dua puluh empat

480 30 0
                                    

Sinar matahari itu mengenai wajahnya, pria dewasa itu membuka matanya. Tersenyum kecil disudut kecil bibirnya—tubuhnya polos, lengkap dengan  kalung liontin bintang dilehernya. Tangannya ia arahkan kedepan wajah, menghalau sinar matahari yang mengenai wajah tampannya. Lalu bergerak lagi kesamping—meraba sisi kanan tempat tidurnya—lalu kosong, tidak ada siapa-siapa.

Degh.

Jantungnya berdetak lebih cepat, ketika ia arahkan matanya kesamping, dia tak mendapati siapapun diranjangnya. Tubuhnya segera terduduk, mengumpulkan semua kesadarannya kini. Jari jemarinya terkepal kuat, tak menyangka dia kecolongan kali ini. Dengan segera ia bergerak cepat, memakai pakaiannya dengan sigap. Allesia benar-benar tak belajar dari kesalahannya, gadis itu tetap mengulanginya lagi.

Tangan aska yang bergerak mengancingkan kemeja itu terhenti—tersenyum sinis kala mendapati beberapa luka cakaran dikedua lengannya. Pertahanan gadis itu tadi malam lumayan kuat, bahkan aska tak merasakan nyeri pada luka ini tadi malam. Padahal ini terhitung lumayan parah—ia tersenyum dengan menarik sudut bibirnya, entah berapa kali ia tersenyum hari ini.

Kala membuka pintu kamarnya ia langsung mendapati naina dimeja makan. Wanita itu melirik sebentar kearahnya lalu mendengus, segera melanjutkan aktivitas makannya.

"Bukankah aku belum menyuruhmu untuk kembali ? " Nada pria itu dingin.

Naina menaikkan kedua bahunya, mulutnya masih mengunyah makanan. "Apa perduliku." Kata wanita itu pelan. "Lagipula aku akan menunggu sampai kapan, sampai kalian puas semalaman."

"Jaga bicaramu naina."

Naina membanting kedua alat makannya. Nafsu makannya sudah tidak ada, sekarang aska suka sekali mendebatinya. Bahkan untuk hal tidak penting sekalipun.

"Bukankah kau juga harus menjaga nada bicaramu. Kau tak pernah seperti ini dulu, saat gadis itu datang semua berubah, sial."

Aska melihat sekeliling mereka, bisa dipastikan allesia tak ada dimanapun. "Apa kau melihatnya ?"

Wanita itu memandang aska dingin. "Aku tidak perduli padanya, jika aku melihatnya kupastikan aku tidak akan memberitahumu."

Aska berjalan pelan kearahnya—ingin sekali rasanya ia menampar wanita ini dengan kedua tangannya. Namun lagi-lagi hari ini terasa cukup menyenangkan untuknya jadi dia masih mengurungkan niatnya.

"Kau—pasti melihatnya. Atau jangan sampai kau membantunya untuk bersembunyi, aku serius kali ini. Kau akan tau akibatnya, kali ini bukan hanya untukmu tapi putramu juga."

Naina meremat kedua tangannya, marah. "Dia keluar dari kamarmu dengan sangat berantakan. Sekujur tubuhnya banyak lebam biru, dia bahkan tak memandangku saat keluar dari kamarmu, apa yang kau lakukan semalam aska. Apa kau—memperkosanya ?"

Aska menatapnya dingin. "Bukan urusanmu."

Naina tertawa hambar, sakit sekali rasanya. Ia dan aska bahkan tak pernah sampai sejauh itu, dirinya cukup cemburu.

"Kegiatan seperti itu—aku mungkin sedikit memaksanya, tapi kami melakukannya karna saling mencintai. Aku hanya ingin mempermudah agar kami bisa bersama."

Bullshit, naina cukup tau aska pasti menghalalkan segala cara untuk mendapatkan wanita itu. Hingga cara kotor pun juga dilakukannya. Jika dihitung entah berapa kali ia menawarkan diri pada aska namun selalu ditolak mentah-mentah oleh pria itu.

"Kau mungkin menganggap bahwa kalian bercinta tapi gadis itu—sudah jelas dia tak menginginkannya. Aku pikir mulai hari ini dia akan membencimu, bisa jadikan. Bukankah dia meninggalkanmu lagi sekarang ?"

Aska tak menanggapi, meski itu cukup mempengaruhinya. Ada kemungkinan gadis itu akan membencinya tapi ia pastikan tidak akan lama. Dirinya yakin allesia belum jauh dari sini, lagipula ini cukup menarik, gadis itu suka bermain kejar-kejaran rupanya.

Ia tarik kunci mobilnya, dia langsung tau akan mencari wanita itu kemana.

***********

Satu sosok gadis bertumpu pada nisan dihadapannya, batu nisan itu tanpa nama—dulu aska pernah mengantarkannya ketempat ini. Satu-satunya keluarga yang tersisa adalah ibunya. Wanita yang sudah terimbun tanah bertahun-tahun yang lalu.

Wajah sendu itu dibanjiri air mata, ia tak menyekanya sama sekali. Sorot matanya menatap sendu makam tersebut, seakan ingin mencurahkan semua isi hatinya. Semua masalahnya, dan semua ketidakadilan yang telah terjadi padanya.

Hatinya sakit, tubuhnya sakit. Semua yang dia rasakan terasa sangat hambar, tak punya semangat hidup lagi. Kepalanya bersender pada makam tua itu—tanpa berbicara apapun.

Satu sosok laki-laki itu memandanginya, sudah cukup lama. Gadis itu tak bergerak, tak berbicara, bagai hanya tubuh tanpa jiwa. Aska terkekeh sinis, ia muak sekali memandangi pemandangan seperti ini sedari tadi.

"Sampai kapan kau akan berada disana." Ucap nada dingin itu mengawali—kedua tangannya ia masukkan kesaku celananya.

Tak ada jawaban, gadis itu terdiam membisu.

"Pulang, aku muak menunggumu disini allesia." Kata aska ketus, membuang ludahnya kesamping. "Kau akan terus mendiamiku, tapi sampai kapan."

Aska pikir dirinya sangat cerewet sekarang, tapi ia cukup bersabar menghadapi gadis—ralat, wanita yang baru saja ia renggut kehormatannya itu. Ia akan terus berbicara sampai gadis itu menaggapinya.

"Aku benci hujan, apa kau tidak perduli padaku ?"

Tangan aska mengkaram disebalik saku celananya, cukup geram dengan tingkah gadisnya kali ini. "Berbicaralah allesia, walaupun kau harus memakiku. Sungguh itu lebih baik."

Hening, masih tidak ada jawaban.

"Kau sedang sakit allesia, ayo pergi dari sini." Dilihatnya sosok itu menegakkan tubuhnya, tapi tetap tak berbicara sama sekali.

"Sungguh aku akan menghukummu kali ini, berbicaralah padaku, katakan sesuatu!"

Gadis itu berbalik menghadapnya—menatapnya dengan sorot mata yang cukup dingin.

"Apa ini benar makam ibuku ?"

Aska menaikkan alisnya, meminta pertanyaan yang lebih jelas dari gadis itu.

"Kau—dengan semua kuasamu bisa saja kan menipuku lagi, lagipula makam ini tidak memiliki nama. Atau bisa saja orangtuaku masih hidup dan kau menyembunyikannya." Nada itu terkeran sangat ketus. Gadis ini cukup muak sampai tak ingin memanggil aska dengan sebutan kakak lagi.

Aska terkekeh sinis. "Sial, apa yang kudengar tadi, jangan bicara yang tidak-tidak allesia. Kedua orangtuamu sudah lama mati—lagipula kau katakan apa tadi, sopan sekali. Sekarang tak mau menyebutku dengan sebutan kakak lagi ?"

"Kau tak pantas menerima sebutan itu lagi."

Satu senyum tampan terbit dikedua sudut bibir aska. "Aku sangat menyukainya, aku memang menginginkan hal itu."

"Kau dengan naina memang cocok sekali, kalian—sama- sama menjijikkan."

Aska menaikkan bahunya tidak perduli. "Aku cukup suka dengan sebutan itu, menjijikkan—tidak lebih buruk daripada aku memberikanmu padanya secara sukarela. Jadi terserah kau mau menyebutku apa."

Allesia muak, muak sekali melihat wajah yang sama sekali menunjukkan wajah penyesalan itu. Ingin sekali rasanya ia menampar wajah itu dengan kedua tangannya.

"Aku tak akan kembali kerumah itu lagi. Kau hiduplah dengan wanita itu, kalau perlu kalian menikah. Aku akan kembali kerumah ibu, kalian jangan mengganggu kehidupanku lagi."

Aska menyeringai. "Kau bisa lakukan itu kalau-kalau kau yakin orang disekitarmu aman."

"Kau memang iblis sialan!" Gadis itu melangkah cepat melewati aska, tanpa tau ada senyum kemenangan aska disana. Sudah pernah ia katakan, sesulit apapun aska akan jadi pemenangnya.

"Cantik sekali. " ucap pria itu dengan senyuman diwajahnya.

🥑🥑

Sorry LiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang