dua puluh lima

451 25 0
                                    

Naina menatap benci gadis dihapannya, sedari semalam allesia berubah jadi pendiam. Bahkan disaat dirinya mencari perkara dengan gadis itu, allesia juga tidak mau memperdulikannya. Batinnya memaki gadis kecil itu. Cih, dia kira dirinya siapa.

"Sebenarnya apa yang kalian lakukan kemarin malam ?" Tanya wanita itu sangat penasaran. Meski ia sudah mengetahui jawabannya tetap dia membutuhkan jawaban dari mulut wanita itu sendiri.

Allesia diam, tidak mau berbicara.

Naina mendengus—dasar wanita sombong. Tiba-tiba sekali allesia jadi pendiam begini, dirinya geram. Rasanya ingin sekali merobek mulut gadis itu.

"Kau memiliki masalah dengan aska tapi juga mendiamiku, bukankah kemarin kau begitu cerewet. Kau bertanya ini dan itu, meski aku sebal denganmu aku masih menjawabnya. Ayolah katakan sesuatu!"

Gadis itu diam, enggan berbicara apapun. Sorot matanya kosong, bagai tak ada kehidupan disana.

Naina berpikir keras, ia mungkin perlu memancing allesia untuk membuka semuanya. "Kau tau—teman priamu datang tadi siang. Dia cukup menunggu lumayan lama tapi setelah itu dia pergi begitu saja."

Gadis itu langsung menatapnya. Benar dugaan naina, ia hanya perlu memancing kelinci kecil ini.

"Apa yang kalian bicarakan ?"

Naina menyeringai. "Katakan dulu, apa yang kau lakukan dengan aska semalam. Ayo katakan!"

Allesia menggeleng sendu. "Aku tidak ingin mengingatnya lagi."

Naina tidak terima. Sulit sekali membuat gadis ini berbicara, padahal ia hanya ingin tau. Meski kemungkinan besarnya akan membuatnya kecewa tapi tetap dirinya penasaran sekali.

"Meski aku tau, aku tetap akan bertanya. Dari mulutmu sendiri aku ingin mengetahuinya. Yang kalian lakukan—apa lebih dari ciuman ?"

Allesia berdiri, tak mau menanggapi. Sudah ia bilang dirinya benci harus mengingatnya lagi. Tapi kenapa naina seakan tidak perduli, perasaannya sedang hancur. Mengapa naina masih tetap tak perduli.

"Kau mau kemana ?"

Gadis itu memperjauh jarak mereka—berjalan menjauhi naina. Karna menurutnya pembicaraan ini sangat tidak penting.

"Apa kau tidur dengannya ?"

Langkah allesia terhenti, berbalik kehadapannya. Menatap naina dengan sorot mata yang sangat dingin. "Bukan urusanmu." Katanya cepat.

Naina tersenyum hambar. "Ternyata benar dugaanku. Kau memang gadis bodoh, masih mau dengan bekasku ?"

Gadis itu menatap heran kearahnya. Ucapan naina sulit dimengerti, maksudnya apa.

"Bayi laki-laki yang kau lihat selama ini adalah anak kami. Kepunyaanku dan aska, mereka berdua milikku. " katanya cepat. "Hubungan kami hanya terhalang sebuah pernikahan, tapi kami hidup dengan bahagia. Kau—bagimana kau bisa tidur dengannya sedangkan kami saling mencintai allesia ?"

"Benarkah itu ?" Tanya allesia, sedikit tidak percaya padanya.

Meski yang dikatakan naina cukup meyakinkan. Ia cukup ingat semua yang dikatakan aska kemarin malam, sekarang ia harus berpikir untuk memilih percaya pada siapa.

"Kau tak percaya padaku, apa aska mengatakan sesuatu ?"

"Tidak." Jawab allesia cepat.

Naina tersenyum hangat. "Lalu kau tau apa yang harus kau lakukan sekarang bukan. Kau adiknya, dan dia kakakmu. Kalian jadilah saudara yang baik, jangan pernah menyentuh milik orang allesia, kau tau dia milikku bukan ?"

Gadis itu diam, tak menanggapi lagi.

"Meski mungkin dia sempat menyukaimu. Tapi kau sama sekali tidak. " ucapnya kemudian. "Temuilah teman priamu itu didermaga malam ini. Dia menunggumu disana."

Allesia menatapnya tampak tak percaya. Sulit sekali percaya pada wanita itu setelah semua yang terjadi. Namun naina menaikkan bahunya, memilih untuk tidak perduli.

"Kau bisa memilih akan menemuinya atau tidak, itu sama sekali bukan urusanku."

*************

"Kau datang." Satu senyum terbit pada wajah tampan itu. Manis sekali sampai kedua lesung pipinya terlihat.

Gadis itu tak menjawab—wajahnya terlihat sangat pucat saat terakhir kali mereka bertemu. Pada sudut bibirnya terdapat luka-luka kecil sobek, serta tubuhnya kurus sekali. Seperti bukan allesia yang dirinya kenal.

"Aku kira kau tak akan datang." Ucap diaz memandang wanita itu sendu. Ia sangat merindukan gadis ini, meski pertemuan terakhir mereka cukup membuat wanita itu jengkel.

Allesia merasakan angin malam yang meniup wajahnya—kedua tangannya menggenggam tiang dermaga itu. Diaz memandanginya dengan seksama, entah untuk keberapa kalinya ia jatuh cinta pada wanita ini.

"Ada yang ingin kau bicarakan ?"

"Aku—," ucapannya terputus kala mendapati gadis itu menitihkan air mata. Meski mulutnya tetap diam, namun air matanya tetap mengalir deras.

"Hei, ada apa denganmu. Hm? " diaz tarik sosok itu kepelukannya. Ia dekap dengan hangat—seakan tak mau kehilangan gadis ini lagi. "Tenanglah, kau bisa bicara setelah ini, Al."

Allesia memeluk diaz erat. "Aku sudah katakan untuk membawaku pergi. Tapi kau tak percaya, aku hancur diaz. Mereka membuatku hancur."

Pria itu melepaskan dekapan mereka. Mengenggam kedua lengan gadis itu, bisa ia lihat wajah itu memerah. "Kau—apa yang mereka lakukan denganmu ?"

Allesia menggeleng, enggan untuk bercerita.

Diaz mengelus rambut itu pelan. Berusaha untuk menenangkan wanitanya. "Aku berjanji, tidak akan ada yang tau. Sungguh, kau bisa pengang kata-kataku. Jadi tolong, ungkapkan semuanya."

"Kakakku—dia menodaiku, sungguh aku sudah menolak dengan keras, sungguh." Diaz tercengang, marah. kedua tangannya secara tidak sadar mencengkram lengan allesia. Ia mengatur nafasnya kemudian. "Lanjutkan. " katanya pelan.

"Aku ingin pulang bertemu ibu—tapi dia mengancamku. Hiks..., aku tidak tau lagi akan kemana. Aku tak mau hidup bersamanya."

Mata allesia berkaca-kaca. "Aku sangat membencinya. Bahkan aku baru tau jika dia sudah mempunyai anak dan mencintai wanita lain, tapi tetap melakukan itu padaku. "

"Kau cemburu dia mencintai wanita lain ?"

"Tidak." Jawab gadis itu cepat.

Diaz tertawa miris. Dia tau allesia sedang membohongi dirinya sendiri. Dirinya sangat mengenal gadisnya ini. Hatinya sakit—bagai ada ribuan batu yang menancap disana. Meski ia cukup bahagia bahwa aska menyukai wanita lain, tapi satu titik hatinya juga sakit melihat gadisnya masih mengarapkan pria lain.

Gadis itu memukul - mukul dada bidangnya kuat. "Bawa aku, kumohon. Bawa saja aku pergi dari sini. Aku sudah tidak kuat, bawa saja aku kuhomohon. Hiks...., "

Pria itu menenggelamkan allesia didekapannya lagi. Otaknya berfikir dengan keras, mungkin aska bukan orang yang mudah dirinya lumpuhkan, ia cukup tau aska itu pintar. Kepalanya memikirkan seribu cara agar bisa membawa gadis ini bersamanya.

"Persiapkan dirimu, seminggu lagi. Datanglah ketempat ini dimalam hari, jangan bicara dengan siapapun—meski itu orang kau percaya, jangan katakan apapun. Kita akan pergi dari neraka ini. "

🫐🫐

Sorry LiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang