lagi ia kehilangan kendali, tadi malam ia yang membawa gadis itu kekamarnya. Ia merasa bersalah atas apa yang ia lakukan di pesta kemarin. Tapi melihat notifikasi ponsel alisha yang menunjukkan ia mulai berhubungan dengan salah satu pria membuatnya kelabakan hingga menyakiti gadis itu lagi.

******

Langkah alisha terhenti. Ada tiga tubuh pria tampan menghalangi jalannya. Ada Diaz, Cakra, dan faraz menatapnya sinis. Untuk hari ini, lagi-lagi ia tidak tau kesalahan apa yang ia buat hingga membuat tiga pria itu menghadangnya.

Cakra menendang sepeda yang gadis itu kenakan, hingga membuat pedal sepeda gadis itu copot dan berserakan dijalan.

"See, sok-sokan polos ternyata pemain Lo. Tadi malam gue liat Lo lagi melayani tamu."

Diaz terkekeh sinis.

"Ga jualan ga makan dia." Ucap faraz tertawa.

"Gue gak butuh tanggapan Lo semua, minggir!"

Arah mata Diaz menatap beberapa pohon dihadapannya, " gantung sepeda dia diatas, pilih pohon yang paling tinggi."

Cakra dan faraz dengan cepat menuruti. Bahkan mereka lebih senang jika bisa membakar sepeda butut ini tapi perintah Diaz adalah mutlak sehingga mereka tidak menyangga sedikitpun. Bisa dilihat gadis itu tidak berontak sama sekali tapi matanya tetap tidak bisa bohong.

Diaz menatap alisha dingin. Ada beberapa pertanyaan dalam benaknya. Terdapat beberapa luka diwajah gadis itu di pipi bagian bawah serta keningnya. Tapi ia memilih untuk tidak perduli.

"Gue mau besok Lo jalan kaki kesini." Ujarnya cepat.

Ia sudah mereset semua tentang alisha termasuk pekerjaan orangtua gadis itu, mempunyai klub elit dan cukup terpandang serta kakaknya pemilik salah satu perusahaan terbesar—tidak mungkin akan membiarkan alisha jalan kaki besok kan. Ya pasti mereka dapat dengan mudah memberikan apa yang gadis itu inginkan.

Melihat gadis itu yang lagi-lagi diam membuatnya belum cukup puas. Otaknya mencari cara agar dapat melihat alisha menangis.

"Cakra gue tarik kata-kata gue. Bakar sepeda gak guna itu di depan mata dia sekarang. "

Pria itu terkekeh kala mendapati sorot mata alisha yang teduh—tadinya agak terkejut Diaz sampai melakukan hal ini.

Gadis itu menatap Diaz memohon. Merendah untuk mendapat sedikit saja simpati pria itu. "Diaz gue mohon jangan dibakar, cukup Diaz gue mohon. Gue ga punya apa-apa selain ini.

Diaz mencengkram kedua tangan alisha, menahannya untuk mengganggu Cakra dan faraz yang sedang menyiram minyak—berupaya membakar sepedanya.

"Jangan kak—jangan! "

Diaz melingkarkan tangannya seraya memeluk alisha dari belakang. "Cuma sepeda butut alisha, gue bisa kasih lebih dari itu alisha. Kalau-kalau Lo mau nurut sama gue."

Matanya berkaca-kaca siap untuk menangis. "Cuma? Lo gatau betapa berartinya benda itu kak." Melihat api yang sudah menjulur diseluruh wilayah sepeda itu membuat tubuhnya lemas hingga melorot kebawah. Diaz tidak lagi menahannya.

Sepeda butut yang mereka bilang adalah satu-satunya peninggalan ibu kandungnya. Sepeda yang dulu ibunya kenakan lalu ditinggalkan dipanti asuhan. Ia membongkar seluruh tabungannya untuk memperbaiki sepeda itu, lalu yang ia lihat sekarang adalah lenyap. Sepeda itu sudah lenyap. Pemberian terakhir milik ibunya sudah tidak ada. Diaz—pria itu berhasil menghancurkan hatinya.

Lagi-lagi tujuan Diaz berhasil, yaitu membuatnya menangis.

*Gatau next kapan, jangan ditungguin

Sorry LiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang