tiga puluh

438 24 2
                                    

Osaka, jepang.

Allesia berhenti, dirinya lelah. Diaz benar-benar tidak kenal lelah. Semenjak dirinya menyetujui untuk keluar dari rumah, pria ini tidak berhenti untuk tetap mengajaknya berjalan-jalan. Ini pekan kedua—setelah mereka berlibur. Kali ini ketaman hiburan, sierra dititipkan kepengasuh, hanya mereka berdua.

Diaz menarik allesia untuk duduk disalah satu bangku taman, kemudian menyela keringat wanita itu dengan halus. Tersenyum tulus untuk kebahagiaan wanitanya.

"Apa kau kelelahan sayang—wajahmu penuh dengan keringat, apa aku terlalu memaksamu hari ini ?"

"Tidak, hanya saja kita terlalu bersemangat. Rasanya senang sekali."

Pandangan mereka lalu terpaku pada sebuah keluarga yang sedang berlarian. Sosok ayah dan ibu mengejar putra-putri mereka. Dan anak-anak itu berlari dengan riang gembira—dapat menggambarkan satu senyum simpul pada diaz, dia juga membayangkan keluarganya seperti itu nanti.

"Mereka sangat lucu, aku juga ingin punya banyak anak nanti. Anak-anak kita." ujarnya tulus—tangannya mengelus pipi allesia pelan. "Tak perduli dia akan mirip denganmu, atau denganku. Asalkan itu denganmu, semua akan baik- baik saja." Ucapnya sambil tersenyum pelan.

Gadis itu memandangnya cepat. "Berapa banyak yang kau inginkan ?"

"Sebanyak - banyaknya. Sampai kau tau aku sangat mencintaimu dan tidak akan ada yang memisahkan kita."

Gadis itu hanya tersenyum tanpa mau membalasnya. Kemudian—wanita itu membaringkan tubuhnya didada bidang itu, tangan diaz bergerak mengelus surai hitam panjang itu. Tiba-tiba pria itu teringat dengan masa lalu mereka. Jika mungkin aska sempat menemukan mereka, lalu apa mungkin kebahagiaan ini dapat ia rasakan lagi. Hidup dengan allesia dan sierra adalah mimpinya, lalu apa dirinya akan rela jika suatu saat ia kehilangan kesempatan itu.

Tidak, batinnya mulai berkecamuk. Hatinya bergemuruh, panik.

Secara tak sengaja tangan itu meremas kuat rambut allesia—yang membuat gadis itu menatapnya bingung. Diaz seperti sedang dilanda emosi. "Diaz, berhenti menarik rambutku. Kau kenapa ?"

Pria itu segera melepaskan tangannya, lalu menatapnya dengan sendu. "Aku—aku baik-baik saja. Bukankah kita butuh minuman, aku akan membelinya sebentar. Kau tunggu disini."

Allesia menatap kepergian itu dengan bingung. Baru tadi mereka bercanda dan tertawa, dan lihatlah diaz kini sudah mulai merajuk meninggalkannya. Sedikit memegang perutnya—rasanya ingin seperti muntah. Lalu ia bergerak untuk menemukan toilet terdekat.

***************

Allesia membasuh wajahnya. Tiba- tiba sekali ia rasa perutnya tidak enak. Mungkin karna telat sarapan. Gadis itu memandang wajahnya sendiri—lalu entah kenapa rasanya wajah aska seperti muncul dihadapannya. Ia menggelengkan kepala—dirinya rasa ia sudah gila. Ia basuh wajah itu sekali lagi. Lalu mengelapnya dengan handuk hangat.

Ia bergeges dengan cepat, diaz pasti mencarinya. Namun ketika ia bergerak untuk berbalik, dapat ia rasakan seseorang juga masuk dengan menutup pintu itu lalu menguncinya.

Degh.

Tiba- tiba perasannya mulai tidak enak—ia putuskan untuk berbalik dan melihat dan dapat ia lihat sosok itu. Sosok laki-laki yang datang dengan setelah formalnya. Wajah itu, raut muka itu, ekspresinya, senyuman sinisnya, masih sama sejak lima tahun yang lalu. Aska, pria itu berdiri dihadapannya—sungguh rasanya allesia tak sanggup berdiri lagi, kakinya seperti akan jatuh ke lantai saat ini.

"Bagaimana kabarmu allesia ?"

Terdiam, gadis itu kesulitan untuk bicara. Tubuhnya menyandar pada dinding kamar mandi. Tubuhnya lemas sekali—wajah yang sama yang begitu ia takuti juga begitu dirinya rindukan. Arah matanya menatap tangan kekar pria itu yang dia selipkan disaku celananya. Tangan- jangan itu yang dulu pernah menghancurkannya.

Sorry LiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang