delapan belas

581 25 1
                                    

Diaz mengusap wajahnya kasar. "Maksudmu dia bukan adik kandungnya, sial. Apa kau sudah gila, cari sesuai fakta yang ada sialan!"

Cakra memutar bola matanya. Tangannya membolak-balik dokumen dikedua tangannya.  "sudah, tapi memang begitu adanya. Allesia itu bukan adik kandungnya.".

Jika saja diaz bukan sahabatnya, tidak akan mau dirinya mencari informasi bodoh seperti ini. Jelas saja, dipagi-pagi buta ia harus mencuri informasi keluarga orang lain. Sebut saja ia bodoh toh ia juga menurutinya.

"Katakan lebih jelas." Ucap diaz melipat kakinya.

"Disini tertera bahwa mereka bukan saudara kandung. Allesia adalah anak haram—," tiba-tiba diaz menatapnya tajam. "Maaf, maksudku gadis itu lahir dari dua orang yang melakukan kesalahan tanpa ikatan pernikahan. Dan ya, sama sekali tidak tertera identitas kedua orangtua wanita itu siapa."

"Kau serius, ini cukup rumit,"

Cakra manaikkan alisnya. "Rumit bagaimana?"

Diaz menatapnya serius. Tiba-tiba saja ia teringat pertemuannya terakhir bersama gadis itu. Dan malam itu yang cukup berkesan untuknya. Pada awal yang dirinya tau bahwa pria yang mencium allesia dimalam itu adalah kakaknya sendiri. Meski bukan kakak kandung, sanggat aneh menurutnya.

"Aku bertemu kakaknya malam itu, dan kami bertengkar kecil."

"Lalu?"

"Aku memukul wajahnya. " jawab diaz ragu-ragu.

"Sungguh, " jawab cakra kaget. "Kau membawa gadis itu semalaman lalu memukul kakaknya, wah bajingan sekali."

Diaz mendengus tidak terima, masih separuh cerita cakra sudah berani menyimpulkan. "Aku juga menerima tendangan diperutku, cukup sakit sih."

Cakra memajukan dirinya, mendengarkan lebih serius. "Serius, lalu bagimana—," "tunggu dulu, sebenarnya apa yang terjadi, kenapa jadi makin rumit, apa sebenarnya yang kau lakukan malam itu?"

Diaz berdeham pelan, "aku membawa allesia malam itu, entah mengapa aku begitu merindukannya."

Cakra mendengus, "kau membawa adiknya seharian hingga malam gulita, jika aku kakaknya aku juga akan menonjok wajahmu sialan." Ucap cakra seraya menunjuk wajah diaz.

"Kau tidak mengerti, bukan itu maksudku,"

Cakra menatapnya menunggu jawaban, "kupikir ada yang aneh. Pria yang kita lihat sedang berciuman dipesta pekan yang lalu adalah allesia dan kakaknya—tidak mungkin salah, benar itu mereka. Tapi seperti yang kita lihat mereka melakukannya dalam posisi sedang mabuk."

Cakra terdiam, kepalanya berpikir sejenak.

"Kau serius, tapi bagaimana mungkin—bukannya dalam keadaan tidak sadar sekalipun kita masih punya batas sadar. Dia tidak mungkin sebodoh itu untuk tidak tau itu adiknya, maaf kupikir dia—sengaja."

Tanpa sadar wajah diaz memerah, ia tau akan berfikir seperti ini. Tapi tanpa ia sadari jika memikirkannya lagi membuatnya marah—sekali lagi. "Pria sialan itu, bagaimana dia bisa melakukan itu pada gadisku!"

Cakra melihat itu tertawa, "hahaha, liatlah kau sudah kalah start, atau mungkin. Bisa saja mereka mengadopsi wanita itu untuk dinikahkan pada anak tunggal dikeluarga itu, dilihat dari gilanya dia. Bisa saja itu terjadi, anak tunggal kaya raya lagi."

Diaz menggeram, "mana mungkin brengsek!".

Senang sekali membuat diaz gila. Sekali pancing langsung dapat. Rasanya ingin sekali cakra mengejak diaz sekali lagi.

"Tidak mungkin bagaimana, dua tahun dari sekarang lihat saja mereka akan jadi pengantin, lalu kau akan jadi tamu yang berpenampilan bodoh disana, hahhaha."

"Sialan kau!" Oh,  hampir saja diaz melemparkan guci kewajahnya. Untung pria itu masih punya hati. Baiklah, lebih baik cakra menutup mulutnya untuk sementara.

Cakra berdeham pelan. "Bukankah lebih baik kau menemuinya. Jika saja malam itu kau bertengkar dengan kakaknya, apa gadis itu akan baik-baik saja."

Diaz terdiam, kali ini ucapan cakra ada benarnya.

************

Allesia menatap wajah kakaknya. Hari ini mereka akan pindah, melihat dari banyaknya barang yang akan dibawa. Sepertinya hanya mereka berdua, tidak dengan ibu mereka. Ponselnya juga disita oleh aska, dirinya tidak boleh mengabari siapapun tentang kepindahan mereka.

Aku bukan tidak akan hanya membuat pendidikanmu hancur, tapi aku juga akan mematahkan kakimu bila kau tidak patuh, begitulah pria itu mengancamnya.

Melihat seberapa keras aska menggenggam tangannya, sungguh kali ini pria itu mungkin tidak akan melepasnya.

Ia mungkin sudah tidak akan punya kebebasan, lagi.

"Kita akan kemana, kakak?" Tanya gadis itu ragu-ragu.

Tidak ada jawaban, aska masih membisu.

Allesia merasakan detak jantungnya yang berdetak kuat. Sungguh dirinya tidak tau akan dibawa kemana, bertanya pada kakaknya juga sama saja. Sejak malam itu aska enggan berbicara dengannya, bahkan dengan ibunya juga.

Aska melirik pelan kearah adiknya, "jangan melamun, kau bisa tidur jika lelah. Perjalanan kita masih panjang, dan tentang pertanyaanmu—aku memilih untuk tidak menjawabnya."

Jahat sekali, allesia juga tau kakanya akan mengatakan itu—hanya saja dirinya sangat penasaran.

"Apa kita tidak akan kembali—, " ucapannya terputus ketika aska menatapnya tajam. "Aku mungkin akan merindukan ibu nanti,"

Aska terkekeh sinis. "Kau pikir aku akan percaya, alasanmu tidak masuk akal. Allesia, kuperingatkan padamu untuk patuh—lagi pula, wanita yang kau sebut sebagai ibumu itu tidak begitu menyayangimu, ibu yang melahirkanmu juga sudah mati. Jangan cari-cari alasan."

Menyadari mata adiknya memanas, dirinya dengan cepat memutar kemudi—mencari tempat paling aman untuk berhenti sejenak. Lihatlah, belum apa-apa wanita itu sudah mau menangis.

"Berhenti menangis." Katanya tegas.

Gadis itu menatap aska, masih dengan mata berair, "Kakak jahat sekali, " ucapnya disela senggukan.

"Sudah tau aku jahat kenapa masih membantah. Tidak cukup bagimu jika hanya celaan, perlu aku berlaku kasar seperti semalam?" Tanya aska marah.

Aska membuka pintu mobilnya kasar. Sangat lelah dengan tangisan wanita itu, hari-harinya sudah sangat melelahkan—ditambah gadis ini yang hari-hari tidak ada kegiatan selain menangis.

"Keluar—," geram aska. "Kau bisa keluar jika kau mau sialan! Aku juga tidak akan perduli lagi padamu. Menurutmu dengan terus-terusan menangis ibumu yang berada disurga akan turun menghapus air matamu, berengsek! Jika tidak suka diatur kau coba hidup sendiri tanpa uangku."

Aska juga mengerti bahwa apa yang ia katakan sudah kelewatan, tapi apa dayanya. Hanya dengan begini allesia bisa menurut. Sampai mati juga dirinya tidak akan melepaskan gadis ini. Itu hanya bualannya semata, karna sungguh ia tau allesia tidak mungkin menantangnya.

Gadis itu memandang kerah kesamping jendela. Karna menatap aska akan hanya menambah lukanya. Tubuhnya ia baringkan pelan—perlahan dengan menutup matanya, tertidur. Menghindari pertengakaran adalah jalan satu-satunya.

Aska menutup pintu mobilnya pelan. Dilanjutkan dengan deru mobil yang entah akan membawa mereka kemana.





Sorry LiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang