Lady Tremaine 2

814 113 11
                                    

Pernahkah Anda membayangkan diri Anda ada di posisi saya, Inspektur?

Suami pertama saya, ayah kandung dari Anastasya dan Drizella, gugur di medan perang, meninggalkan saya, anak-anak, dan keluarga yang sudah cukup lama kami bentuk dan impikan. Apa Anda tahu, ketika saya menangis malam itu, memeluk jaket dan seragam suami saya, mencoba mencari aroma tubuh yang tersisa. Di atas ubin yang dingin, saya bersimpuh, membaca kembali surat-surat lama yang pernah dikirimkan suami saya. Kata-kata seperti, “Tenang saja, aku akan kembali,” atau, “Sebentar lagi akan pulang,” yang sekarang hanya bisa menjadi kenangan.

Suami saya itu orang paling baik yang pernah saya temui. Dia sangat perhatian. Lembut. Saya mencintainya, dan saya yakin rasa cinta yang pria itu miliki untuk saya juga sama besarnya.

Saya ingat ketika saya pertama kali bertemu dengan pria itu. Pagi yang cerah. Taman. Air mancur. Aroma embun dan rumput basah. Semuanya terekam sempurna di kepala, seperti rol film yang bisa saya putar kapan saja. Pria itu ada di sana, duduk sendirian di bangku taman, berkeringat. Botol air mineral yang tinggal setengah digenggam di tangan, seperti baru selesai berolahraga. Ada tiga, empat ekor merpati putih di sekitar kaki pria itu, mematuk-matuk sisa remah biskuit yang dijatuhkan pengunjung taman yang lain.

Pemandangan yang indah. Saya ingin mengabadikannya. Kebetulan waktu itu saya sedang menekuni bidang seni lukis. Saya membawa pensil dan buku gambar saya ke mana pun saya pergi. Di malam itu, saya mengeluarkannya dari tas. Saya mengambil tempat duduk yang tidak jauh dari pria itu, memulai menggambar sketsa kasar, waktu demi waktu. Saya bersyukur pria itu duduk dalam waktu yang cukup lama. Bersyukur dia tidak berpindah tempat.

Karena sebenarnya pria itu sudah tahu.

Beberapa kali pria itu melirik saya. Beberapa kali mata kami saling bertemu. Beberapa kali juga dia tersenyum kepada saya.

Saya pikir pria itu akan marah karena saya melukis potretnya tanpa permisi. Saya kira dia akan menegur saya, mengatai saya wanita yang tidak sopan atau semacamnya. Akan tetapi, tidak. Pria itu melangkah dengan ringan, menghampiri saya. Senyumnya sehangat matahari, dan walaupun saya sedikit malu, saya tidak bisa mengalihkan pandangan saya dari pria itu.

“Hai,” sapanya. Suaranya tegas, jelas, serasi dengan tubuhnya yang  tinggi dan tegap.

Sejak kecil, saya tidak pernah percaya dengan yang namanya cinta pada pandangan pertama. Menurut saya, rasa cinta itu tumbuh perlahan seperti pohon. Berawal dari benih kecil, disiram dan dipupuk setiap hari, melewati momen-momen penting, membuat kenangan indah di musim semi, merasakan keseruan musim panas, kehangatan musim gugur, hingga keintiman musim dingin. Butuh banyak waktu agar cinta bisa berkembang menjadi pohon yang besar dan kuat.

Saya tidak percaya dengan istilah cinta pada pandangan pertama. Namun, saya bisa merasakan benih-benih cinta yang mulai tumbuh ketika saya melihat jauh ke dalam mata pria itu.

“Hai.”

“Cuaca yang bagus untuk menggambar, ya.” Saya ingat saya menahan tawa mendengar ucapan basa-basinya itu.

Saya tahu dia ingin melihat bagaimana gambar saya. Pria itu melirik-lirik, mengintip ke arah buku sketsa yang saya pegang di posisi vertikal. Saya tidak pernah menunjukkan karya saya ke orang asing, palingan hanya ke teman-teman terdekat dan keluarga saya sendiri. Jujur saja, waktu itu saya sedikit takut, apa lagi yang saya gambar adalah sketsa wajah dan tubuh pria itu.

Apa yang saya gambar itu bagus? Saya ragu.

Apa dia akan marah ketika yang tergambar di kertas putih itu tidak sesuai dengan ekspektasi-nya?

Bagaimana pria itu akan berkomentar?

“Maaf,” saya katakan padanya. Maaf untuk menggambar potretnya tanpa izin, dan maaf kalau saja  hasil karya saya itu tidak bagus.

Cinderella in Wonderland [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang