"Sudah pulang ?" Dengan langkah dingin diaz menghampiri wanita itu—allesia. Gadis itu baru saja pulang hari ini, sedari pagi. Bukan dia tidak tau, meski diaz sedang bekerja ia mengetahui jika wanita itu pergi sedari pagi dan pulang larut malam, entah kemana dan bersama siapa.Allesia menyentuh kepalanya—rasa sakit itu masih terasa, sejak pertemuannya dengan aska tadi dia tidak ingat apapun. Bahkan dia juga tak ingat apa yang mereka bicarakan dan setelah itu apa yang terjadi, dia tidak bisa mengingat apapun.
"Kau pergi kemana, pergi pagi dan pulang larut malam. Bahkan kau meninggalkan sierra dengan pengasuh sendirian, seperti bukan dirimu saja." Tanya diaz, ada nada tegas ketika ia berbicara.
"Aku juga tidak berpikir akan meninggalkan putri kita selarut ini, sungguh rasanya aku tidak mengingat apapun."
Alis diaz menyengit tidak mengerti. "Begitu—apa kau yakin, sama sekali tidak ingat kau kemana seharian ini ?" Terdapat nada intimidasi dari nada bicaranya, seakan tak percaya dengan wanita itu.
Allesia terdiam sejenak, sia-sia rasanya dia harus menutupi semuanya dari diaz. Sedangkan pria itu tau kapan dia akan bicara jujur dan tidak, tapi dia juga ragu untuk mengatakan sebenarnya. Mungkin akan ada pertengkaran nanti.
Gadis itu meremat kedua jemarinya——rasa takut mulai menghantui. "Aku bertemu kak aska tadi, untuk berbicara tentang—," ucapannya terputus dikala dia dapat melihat sorot marah dalam wajah itu.Laki-laki itu menatapnya dingin. "Lanjutkan."
"Kami berbicara tentang perusahaanmu yang sedang ada masalah, aku yakin itu ulahnya. Jadi aku datang hanya untuk—agar dia dapat berfikir kembali untuk menjatuhkan perusahanmu, hanya itu saja. Tidak lebih."
Diaz tertawa sinis—memandang allesia penuh kagum. "Lalu apa kau mendapatkan hasilnya ?" Tanyanya pelan. "Setelah semua yang kau lakukan, apa kau mendapatkan hati nuraninya allesia ?"
Gadis itu terdiam, kepalanya menunduk. Dia sungguh tau jika ia bersalah. Bagaimanapun aska tidak mungkin membantu mereka, yang dia dapatkan malah makian dan cacian disana. Bahkan aska merendahkannya sebagai seorang wanita. Bahkan jika dia bisa mengembalikan waktu, dia tidak akan memilih untuk mendatangi iblis itu, tidak akan pernah.
"Kenapa kau diam." Langkah laki-laki maju kearahnya dengan sorot mata tajam. "Apa kau mendapatkan bantuan darinya, allesia—tapi, bukankah aku sudah menyuruhmu untuk menjauhinya. Lalu apa yang kau lakukan, mendatanginya dipagi- pagi buta. Apa kau waras ?"
Mata allesia berkaca-kaca, jemarinya menggenggam satu sama lain. "Aku hanya tidak memikirkan cara lain selain ini, aku tidak bisa melihatmu kesulitan. Sunggguh, bagaimanapun itu terjadi karna kau membawaku sampai seperti ini. Dia ingin sekali membalasmu, aku tidak bisa diam saja. Sungguh."
Diaz datang dan meremas kedua lengannya, allesia sedikit mengaduh disana. Namun, dengan emosinya diaz tak perduli dengan itu. Dia hanya ingin allesia tetap menurut, tidak pergi darinya. Dia akan menjaga wanita itu, sudah berapa dia katakan. Tapi allesia tetap tidak mengerti—wajah laki-laki itu semakin memerah, ada bulir-bulir keringat dari keningnya. Matanya berkaca-kaca, sakit sekali rasanya. Dia menunggu allesia yang sedang digenggam pria itu tadi, bagaimana jika aska membawa wanita ini dan allesia tidak akan kembali. Diaz tidak bisa, membayangkannya saja sakit.
"Bagaimana, allesia. Bagaimana—kau bisa berpikir untuk menemuinya setelah apa yang dia lakukan padamu!" Laki-lali itu semakin menekan tubuhnya. "Apa bahkan kau tidak pernah memikirkanku, hatiku. Kau—melakukan semuanya semaumu saja! Kau tidak berpikir konsekwensi dari tindakan yang kau lakukan hah!"
Allesia menggeleng, menolak. "Jika mungkin aku tidak memikirkanmu, aku tidak akan mau bertatap muka dengan dia—sekalipun saja, aku tidak sudi."
"Apa kau meragukanku?" Tanya diaz sinis. "Kau berbohong dan akan selalu begitu. Awalnya kau mengatakan tidak mengingat apapun, lalu setelah terdesak kau baru mengatakan sebenarnya bukan ?
"Berhenti mencari-cari kesalahanku, kita berbicara untuk mencari solusi bukan, bukan seperti ini caranya." Allesia coba melepaskan remasan tangan diaz pada tubuhnya—namun pria itu terlalu kuat.
Laki-laki itu menghembuskan nafas pelan. Jika seperti ini allesia akan mau mengerti, jika hanya mengikuti emosi dia tau gadis ini tidak akan menurut. Sedikit menurunkan egonya—ia dudukkan dengan lembut tubuh itu kesofa. Tubuh jangkungnya bersimpu kelantai, sehingga tingginya dan allesia dapat setara. Dia dapat dengan jelas melihat wajah merah wanita itu.
Jemarinya mengelus wajah itu halus. "Apa yang harus kita lakukan untuk keluar dari masalah ini allesia. Hm ?"
Allesia menggeleng, gadis itu juga tidak tau.
"Sedari tadi—aku tidak bisa berhenti untuk memikirkanmu, melihatmu pergi terburu-buru seperti itu membuat pikiranku kemana-mana dan fakta yang paling buruk adalah saat kau mengakui jika kau pergi menemuinya. Dengan jarak waktu selama itu rasanya kepalaku sakit memikirkan hal apa yang kalian lakukan disana."
Kepala wanita itu menunduk, merasa sangat menyesal. "Maafkan aku."
"Tentu aku juga sangat bersalah. Caraku memperlakukanmu sangat salah. Aku tidak bisa berpikir dengan jernih. Dengan semua itu emosi menguasaiku. Maafkan aku allesia."
Allesia menangis, sangat sulit rasanya jika harus mendengarkan permintaan maaf kala dirinyalah yang bersalah. Dia—tidak tau harus melakukan apa. Tubuhnya bergerak memeluk laki-laki itu, menumpahkan tangisannya disana.
Diaz membalas rengkuhannya, memeluk punggung wanita itu dengan sayang. "Aku mencintaimu, tolong percaya padaku. Jangan temui dia lagi allesia, jangan pernah. Jangan mengecewakan kepercayaanku lagi."
Gadis itu mengangguk, sudah berjanji padanya.
"Ingat untuk tidak mengulanginya lagi, bukan ?" Tidak ada jawaban, gadis itu terdiam dengan wajah polosnya. Laki- laki itu bergerak untuk mendekati wajahnya—tatapannya menatap bibir allesia dengan sendu, saat dia coba untuk menyatukan bibir mereka—allesia membuang wajahnya, wanita itu menolaknya, lagi.
Entah usaha keberapa kali ia coba untuk menyentuh allesia, tapi selalu ditolak. Ini sudah sejak lima tahun dan allesia tetap tidak menginginkannya. Diaz menurunkan tangannya—jemarinya mencengram erat dibawah sana.
Sorot matanya menatap allesia tajam. "Apa kau sungguh mencintainya ?"
Gadis itu diam, kepalanya tertunduk, tidak mau menjawab.
Diaz tersenyum sinis. "Kalau begitu—kau harus menyingkirkan perasaanmu dengan cepat. Bukankah aku sudah memberikanmu waktu lima tahun, atau belum cukup bagimu melupakannya selama itu." Tekannya kuat. "Aku sudah memberikannmu waktu yang sangat lama, allesia. Jadi berhenti berpikir untuk kembali padanya, kau milikku."
Allesia tak menanggapi—langkahnya berdiri untuk meninggalkan pria itu. Hatinya berkecamuk, dia tidak tau harus menjawab apa, dan bagaimana cara menjawabnya. Dia juga bingung, bagaimana selama ini dia sangat menolak sentuhan diaz dan tidak bisa menjawab pertanyaan itu dengan lantang. Sungguh, dia tidak punya jawaban.
Laki-laki itu masih disana—menatapnya dengan datar, setelah ini dia tidak mau kecolongan lagi. Meski harus menghadapi seribu aska sekalipun, untuk allesia apapun akan dia lakukan. Lima tahun lalu gadis itu sudah memilihnya. Kini terlalu terlambat bagi wanita itu untuk kembali. Dan meski allesia menginginkannya—dia tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Menangis darahpun dia tidak akan perduli.
🩶🩶🦍
KAMU SEDANG MEMBACA
Sorry Lia
Teen Fiction"Kehidupan seperti apa yang kau bayangkan allesia? " - Zaleon Aska Raymond -