tiga puluh satu

390 21 0
                                    


Aska melihat bukti foto- foto itu dengan tajam. Tangan- tangan kasarnya hampir saja merobek foto itu hampir tak bersisa. Namun, masih ia urungkan. Dapat dilihatnya seorang wanita berpakaian serba hitam, lengkap dengan penutup kepala dan masker—serta seorang laki- laki yang menggendong balita perempuan dipelukannya. Hendak melarikan diri.

Cih, mereka ingin main kabur- kaburan ternyata.

"Kali ini mereka kemana lagi ?" Nada terdengar santai, namun tegas.

Aaron meliriknya pelan, kemudian membuka map berwarna merah tua itu dengan cermat. "Kemungkinan, new york. Amerika. Itu yang tertulis disini."

Aska tersenyum sinis. "Apa mereka sedang menghindari asia ? "

"Itu karna cepat tertebak oleh kita. Kalau- kalau kau tidak bergerak cepat, bisa saja kita kehilangan kesempatan lagi kali ini. Lagipula kau tidak mau merampas allesia kala itu—kita jadi buang- buang tenaga begini."

Aska memutar bola matanya malas. "Tentu saja kita juga cukup kesulitan, mereka terus- terusan pindah. Dan aku tau ini semua otak pria itu. " ucapnya tegas. "Dia—cukup pintar bersembunyi. Aku tak mau kita kecolongan lagi."

Aaron menghela nafas pelan, dirinya muak dengan aksi kejar- kejaran ini. Allesia sangat sulit dibujuk dengan cara halus. Tentu saja seharusnya hari itu dia tidak tinggal diam. Harusnya dia membantu aska untuk membawa wanita itu secara kasar. Bagaimanapun—allesia tidak akan mau kembali dengan cara baik- baik.

"Tidak perlu cara baik- baik kali ini. Kau bisa membunuh pria itu jika dia mau bermain- main lagi, sudah cukup. Lima tahun sudah terlalu lama, aku tidak bisa melihatmu lebih gila lagi." Kata Aaron dingin. Tangannya kemudian melempar kasar map itu kebawah.

"Kau benar—seharusnya aku menyingkirkannya dengan kedua tanganku hari itu."

Aaron terkekeh pelan, tubuhnya ia baringkan kesofa. Seharian ini cukup melelahkan, setelah sampai dijepang dia tak punya waktu untuk istirahat. Setelah mereka melacak keberadaan allesia dan diaz. Aska memaksanya untuk membuntuti kedua orang itu. Sampai kejadian dimana mereka kehilangan kesempatan untuk membawa allesia.

"Kali ini kau tidak hanya harus menyusun rencana menculik adikmu. Tapi sebelum itu, kau harus menyingkirkan diaz dulu. Perusuh kecil itu cukup menyulitkan kita."

Aska meliriknya cepat. "Tidak perlu cara kasar untuk allesia."

Aaron menatapnya tegas. "Sampai mati, dia tidak akan datang dengan cara baik- baik padamu. Kecuali—," ucapannya terputus dikala aska memandangnya serius.

"Kecuali—apa ?"

Aaron menyeringai. "Kecuali, ada hal berharga yang kau tinggalkan untuk wanita itu—kemungkinan dia akan kembali padamu" Ucap Aaron ambigu.

Aska menatapnya bingung. Alisnya menyengit tidak mengerti, teman brengseknya ini berkata tapi tidak juga menjelaskan. Dia bingung sekali.

"Hal berharga seperti apa ?"

Laki-laki itu menyunggingkan senyuman tipis, "kau tau itu brengsek. Berhenti berpura- pura bodoh."

Aska merebahkan tubuhnya. Dia tau—sangat tau. Dia sudah melakukan hal itu lima tahun lalu, namun sayangnya belum membuahkan hasil. Keparatnya allesia malah memiliki anak dari pria brengsek itu. Namun, itu semua tidak pernah mengurangi rasa cintanya pada allesia, sedikitpun tidak.

"Kau tau—aku sudah melakukan itu lima tahun lalu, tapi belum berhasil. " katanya sambil menghela nafas pelan. "Aku bahkan melakukan itu lebih dari sekali, tapi tidak membuahkan hasil sama sekali."

Aaron tertawa kuat. "Benihmu memang payah sekali. Hahaha, aku tidak menyangka kau sepayah itu." Ucapnya sambil memegangi perutnya. "Tapi kali ini harus kau coba lagi. Mungkin sampai berhasil, sebelum itu kau bisa serahkan pria brengsek itu padaku. Aku juga ingin sedikit bermain- main dengannya."

Sorry LiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang