Laki-laki itu mengecek jam tangannya berkali-kali, bahinya berkeringat—sesekali wajahnya terlihat sangat panik. "Berapa lama lagi waktu yang dia butuhkan. " katanya menggerutu, kakinya bergerak memutari pintu kamar itu berkali-kali.
Tadi pagi tiba-tiba allesia tidak sadarkan diri. Wanita itu jadi sangat pendiam sejak pertengkaran mereka satu bulan yang lalu. Diaz bahkan sudah tak mengingatnya, tapi allesia berubah seperti bukan dirinya yang dahulu lagi. Hubungan mereka bisa dikatakan sedang mempunyai jarak.
Sedikit tidak sabar—tangannya naik, akan mengetuk pintu. Namun, sebelum itu-tampak satu pria berseragam putih keluar dari ruangan itu lalu menutupnya kembali. Melihat wajah panik itu, Laki-laki itu terseyum simpul, tuan-nya sedikit tidak sabar kali ini.
"Bisa kita bicara diluar tuan ?"
"Disini saja." Tekannya kuat. Laki-laki itu melihat kesekitar, hanya ada mereka. Tidak ada siapapun, batinnya berkecamuk, rasa ragu-ragu mulai menanggapi sebagian dadanya.
Dokter itu sedikit bingung-dia adalah dokter pribadi dari keluarga ini. Dan baru kali ini dia mendapati tuannya sampai berbicara sedingin itu padanya. "Ini cukup penting, mengenai kesehatan nona, aku hanya tidak ingin ada yang mendengarkan selain kita, tuan."
"Tidak perlu sampai berbicara diruang tunggu. Penting ataupun tidak, aku ingin disini, lagipula tidak ada siapapun. Ini masalah keluargaku, hanya aku yang memutuskan orang lain bisa dengar atau tidak." Sorot mata itu tajam-menandakan adanya intimidasi didalam kalimatnya, tidak ingin dibantah.
Arya meneguk ludahnya payah, baru kali ini tuan mudanya sampai berbicara sekasar ini pada dia—yang bahkan sudah seumur ayahnya. "Nona hamil tuan." Akhirnya dengan lega dia dapat mengatakan itu.
"Usia kandungannya sudah berjalan empat minggu. Selamat, kau akan menjadi ayah, lagi. Bayinya sehat, hanya saja ibunya terlalu kelelahan, terlalu beraktivitas. Aku sudah berikan vitamin untuk—," ucapannya terputus kala mendapati tatapan dingin diaz. Batinnya gusar, apa dia sudah salah bicara, atau mungkin laki-laki itu tidak senang dengan berita kehamilan istrinya.
"Tuan ?" Tanya arya bingung.
Laki-laki itu menarik nafasnya kasar. "Apa kau sudah yakin, aku tidak akan pernah memaafkanmu jika kau tidak melakukannya dengan benar. kau tau konsekwensinya bukan ?"
Arya menyengit bingung, baru kali ini diagnosanya dipertanyakan. "Aku bisa mempertaruhkan profesiku jika salah. Kau bisa bawa nona kerumah sakit terdekat untuk pengecekan selanjutnya." Sedikit menarik ranselnya—dia pergi, cukup tersinggung dengan kalimat tuannya.
Laki-laki itu membuka pintu secara kasar—dapat ia lihat, allesia terduduk diranjang kamarnya, sadar dan sangat pucat sekali. Tidak ada tanda-tanda kehidupan disana. Gadis itu menoleh kearahnya dengan tatapan luka, mata itu berkaca-kaca. Ini yang dulu dia dapati ketika allesia tau untuk pertama kali dia hamil sierra, yang dengan sangat jelas dapat ia pastikan dirinya bukanlah ayah dari bocah cantik itu.
Tubuhnya merosot kebawah, meratapi nasibnya. Isakan mulai keluar dari bibir kecilnya, hal yang dulu juga pernah dia rasakan sebelumnya terjadi lagi. Allesia nyaris mengancurkan hatinya, dua kali. Ketulusannya selama ini, dan badai yang mereka hadapi tidak ada henti-hentinya. Rasanya sulit sekali memiliki wanita itu—untuk dirinya sendiri.
Diaz menarik wajahnya, mendongkak, manatap gadis itu dengan wajah merahnya-wajah itu sudah dibasahi oleh air mata. "Kau hamil allesia—usianya empat minggu." Ucapnya tersedu. "Kau hamil sejak kau pergi satu bulan yang lalu. Aku—aku tidak pernah menyentuhmu, untuk berciuman saja kau menolakku. Tapi lihatlah sekarang kau hamil, aku harus bagaimana.."
Gadis itu diam, air mata terus turun membanjiri pipinya, hari itu selain pertengkarannya dengan aska dia tak ingat apapun.
"Allesia, kau tidur dengannya ?"
Gadis itu menggeleng, entah tanda tidak melakukan atau tidak ingat sama sekali. Wanita itu belum mau berbicara padanya—sedangkan kepalanya sudah diisi dengan banyak keburukan sedari tadi. Sedikit bangkit—dia berdiri, langkah pelannya membawa dirinya kehadapan gadis itu, tangan-nya menarik rahang itu halus. Mendongkak, kemudian tatapan mereka bertemu.
"Bicaralah, aku ingin keadaan yang sebenarnya. Apa kau menginginkan kembali padanya allesia ?"
Allesia diam, tak bergerak menolak ataupun menjawab—bibir itu kerkunci rapat-rapat. Diaz menarik dirinya, tubuhnya jatuh lagi kelantai. Sakit yang dia rasakan tidak akan pernah dia bayangkan akan sampai seperti ini. Tangannya mengepal, memandang wanita itu dengan tajam. "Meski kau menginginkannya. Sampai mati, tidak akan pernah kulepaskan, kau menangis darahpun aku tidak akan perduli."
Gadis itu menatapnya sendu.
"Kau menatapku seakan-akan aku yang jahat disini. Kau—kaulah satu-satunya yang sangat salah disini allesia. Jika sedari awal kau tidak ikut pergi bersamaku, aku mungkin sudah melupakanmu." Laki-laki itu tertawa remeh, akal-nya sudah hilang entah kemana. "Kau yang memintaku untuk memulai hidup bersama. Dirimu yang menarikku keneraka ini allesia. Sampai hatiku sangat jatuh saat ini, semua karnamu."
Diaz tersenyum sinis, tangannya mengapus air mata yang sesekali membahasi wajahnya. "Kau menjanjikanku sebuah keluarga atau neraka, allesia. Mengapa sampai sesakit ini." Dia memukul dadanya berkali-kali.
"Biarkan aku pergi, aku tidak mau membebanimu lagi." Tiba-tiba wanita itu berbicara.
Laki-laki itu terkekeh, mudah sekali wanita itu berbicara. Seakan semua yang dia lakukan selama ini hanya terbuang sia-sia saja. Bodohnya dia mencintai wanita itu dengan semua hatinya—tanpa pernah memikirkan allesia mencintainya atau tidak.
"Setelah semuanya ? " diaz berdiri, tidak ada gunanya dia berlemah lembut pada gadis ini, wanita yang sudah menghancurkannya. "Kau ingin meninggalkanku dan kembali padanya. Begitu, bukankah selama ini aku bersikap baik. Atau aku pernah menyakitimu, allesia ?"
Diaz mencengkram wajah itu kasar—allesia diam tidak berontak, tatapannya kosong. "Aku bahkan merawat putrimu dengan dia dengan sepenuh hatiku—aku memberikannya cinta dan kehidupan yang layak. Tapi apa kau pernah memikirkan semua yang kulakukan. Kau—hanya memikirkan cintamu pada laki-laki bajikan itu saja, sialan." Ucapnya setengah berteriak. "Kau dengan dia memang sama-sama memiliki penyimpangan brengsek."
"Aku tidak pernah mengatakan kalau aku mencintainya."
Diaz menatapnya tajam. "Berhenti membohongi dirimu sendiri, kau bahkan akan memiliki dua anak dengan dia—perlu bukti apalagi ?"
Allesia berbuang wajahnya kesamping, wajah itu penuh tatapan luka, dia tak sanggup menatapnya lagi.
"Kau tidak akan pernah kembali padanya meski kau juga menginginkannya." Dapat dia dengar isakan pelan allesia, biar dirinya dikatakan egois. Dia tidak mau mengerti sama sekali. "Aku mencintaimu, dan kau tidak akan pergi bersama siapapun kecuali denganku."
Laki-laki itu menatap allesia sendu. "Allesia, aku sudah memutuskan." Katanya pelan. "Aku juga akan menerima anak ini seperti aku menerima sierra dulu, aku akan menjadi ayahnya. Tidak akan ada yang berubah, aku sangat mencintaimu."
Gadis itu menggeleng dalam pelukannya, tidak dia tanggapi. "Kita pasti akan menikah setelah anak ini lahir—sebelum itu tidak perlu bertemu siapapun, aku akan menjagamu."
Diaz menarik dirinya, ada tatapan luka disana. Tidak kuat memandang allesia lagi ia mengecup kening itu lama. Lalu segera bergerak pergi dari sana.
Maaf ya lama ga update☺️🌸
KAMU SEDANG MEMBACA
Sorry Lia
Novela Juvenil"Kehidupan seperti apa yang kau bayangkan allesia? " - Zaleon Aska Raymond -