dua puluh tujuh

444 26 1
                                    

Tangan itu bergerak mengancing kemejanya satu persatu. Diliriknya adik cantiknya itu sesekali, sudut bibirnya tertarik. Tertawa bahagia untuk kehancuran wanita itu. Allesia tengah duduk diranjangnya, dengan kemeja putih kebesaran miliknya semalam. Gadis itu cantik dengan apapun. Dengan wajah berantakan sekalipun—diwajahnya masih terlihat bekas tamparan aska semalam, serta bekas tangisan wanita itu semalam.

"Kau—tidak ingin pergi dari kamar ini ?"

Dilihatnya allesia tak perduli, memilih untuk memandang keluar jendela.

"Apa aku perlu mengatakannya sekali lagi, tiba-tiba sekali kau jadi bisu hm ?"

"Ini kamarku, kau yang masuk ke kamarku." Nada itu terdengar sangat dingin. Arah matanya enggan memandang aska.

Aska tertawa sinis—merasa apa yang dikatakan gadis itu sangat lucu. Karna karna beberapa hari ini ia lembut allesia dapat melakukan ini padanya. Berkata sesukanya, tidak sopan. Oh, dia merindukan adiknya yang penurut.

"Kau merasa sangat tinggi saat kukatakan aku mencintaimu. Mengapa jadi angkuh seperti ini huh, apa kau tidak ingat—bahkan kau menumpang dirumahku. Apapun yang ada disini milikku, termasuk kamar ini."

Allesia menatapnya dingin. "Kalau begitu biarkan aku pergi."

"Diam—apa aku mengijinkanmu berbicara ?"

Gadis itu tertawa miris, selalu seperti ini. Jika memang aska keberatan untuk menghidupinya ia juga tak mau hidup dengan pria itu. Dari seluruh keluarga didunia ini, kenapa aska yang menjadi kakaknya, sungguh kesialan bagi gadis itu.

Aska berjalan pelan kearahnya—menatapnya dengan sangat lembut, jemarinya mengelus bibir itu pelan. "Kau berubah sekali, meski aku tetap sangat menyukaimu tapi aku juga merindukan kau yang penurut dulu."

Allesia menarik tangan itu dari bibirnya. Sangat enggan untuk disentuh kakaknya. "Ingat batasanmu, aku masih adikmu."

"Kau bahkan tak memanggilku dengan sebutan kakak lagi. Apa kau masih bisa mengatakan itu sejak malam yang telah kita habiskan bersama ?"

"Itu keinginanmu, aku tak menginginkan itu sama sekali. "Ujar gadis itu dingin.

Aska memilih untuk tidak menjawabnya. Meski dirinya sendiri tau dia memaksa allesia, tetap yang ada diotaknya bahwa mereka saling mencintai. Mau allesia mengatakan apapun ia tak akan perduli. Sampai mati, gadis itu miliknya.

Aska menunduk untuk melihat wajah cantik itu lebih dekat. "Aku akan pergi sekarang dengan naina, tidak akan lama. Aku akan melihat rumah baru kita, kemungkinan sore hari baru akan kembali."

Meski allesia sungguh tak perduli—tapi hatinya cukup bertanya-tanya. Rumah itu ditinggali untuk mereka berdua, tapi aska malah membawa naina kesana untuk pertama kali. Benar kata wanita itu, dia hanya akan mendapat bekas naina saja.

"Aku tidak ingin pindah, aku ingin disini saja."

"Tempat ini cukup mudah dijangkau pria itu, bahkan kau masih punya kesempatan untuk kabur lagi. Aku—tak ingin hal yang tidak kuinginkan terjadi, bila mungkin aku tak memikirkan kewarasanmu, mungkin sudah ada rantai dikedua kakimu itu sekarang."

Allesia membuang wajahnya kesamping—tak ingin melihat aska.

"Kau jaga dirimu baik-baik, tunggu aku kembali. Aku mencintaimu." Aska mengecup bibir itu pelan. Dia cukup senang saat allesia tak berontak lagi.

"Kau—jangan cemburu, aku dan naina tidak ada apa-apa. "

Allesia mendengus sebal, memangnya dirinya perduli. Persetan dengan semua itu, ia menginginkan cara tercepat untuk pergi dari neraka ini. Terserah aska mau bicara sampai mulutnya berbuih, dirinya tak perduli sama sekali.

Ketika dilihatnya aska mulai tak terlihat dan menutup pintu. Dapat ia dengar pintu itu terkunci, sungguh sialan sekali. Masih berniat kabur aska sudah menguburkan niatnya itu dalam-dalam. Setan satu itu bahkan tak membiarkannnya bernafas sedikit saja.

*************

"Sudah yakin ?" tangan diaz merengkuh pundak itu dengan yakin. Tangan satunya lagi menarik koper, tujuan mereka adalah bandara. Mereka memilih untuk hidup yang baru, dan meninggalkan seluruh kesakitan dinegara ini.

Allesia menarik kepala hoodienya, rambutnya tertutupi dengan baik. Diaz sudah mengurus ini jauh-jauh hari. Jelas dia tidak boleh mundur, ia bahkan sudah siap dengan segala kemungkinan terburuk nanti. Jika mereka berhasil itu akan berjalan dengan baik, namun jika mereka gagal sudah dipastikan aska akan membunuh mereka berdua.

Diaz menggenggam paspor itu kuat—dirinya tau allesia ragu. Meski dirinya juga sangat mencintai gadis ini, dan ini cukup menguntungkan dirinya. Tapi tetap ia tak akan memaksa allesia jika gadis itu tak lagi menginginkannya.

"Kau berubah pikiran ? Kita bisa kembali jika kau mau, ini belum terlamba—," ucapan itu terputus kala allesia menatapnya sendu. "Dia akan membunuh kita jika kita kembali sekarang, aku sungguh tidak ingin kembali. Sudah cukup, aku tak ingin bertemu dengannya lagi."

"Kau yakin ?"

"Hm, sangat yakin."

"Kau tau—setelah kita pergi kita tidak akan kembali, mungkin kau tidak akan melihatnya lagi. Apa kau sudah yakin, perasaanmu padanya tidak pernah ada ?"

Allesia menatap diaz penuh haru. "Aku menyayanginya sebagai kakak-ku"

Diaz menarik tubuh itu kepelukannya—meski mungkin ia pun harus membohongi dirinya sendiri. Ini mungkin kebohongan allesia yang paling disukai olehnya, meski begitu dirinya sangat yakin setelah ini allesia akan jatuh cinta padanya. Mereka akan mulai kisah yang baru.

Pria itu menatap allesia sendu. Gadis ini telah meninggalkan semuanya. Kenangannya bersama aska, tempat lahirnya, ibunya dan seluruh keindahan dinegara ini. Ia berjanji akan membuat wanita ini bahagia, tanpa harus mengingat kennagan buruk itu lagi bersama aska.

"Kemana kita akan pergi ?" Tanya allesia bingung—dia memang tak menyanyakan hal itu sedari tadi.

"Nanti kau akan tau."

Gadis itu mendengus, merasa diacuhkan. "Aku hanya ingin memastikan, aku juga ingin tau. Lagipula aku tau negara apa yang sering dia kunjungi jadi—kemungkinan dia tidak akan menemukan kita lebih besar."

"Apa kau menyesal ?"

Wanita itu diam, memilih untuk tidak menjawabnya.

"Kita bisa kembali kapanpun kau mau, dia tidak akan membunuh kita—Sungguh aku akan melindungimu kalau-kalau kau berubah pikiran."

"Hentikan pembicaraan ini."

Diaz kembali diam. Entahlah otaknya terlalu memikirkan gadis ini, ia merasa allesia cukup berat untuk kabur bersamanya. Meski disini gadis itu tak pernah bahagia, ia cukup menangkap raut penyesalan diwajah wanita itu.

"Kalau begitu kita tidak akan kembali." Ucap diaz dingin. Allesia menatapnya pelan, dapat ia lihat raut serius diwajah tampan itu. "Aku bersumpah akan tetap menahanmu disisiku kalau dia berniat merampasmu lagi. Jadi pikirkan baik-baik, jika kau memilih ikut denganku, maka tak ada lagi kesempatanmu untuk kembali."

Gadis itu kembali diam. Diamnya wanita itu diartikan lampu hijau olehnya. maka mulai saat ini. Ia nyatakan perang dengan aska. Meski harus berdarah-darah mempertahankan allesia—ia tak akan mau merelakan wanitanya. Tidak akan pernah.



🍠🍠

Sorry LiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang