sepuluh

1.2K 44 1
                                    


Diaz memasuki area rumahnya. Jemari tangannya memainkan kunci motor, memutarkan kunci itu berkali-kali. Ia sangat piawai dalam hal ini. Hari ini ia hendak berangkat ke kampus. Hatinya bersorak gembira membayangkan hal-hal menyenangkan untuk mengganggu gadis udik kesayangannya itu.

Hentakan kakinya terhenti. Keningnya mengkerut melihat sosok gadis di ruang tamu rumahnya. Gadis itu, apa yang ia lakukan disini.

Gadis itu mendongkak ketika mendapati Diaz berdiri dihadapannya. Sorot matanya menatap gadis itu datar. Tak ingin menanggapi ia memilih untuk meninggalkan gadis itu. Tak penting pikirnya.

"Diaz,"

Laki-laki itu mengehentikan langkahnya.

"Gue Seyra." Ucapnya tiba-tiba.

Diaz menjawab datar, "Gue tau." Badannya berbalik menatap gadis itu. "Tapi Lo ga penting." Ucapnya melanjutkan.

"Dalam kurun waktu sepuluh tahun nggak akan buat Lo lupa siapa gue kan?"

Satu tangannya memasukkan kunci kedalam celana, ia sangat malas menanggapi sahabat kecilnya ini sebenarnya. "Gue inget, tapi kalo dipikir-pikir juga ngapain juga ingat-ingat Lo. Ga penting."

Seyra tersenyum sendu, Diaz berubah. Pria itu berubah semenjak ia menolaknya dan lebih memilih Cakra dulu. Dulu ia sangat bodoh, menyia-nyiakan Diaz hanya karna ia lebih menyukai Cakra kala itu.

"Antar gue ke kampus Diaz. Hari ini gue resmi jadi mahasiswa di kampus Lo, jadi kita bisa Deket lagi kaya dulu—,"

Pria itu terkekeh sinis. Gadis tidak tau diri ini norak sekali, "Gak geli Lo bilangnya. Najis tau gak! Ga punya kaca dirumah Lo ya."

Gadis itu meremas tangannya kuat-kuat. Ini konsekuensi yang harus ia terima dari perbuatannya dulu.

Diaz mengeluarkan ponsel dalam sakunya, menelfon Cakra dengan cepat untuk menyingkirkan Seyra. Jika ia telat sedikit saja maka ia akan kehilangan banyak waktu untuk bertemu gadis udik kesayangannya itu.

"Cak buruan kesini, mantan lo minta jemput nih."

Seyra mendekat, ia tak terima bila Cakra yang mengantarnya, "DIAZ GUE GAMAU SAMA CAKRA! GUE MAUNYA SAMA LO!"

Diaz menatap Seyra tajam, memerintah gadis itu untuk diam.

"Mantan gue yang mana," ucap suara bangun tidur dari sana. Tak terhitung berapa kali pria itu pacaran jadi otaknya berfikir keras itu mantannya yang mana.

Diaz menatap Seyra. Dari sorot matanya gadis itu meminta untuk tidak di beritahu, sebab putusnya ia dan Cakra terjadi secara tidak baik-baik kala itu.

"Seyra," jawab Diaz singkat sambil menutup telfonnya.

Bisa Diaz lihat mata Seyra yang berkaca-kaca siap untuk menangis. Sepertinya gadis itu tidak siap untuk bertemu mantannya. "Gue gak mau sama Cakra Diaz! Gue maunya sama Lo!"

Diaz memutar bola matanya, "Gue yang gak mau sama Lo bangsat!"

Dengan cepat Diaz meninggalkan gadis itu. Ia benar-benar tidak perduli pada cinta pertamanya itu. Cinta masa kecilnya. Gadis yang dulu ia perjuangkan malah memilih sahabatnya. Jika ia tak datang kesini hari ini, mungkin ia sudah melupakan Seyra sejak lama.

"Gue sayang sama Lo Diaz! Gue bales perasaan Lo sekarang tapi kenapa, kenapa Lo tega sama gue!"

Teriakan gadis itu bak tidak ada artinya. Diaz sudah meninggalkannya sedari tadi. Tak ada yang bisa gadis itu harapkan sekarang. Tak lama suara berisik dari motor menyadarkannya. matanya mendongkak dan bertatapan dengan sang pemilik motor. Cukup lama sebelum gadis itu tersadar tengah bertatapan dengan siapa.

"Udah teriak-teriaknya nanti suara Lo abis. Sekarang cepet naik!" Perintah pria itu cepat.

*******

Diaz kelimpungan. Ia tak dapat menemukan Alisha dimanapun. gadis itu hilang bak ditelan bumi. Ia hanya sedikit terlambat dan tak dapat menemukan gadis itu dimanapun. Pria itu hanya mendapatkan informasi bahwa alisha tidak masuk hari ini.

Ais, tidak seru sekali pikirnya.

Otaknya memutar cara agar dapat menemukan gadis itu. Atau ia harus mendatangi rumahnya? Atau bagaimana, hari ini ia seperti orang gila yang kehilangan mainannya. Alisha itu seperti narkoba, terlalu candu jika mencoba hanya sesekali.

Diaz terkekeh sinis kala mendapati faraz yang menarik zevan untuk mereka introgasi. Seingatnya zevan itu satu-satunya teman yang masih mau dekat dengan alisha. jadi bertanya pada pria itu cukup menguntungkan.

"Nggak perlu gue kasih tau, Lo cukup paham kan maksud gue apa?" Tanya Diaz singkat. Tangannya mengambil rokok dan menyalakan pemantik di ujung rokok itu.

Zevan itu menatapnya datar. " Kalo gue tau juga gua akan kasih tau Lo!"

Diaz menatap dingin faraz yang tadinya hendak bergerak memukul zevan. Ia tak mau alisha memakinya nanti ketika mendapati wajah penuh luka zevan.

"Gue ada perlu sama dia," ucap Diaz mencoba bersabar.

"Lo ga punya hubungan gelap sama alisha kan, ga perlu Lo tutup-tutupi juga dia ada dimana."

Zevan terkekeh mendengar jawabannya. Sedangkan Diaz berfikir keras alasan apa yang membuat pria kurus itu tertawa, "Kalo gue punya hubungan apapun sama dia juga Lo gaperlu tau,"

"Gue rasa nggak. " Jawab Diaz cepat. "Soalnya Lo ga pernah perduli apa yang gue buat sama cewek itu, kepedulian Lo ga lebih dari seorang teman. Gue bener?"

Pria itu terdiam sebentar sebelum menjawab. Ia rasa Diaz harus diberi sedikit pelajaran. " Lo terlalu yakin dengan pernyataan Lo Diaz."

"Kalo tiba-tiba gue suka dia gimana?"

Bugh

Zevan tak dapat menghindari pukulan yang tiba-tiba menghantam rahangnya. Sudut bibirnya sedikit berdarah menandakan betapa kerasnya pukulan itu. Tapi reaksi Diaz yang agak kaget membuatnya cukup puas, ia rasa pukulan ini tak seberapa dibandingkan reaksi pria itu.

"Muak gue liat Lo ya anjing! " Teriak faraz. Ia rasa sudah terlalu baik membiarkan zevan berbicara yang tidak-tidak.

Bukannya marah zevan malah terkekeh, "gak liat gue berhasil bikin sahabat Lo gila?

Faraz siap untuk memukulnya lagi namun Diaz menahannya. mereka sama-sama terpaku pada satu motor yang memasuki area kampus. Mereka kenal itu motor siapa. Ada sepasang lawan jenis yang sedang jadi bahan perbincangan saat ini. Pria itu memang dikenal sukar bergonta-ganti pasangan tapi dengan syarat, ia tak mengizinkan gadis manapun menduduki motornya. Hari ini pria itu melanggarnya.

Faraz merasakan mungkin penglihatannya salah. Tapi setelah laki-laki itu membuka penutup helmnya faraz langsung bergumam, "Cakra?"

*******

Diaz mengemudikan motornya dengan cepat. Membelah jalan dengan gesit, pria itu tak suka balapan. Hanya saja pikirannya sedang kacau saat ini. Hingga ia tak punya arah akan kemana.

Laju motor itu sedikit pelan kala mendapati gadis yang sangat ia kenali sedang berdiri didekat apotik dan sedang menebus sesuatu. Ia tau wanita itu dan tidak mungkin ia salah lihat. Gadis itu, orang yang membuat kepalanya hampir pecah hari ini.

Saat mendapati Alisha tengah menyebrang jalan Diaz mengikutinya dari belakang. Pikirannya berkelana, apa yang sedang wanita itu tebus diapotik. Seingatnya terakhir kali bertemu mereka bertengkar dan alisha masih sehat-sehat saja.

Tidak mungkin kan wanita itu sakit lalu berkeliaran membeli obat seorang diri?

Melihat dari wajah alisha yang sedikit pucat memberatkan pertanyaannya. Apa benar gadis itu sedang sakit?

Kecepatan motornya ia tekan agak cepat. Ketika hampir bersampingan dengan alisha ia dengan sengaja menabrak kubungan air yang berada tepat disebelah gadis itu. Setelah melakukannya dengan cepat ia lakukan motornya untuk meninggalkan gadis itu.

"DIAZ!" Hei ia bisa mendengarkan teriakan gadis itu dari dalam penutup helmnya.


#gatau next kapan, tante..

Sorry LiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang