lima

2K 88 25
                                    

Makan malam dimulai. Didalam ruangan besar itu hanya terdapat beberapa maid dan satu wanita paruh baya beserta kedua putra-putrinya. sang ibu memakan dengan tenang makanan yang tersaji dihadapannya, sedangkan alisha harus memasukkan asupan kemulutnya dengan hati-hati.

Sedari tadi, tatapan Aska tak pernah terlepas darinya. Bukan hal seperti ini tak pernah disadari. Tapi karna sudah terlalu sering. Mereka sudah menanggap hal ini biasa. Mereka dua kakak-adik yang saling menyayangi.

"Makan makananmu dengan tenang, Alisha." Ucapnya ketika adiknya makan terlalu terburu-buru.

Alisha gugup. Bibirnya tak mampu memberikan jawaban apapun, hingga ia hanya bisa terdiam merenung.

Aska mencengkeram garpu yang sedari tadi ia genggam dengan kuat. Sorot matanya menatap gadis itu remeh, "mulut kotormu tidak bisa menelan makanan mahal dengan baik ya?"

Pria itu mengangguk. "Ah, aku lupa. Kau terbisa makan makanan sampah yang kau pungut dijalanan dulu."

Scarletta memegang bahu putranya-untuk sekiranya menghentikan Aska yang terus-terusan mengolok-ngolok putri semata wayangnya. Ia tak pernah peduli dimanapun alisha berasal. Alisha tetaplah putrinya.
Namun, kata orang ada benarnya. Ia tak pernah dengan benar membela alisha, karna Aska tetap anak kandungnya.

"Kau bahkan tak mengenal ayah ibumu. Bagaimana kau bisa berfikir layak untuk menjadi bagian dari keluarga ini, Al?"

"Aska, " ujar sang ibu menegur.

"Masih ingin membelanya? " Tanya Aska dingin. Ia sangat tau sang ibu sangat berpihak kepadanya. Apapun kesalahannya, ibunya tetap akan menyayanginya. Ia terkekeh sinis kala-sang ibu hanya menatap iba padanya.

"Ibu masih ingin membela anak sampah ini lagi? " Ucapnya sekali lagi.

"Kak-,"

Aska menatapnya tajam. "Diam, aku tidak memintamu untuk berbicara."

"Jika ibu terus membelanya, dia akan jadi gadis manja yang akan menyusahkan kita. Lihat, bahkan dia sudah berani pulang malam. Lalu selanjutnya apa?"

Scarletta menggeleng. Merasa muak dengan tuduhan anak laki-lakinya itu. "Aska. Jangan terlalu kasar, kau membebani Alisha. Ibu tau, Alisha giat belajar jadi-,"

"Belajar jadi simpanan orang maksudmu?"

Alisha menggenggam kedua tangannya erat. "Kakak bisa menghinaku semaumu, tapi berhenti menghina ibu. Tidak semua yang kakak katakan itu benar."

Aska terkekeh, "lihat, malaikat dari tempat sampah sedang membelamu ibu."

Scarletta diam. Telinganya seakan tuli dengan semua makian yang putra sematawayangnya itu berikan. Ia tak perlu tanggapan apapun. Dosa dan masa lalunya ada miliknya, murni kesalahan. Maka dibenci seumur hiduppun itu sudah harus menjadi resikonya.

Dulu-baginya membuat Aska bahagia dengan semua harta benda adalah kebahagiaan, bahkan jika uangnya berasal dari hal haram sekalipun.

Ia berdiri. Hatinya berdenyut nyeri dengan kata-kata Aska, sudah. Ia tak sanggup lagi. "Besok malam adalah hari ulangtahun mu Aska, ingat ibu tidak menginginkan keributan selanjutnya. Ibu berharap kalian bisa akur, tidak perduli kalian harus bersikap palsu didepan semua orang. Kalian mengerti?"

Tanpa melihat respon kedua anaknya. Scarletta mengundurkan diri untuk segera masuk ke dalam kamarnya. Besok malam adalah hari bahagia, jadi ia tidak perlu memikirkan hal-hal menyakitkan malam ini.

**********

Acara malam dimulai. Diberbagai sisi dipenuhi dengan berbagai pasang manusia. Berbagai pasangan lawan jenis itu berdansa dengan pasangannya masing-masing. Pesta ini tak terlihat formal, semua orang berpakaian sesukanya.

Aska, pria berusia dua puluh tiga tahun itu menatap hampa pandangan kedepannya. Ada beberapa gadis yang merayunya tapi semua tampak membosankan. Berbeda dengan gadis itu. Gadis yang sampai sekarang belum keluar dari pintu kamarnya.

Memikirkan gadis itu membuat pikirannya gusar. Aska mengacak kasar rambutnya. Alisha. Alisha. Alisha. Mengapa yang ada dipikirannya hanya gadis sialan itu. Sial sekali memang, tidak ada yg gadis itu lakukan tapi bisa mengacaukan pikirannya. Bahkan sedari dulu.

"Aska," panggil seorang gadis anggun yang sangat ia kenali. Anastasia. Putri cantik dari rekan bisnisnya yang kini menyandang gelar sebagai kekasihnya selama dua tahun.

Sangat cantik, tidak ada yang berani menolak gadis ini. Anastasia menyatakan perasaannya tepat dua tahun lalu. Ia tak pernah tertarik, berencana untuk menolak gadis ini secara baik-baik, tapi setelah matang ia pikirkan. Gadis ini bisa jadi alasan ia untuk terus membenci Alisha. atau bahkan melupakan adik cantiknya itu. Ia tak perduli jika harus memanfaatkan gadis sebaik kekasihnya.

Tapi nyatanya setan dalam dirinya bahkan jauh lebih dominan. Pikiran gilanya tak pernah terlepas dari alisha bahkan sedetikpun. Ia membenci gadis itu, sangat.

Anastasia memegang pelan lengan tangannya. Mencoba untuk menarik gelas beer yang sedari tadi diminum kekasihnya. Acara bahkan belum dimulai tapi Aska sudah terlihat sangat mabuk. "Kau harus berhenti sayang. Semua orang sedang melihatmu. Lihat, acaranya bahkan belum dimulai, apa yang sedang kamu lakukan. Tolong berhenti."

Aska terkekeh pelan, menepis kasar tangan Anastasia yang mengganggu kesenangan. Hanya dengan cara ini ia bisa mengeluarkan bayang-bayang adik kecilnya dalam otak tidak warasnya.

Gadis itu menatap Aska tidak percaya. "Aku bilang cukup-,"

"Stt-, kau sangat menggangu. Berhenti sebelum aku menyeretmu keluar dari pesta sialan ini."

Gadis itu menakup kedua pipinya seraya menyadarkannya. "Hei, lihat aku kekasihmu, aku baru saja datang. Mengapa kau malah mau mengusirku keluar, kau bahkan menolak menjemputku." Ucapnya seraya merajuk.

Aska terkekeh sinis, gadis bodoh. Dua tahun dimanfaatkan sama sekali belum sadar. Baginya Anastasia sangat cantik tapi tidak jauh lebih menarik dari Alisha. Alisha itu seperti nikotin baginya. Sial, lagi-lagi Alisha. Bocah kecil sialan itu benar-benar mengganggu akal sehatnya.

"Pergi." Ucap pria itu dingin. Tak ingin lagi mendengar celotehan gadis itu.

"Sayang kau-,"

"Aku bilang pergi!"

Anastasia tak kaget, ini bukan pertama kalinya pria itu membentaknya. Ia sudah terbiasa, baginya-aska berada disisinya saja sudah cukup. Ia tidak akan pernah perduli berapa kali Aska berkata kasar kepadanya. Hari ini, mungkin pria itu sedang dalam suasana hati yang buruk, begitu pikirnya.

Aska menarik kuat rambutnya guna menghalau pusing yang kian melanda. Ketika mendapati kekasihnya sudah pergi ia teguk kuat minumannya hingga bercecer hingga kera kemejanya.

Matanya kian menajam ketika mendapati adiknya tengah bercengkrama dengan lawan jenis. Ntah apa yang mereka katakan hatinya seakan menolak. Sesuatu dalam dirinya tiba-tiba membara.

Belum lagi ketika ia sadari jika pria itu memiliki keluarga sangat terpandang. Tersenyum aneh kearah Alisha yang berada dihadapannya. Gadis itu-sangat cantik dengan dress hitam yang sengaja ia pesankan tiga Minggu lalu. Gaun yang selama ini ia bayangkan akan melekat indah ditubuh gadisnya-pusat rotasi otaknya.

Langkahnya panjang dan cepat menemui gadis itu yang sedang membelakanginya. Nafasnya terdengar kasar-menahan gejolak hati yang kian ikut terbakar. Menyentak kuat lengan polos Alisha dari belakang, yang membuat gadis itu sontak terkaget.

"she is my sister, and there is something i want to say with her."

Pria itu menatap tajam lelaki dihadapannya, dia benar-benar memotong waktunya bersama Alisha. Terlebih, ia penasaran dengan tingkah kasar pria itu terhadap Alisha.

"Bagaimana jika aku tidak mengijinkanmu?" Ucapnya setelah pria itu bersiap membawa alisha bersamanya.

Aska menatapnya tajam. "Aku tidak butuh ijinmu." Ucapnya setelah ia menarik gadis itu kuat mengikutinya.

Pria itu menaikkan alisnya heran. Alisha, gadis itu benar-benar. Ia bisa melihat dengan jelas ketertarikan pada mata pria itu. So, bukan hanya dia yang terobsesi pada gadis murahan itu?

"Diaz! Sial aku mencarimu sedari tadi."

*Spam for next!

Sorry LiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang