Empat Belas

1.1K 46 3
                                    

Cakra menatap naas sesosok tubuh temannya yang sedang dikerumuni wanita-wanita nakal. Dalam keadaan diaz yang sedang tidak sadar. Karna gadis-gadis itu tau, jika mereka mendekati diaz sedikit saja dalam keadaan sadar. Pria itu tidak akan berfikir dua kali untuk menendang mereka.

Diaz, laki-laki itu dengan wajah merah dan sorot mata yang buram menatap mereka satu persatu, dengan sempoyongan. Mengucapkan kata yang sama berkali-kali. 'mana pacarku alisha'. Yang jelas mereka tidak kenal gadis itu sama sekali.

Lebih lagi gadis itu katanya baru menolaknya, ada hanya karna satu wanita laki-laki itu seperti. Astaga norak sekali pikir mereka.

"Sudah, jangan pegang-pegang." Ucap cakra final. Menatap tajam wanita-wanita nakal yang sedari tadi menggoda diaz.

Para wanita itu mundur, tak ingin mengambil konsekwensi atas tindakan mereka nanti. Mereka juga ingat apa yang terakhir kali dua sahabat itu lakukan di tempat mereka. Jadi mereka tidak ingin mengambil masalah.

Dengan sigap cakra menarik diaz. Ia mengehmbuskan nafas kasar, temannya ini sangat berat.

"Jangan pegang-pegang gue."

Cakra mendengus kasar. "Kalo keadaannya gini lo bisa pulang sendiri memang," dengan cepat menarik diaz lagi. "Kalo bukan temen gue lempar lo!"

Diaz terdiam sebentar menatap cakra, cakra yang bingung juga kian menatap diaz. Karna cakra tau diaz ini jika mabuk bisa jadi orang gila.

"Apa lo alisha?"

Brugh..

"Anjing lo!" Cakra mengusap wajahnya kasar, "gue tolongin malah belagu lo bangsat!"

Teriakan kuat terdengar dari pria yang terungkur dilantai, namun tak lama terdengar dengkuran agak keras yang menandakan ia yang tiba-tiba terlelap.

Cakra menatap diaz yang terkungkur dilantai, kenapa temannya itu tiba-tiba jadi tidur?

Oke, rasanya cakra akan gila sekarang. Pria itu menarik wajahnya keatas, memikirkan cara terbaik untuk sekiranya dapat menyadarkan pria itu.

Dalam keterdiaman cakra menyoroti sosok wanita yang tiba-tiba datang dan membantu diaz duduk. Kedua tangannya menepuk wajah diaz yang tengah tidak sadarkan diri. Sedangkan mulutnya mengoceh hal-hal yang tidak jelas.

Sorot mata cakra menajam, Memastikan bahwa ia tak salah orang. "Buat apa lo kesini seyra?"

Dirasa gadis itu tak menggubrisnya, cakra menarik langan gadis itu kuat. Membuat wanita itu terlepas dari diaz.

"Gue tanya ngapain lo kesini, tau dari mana lo kita disini?"

Seyra mengahlikan pandangannya. Sorot mata cakra tidak pernah berubah, dulu dan sekarang selalu sama. "Gue selalu ingat tempat dimana lo hancurin kepercayaan gue untuk pertama kali, gue inget tempat ini yang jadi kebusukan lo itu terbongkar, udah? Puas lo!"

Dengan kasar seyra melepaskan tautan tangan mereka.

"Gue gak tanya masalah itu sey. Gue tanya kenapa lo bisa tau gue sama diaz disini, udah itu aja. Kenapa lo jadi bahas masalah lain."

Gadis itu menatap diaz dengan mata berkaca-kaca, " kenapa gamau dibahas? Oiya memang ga penting kan," seyra menarik nafas panjang. "Lagipula gue ngikutin lo berdua tadi kesini. Dan gada hak lo buat ngatur gue boleh perduli sama diaz atau nggak."

Cakra terkekeh pelan. "Lo tau kan, sebanyak apapun lo berjuang. Hati diaz bukan buat lo lagi sey."

Seyra menutup mata, menyadari penyesalan terbesarnya. Jika saja ia lebih pintar saat itu tidak mungkin ia lebih memilih cakra. Tidak mungkin ia berdiri dengan hati sehancur ini.

"Gue tau dan gue ga akan lupa cakra." Gadis itu tersenyum singkat. "Lo juga sama, berhenti perjuangin gue ya karna lo juga tau hati gue bukan buat lo lagi."

Bisa gadis itu rasakan cakra yang terkejut atas apa yang ia katakan. Walaupun pria itu dengan mudah menutupi reaksi wajahnya. Tapi ia dan cakra pernah mengenal lebih dari seorang teman, jadi jangan tanyakan bagaimana gadis itu bisa tau.

"Kita pulang ya, aku antar kamu." Ucap seyra lembut. Membopong tubuh diaz di satu sisi tubuhnya.

"Dia butuh seseorang sekarang dan itu bukan lo seyra."

Gadis itu menatap cakra tajam, "Gue tau dan lo ga harus ingetin itu. Lagipula siapapun yang diaz butuh dia cuma perlu gue."

Cakra mengusap wajahnya kasar, seyra ini keras kepala sekali. Dia kehabisan kata-kata menghadapi gadis ini.

Dengan cepat dia menarik seyra. Sedikit meremas kedua lengan gadis itu. " lo mau tau, kenapa diaz jadi gini? Lo mau tau kan sialan! Diaz mabuk cuma gara-gara cintanya ditolak sama satu perempuan, laki-laki yang lo cintai itu gila gara-gara perasaannya ga terbalas sama sekali. Dan lo tau, sedari tadi yang disebutin diaz cuma alisha, gada lo di kepala diaz sey, gada lo sama sekali. Jadi berhenti berfikir kalo lo penting buat dia."

Ketika merasa rangkulan seyra mulai melemah pada diaz, dengan cepat cakra menarik diaz. Menyeret temannya itu keluar untuk mencari sesuatu yang pastinya diaz harus berterima kasih padanya malam ini.

Meninggalkan seyra yang terdiam dengan sorot mata sendu menatap mereka.

Dengan kuat cakra mengetuk pintu itu berkali kali, rasanya ia sudah tidak tahan dengan diaz yang sedari tadi mengoceh disampingnya seperti orang gila. Kadang nangis, kadang tertawa, kadang-kadang teriak tidak jelas.

Ketika mendapati sosok gadis keluar dari rumah itu dengan capet ia mendorong diaz, hingga gadis itu menahan temannya di pelukannya. Dan seketika diaz jadi terdiam dan memeluk erat pinggang di hadapannya, kepalanya menunduk—mencari tempat ternyaman untuk dijamah.

Cakra menggeleng tidak percaya, sedari tadi padahal temannya itu seperti makluk dari dunia lain, dan lihat sekarang. Cinta benar-benar membutakan temannya itu.

"Gue tunggu di mobil." Tanpa mengerti apa yang cakra katakan, ia sudah ditinggal dengan secuil manusia mabuk yang sedari tadi mencari kesempatan untuk menyentuhnya. Ingin marah juga tidak bisa, pria ini kan sedang mabuk pikirnya.

"Kak, lepaskan dulu. " bukannya mengendur pelukan diaz makin mengerat, bibirkan bersenandung seraya mengucapkan 'Gue cinta lo al, tapi lo tolak gue' 'lo jahat alisha, lo jahat'
Kata itu berulang ia dengar sampai telinganya bosan.

"Gue cinta lo," gumam diaz. "Iya aku tau kak, dari tadi juga bilang gitu mulu,"

"Gue cinta banget-banget sama lo," Gadis itu yang dia tau harus mengatakan apa hanya menepuk punggung diaz pelan, guna menenangkan pria yang tengah memeluknya.

Diaz mengarahkan pandangan matanya, menyoroti wajah alisha, "mau ciuman."

Alisha kaget sontak sedikit mendorong pria itu. Diaz mengaduh pelan, matanya berkaca-kaca menatap alisha. "Sakit, di tolak mulu."

Gadis itu dengan cepat merengkuh diaz kembali, menenagkan laki-laki dewasa dihadapannya dengan cepat ketika dirasa diaz akan siap menangis. Lainhal dengan Cakra yang meringis pelan menyaksikan drama romantis yang ia liat secara diam-diam.

Sedangkan di lain sisi tanpa mereka tau. Ada sesosok manusia yang juga ikut menonton sedari tadi, pria itu aska—yang sedari tadi tidak pernah mengalihkan pandangan matanya dari dua sosok manusia yang tengah asik melepas rindu.

Tidak ada yang pernah tau tempat dimana ia berada, bahkan tidak ada yang tau jika ruangan ini pernah ada. Ia punya ruasan dimana ia bisa mengabadikan sosok adik yang begitu ia cintai diruangan ini sendirian. Hari ini, ruangan ini menjadi saksi atas rasa sakit yang ia dapatkan.

Selanjutnya apa yang bisa ia lakukan pada tubuh kecil gadis itu. yang dulu—hingga sekarang sangat haram ia harapkan. Namun apa boleh buat, salahkan tuhan yang menaruh rasa sebesar ini padanya.

Matanya menatap tajam tangannya yang sedari tadi ia cengkam menaham emosinya. Apa yang bisa ia hancurkan menggunakan tangan ini, apakah wajah adiknya?


🗣: kapan next kak?
🧟‍♀️: gatau oiy!

Sorry LiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang