tujuh belas

646 28 3
                                    

Deru laju mobil itu membelah jalanan—seakan juga menggambarkan hati sang pengendara yang sedang tidak sabaran. Aska—pria itu membawa mobilnya secara ugal-ugalan. Bibirnya terus menggerutu kalimat-kalimat makian. Seakan dunia juga harus tau jika dirinya sedang gusar.

Mencari dan terus mencari, namun entah sudah berapa jam ia memutar jalanan tapi tetap tidak menemukan orang yang sudah membuatnya sepanik ini. Kabur, ia tak yakin dengan itu. Allesia mungkin akan berfikir dua kali untuk melakukan hal yang sama. Dan jika mungkin itu terjadi, dirinya tidak akan segan membakar panti asuhan gadis itu, sungguh.

Miris sekali, kepalanya tiba-tiba panas mendadak.

Ingin sekali ia menyeret gadis itu dengan kedua tangannya.

Jam sudah menununjukkan pukul sepuluh malam tapi ia belum juga mendapatkan kabar kepulangan wanita itu. Berani sekali. Hanya karna keinginannya tidur dengan gadis itu semalaman, sekarang dia pergi entah kemana. Sungguh sial sekali hari ini.

Takdir sial, dan wanita sialan. Tunggu sampai dirinya menemukan gadis itu.

Namun, beberapa meter dari hadapannya-terlihat satu mobil yang berkendara dengan laju yang lumayan rendah. Ia familiar dengan kendaraan itu, dan tiba-tiba hati nya yakin. Dengan cepat ia mempercepat laju kendaraannya. Hingga sepersekian menit kemudian mobilnya menabrak kendaraan didepannya. Hantaman kedua mobil itu terdengar lumayan keras.

Dan yang ia tunggu telah tiba, keluar sosok laki-laki dari kendaraan itu. Dengan kasar ia melepaskan seatbelt dan keluar dari mobilnya.

Tubuh jangkung itu saling berhadapan. Sorot tajam yang mereka pancarkan dari keduanya—menandakan tidak ada yang mungkin mengalah. Belum ada yang berbicara, bahkan mereka tidak perduli dengan keadaan mobil mereka masing-masing.

Diaz menarik keras dasi dilehernya dan kemudian melilit tangan tangannya yang sedikit sobek karna benturan tadi. "Dilihat- lihat kau cukup waras untuk berkendara. Tentu kau bukan orang bodoh yang menabrak orang tanpa alasan. Apa maumu?"

Aska melirik pelan kearah mobil diaz. "Kau cukup pintar untuk menebak. Apa kau menyembunyikan seorang gadis disana?"

"Bukan urusanmu." Jawab pria itu tegas.

"Jalanan ini cukup ramai, tidak masalah bagiku untuk menyeretnya dan menjadi tontonan orang-orang. Atau bahkan—melebihi itu, emosiku bisa mengantarkan niatku untuk melemparnya ke kendaraan-kendaraan yang sedang melewati kita."

Aska menatap pria itu dingin, "mengantarkannya secara sukarela atau menyeretnya dengan paksa ada ditanganmu. Aku cukup pintar untuk tau kau membawa adikku seharian ini."

Diaz tersentak, pantas saja ia sedikit familiar dengan pria dihadapannya. Ternyata benar, pria ini adalah orang yang pernah bersama allesia di pesta itu. Dan berarti hubungan mereka tak lebih dari saudara. Tapi kenapa dimalam itu mereka berciuman, atau ia yang salah lihat-rasanya tidak mungkin.

"Aku menunggu, atau harus memukulmu terlebih dahulu? "

Diaz menatap aska tajam, "aku yang akan memukulmu terlebih dahulu, sialan!"

Bugh!

Satu pukulan yang berhasil diaz lancarkan membuat aska cukup bergerak dari tempatnya. "Kau melecehkan adikmu sendiri bajingan! Sudah gila kau!"

Brakhh!

Tangan diaz terangkat untuk memukul lagi. Namun kalah cepat dengan tendangan yang kini sudah bersemayam diperutnya. Cukup sakit, pria itu kuat juga.

Aska berjongkok untuk menyamakan kedudukan mereka. Menatap remeh kearah diaz. "Bahkan jika aku memperkosanya, itu masih bukan urusanmu. Bocah!"

Diaz menggeram, "bahkan manusia berpendidikan tinggi sepertimu memiliki pemikiran tidak waras. Pantas saja gadis itu sering murung-ternyata dia tinggal bersama dengan seorang bajingan."

Masih dengan posisi yang sama, aska terkekeh sinis. "Haruskah aku membacakan berapa tingkah laku bejatmu agar kau berkaca, diaz. Selain memperhatikan allesia aku juga memperhatikanmu. Bajingan kecil yang suka mengerjai adikku di sekolah. Apa kau masih perlu berkaca?"

Diaz membuang wajahnya kesamping.

Aska melirik kaca mobil dihapannya dan menatap diaz miris, "dan lihatlah, apa dia perduli padamu. Gadis itu bahkan tidak perduli jika aku membunuhmu, sekarang. Cintamu tak terbalas diaz, lupakanlah adikku."

Diaz tertawa remeh. "Lalu dengan siapa allesia akan jatuh cinta, denganmu? Miris sekali, kau bahkan lebih gila dari aku. Jangan lupakan status yang menjerat kalian berdua."

Pria itu menatapnya dengan dingin, tak mengganggap bahwa yang dikatakan diaz tadi adalah kebenaran. "Katakan kepada gadis itu untuk pulang tiga puluh menit dari sekarang. Dan jika lewat satu menit saja, aku pastikan-kau tidak akan pernah bertemu wanita itu dimanapun. Ncamkan itu!"

Dengan sigap aska menarik diri. Meski dirinya terpaksa harus pulang dengan tangan kosong. Ia pastikan, malam ini allesia pulang dengan sendirinya. Dan ia pastikan tidak akan kecolongan seperti ini lagi. Dan lihat apa yang akan ia buat pada tubuh ringkih itu, sungguh ia ingin menghancurkan tubuh itu dengan satu cengkaram rasanya. Lihat saja.

********

12:28 namun masih belum menunjukkan tanda-tanda kedatangan sosok gadis kecil yang ditunggunya. Sungguh, entah sudah botal vodka keberapa yang ia habiskan malam ini saja. Kegilaan mulai terparkir dalam kepalanya. Bibirnya terkekeh, berani sekali allesia seperti ini padanya.

Aska melirik jam sekali lagi, memeastikan. Angka sudah terlihat pukul 12:30 tapi wanita itu belum pulang juga. Sekali lagi—ia memimum gelas vodka terakhirnya, untuk benar-benar memastikan pikirannya yang sudah tidak waras.

12:31 dengan cepat ia menarik jacket hitam disampingnya. Kali ini ia akan menyeret wanita itu dengan tangannya sendiri. Sungguh ia sudah sangat kelimpungan, kepalanya berdenyut sakit berkal-kali. Hingga-sebelum itu pintu utama terbuka dan muncullah sosok gadis yang menatapnya takut-takut.

Aska menarik gelas minumannya, dan berjalan beberapa langkah ke arah gadis itu dan...

Pranggg

Gelas itu hancur berkeping-keping tepat disamping wajah gadis itu yang langsung menegang ketakutan. Sedih dan syok—matanya mengalir air mata.

Aska berjalan cepat, bertemu dengan allesia benar-benar melumpuhkan otak warasnya. Dengan satu tangannya ia mencengkram leher gadis itu, dan tangannya yang lain ia gunakan untuk menahan kedua tangan allesia yang memberontak. Kesulitan bernafas wajah wanita itu memerah.

Kakaknya menatapnya marah, "aku bisa saja melemparkan gelas tadi ke wajahmu jika kau melakukan ini lagi wanita sialan. Senang sekali hari mu pergi tanpa tau aturanku, sudah muak hidup?"

"Tidak kak hikss..," derunya masih kesulihan bernafas.

"Dasar wanita liar! Aku tidak menghidupimu untuk menjadi pelacur allesia!"

Allesia menggeleng, menolak.

Aska terkekeh menyeringai. "Kau bangga terlahir dengan wajah cantik dan menarik beberapa pria hah! Sudah kukatakan jangan jadi gadis binal, sial. Rasanya aku ingin mematahkan lehermu sekarang juga."

Pria itu melepaskan cekikannya pada leher adiknya. Membuat tubuh allesia yang tadinya berdiri luruh seketika, meraup nafas sebanyak-banyaknya.

Allesia menatap aska datar. "Kenapa kau tidak bunuh aku saja kakak, aku sudah lelah hidup. Sungguh."

"Kau mau mati? " aska berjongkok untuk memposisikan sama dengan wanita itu, "bagimana kau bisa mati tanpa berbalas budi, menurutmu menarikmu dari tempat kumuh itu dan membesarkanmu seperti sekarang adalah ke ikslasan, allesia itu munafik."

Allesia menatap kakaknya sendu tanpa bisa berkata lagi.

"Apa maumu kakak?"

Aska menatapnya dingin.

Gadis itu menangis, "belum cukup kah? Belum cukup membuatku hancur. " gadis itu tersedu, "aku bahkan tak tau kapan aku dilahirkan, siapa ibuku, siapa ayahku. Aku sudah cukup hancur kakak."

Aska menatapnya datar. "Aku hanya perlu membalasmu, sampai kau tau tidak ada yang menyayangimu didunia ini. Allesia, aku tak ingin takdir hanya kejam padaku, tapi juga padamu."

Dengan langkah tegap ia berdiri dan meninggalkan gadis itu. Tanpa mau memandang sosok itu lebih lama, sungguh ia takut pertahanannya runtuh.

🍋🍋🌰

Sorry LiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang